• Opini
  • Mencegah Kekerasan Seksual dengan Instrumen Hukum Nasional dan Internasional

Mencegah Kekerasan Seksual dengan Instrumen Hukum Nasional dan Internasional

Kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020 ke 2021 naik mencapai 80 persen. Muncul desakan tentang pentingnya penegakan hak asasi perempuan.

Shalsabila Khoerunnisa

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan. Angka kekerasan terhadap perempuan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Diperlukan perlindungan terhadap hak asasi perempuan. (Ilustrasi oleh: Shalsabila Khoerunnisa/mahasiswi Unpar)*

23 Juni 2022


BandungBergerak.idKomisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan merilis data meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dari 2.134 kasus pada tahun 2020 menjadi 3.838 kasus pada tahun 2021 (Komnas Perempuan, 2022). Jika dipersentasekan, peningkatan kasus – di antaranya kekerasan seksual – ini mencapai 80 persen. Lalu muncul desakan dari masyarakat tentang pentingnya penegakan hak asasi terhadap perempuan.

Namun kasus kekerasan seksual terhadap perempuan ini kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Terdapat masyarakat yang menyatakan bahwa korban ialah penyebab dari terjadinya pelecehan/kekerasan seksual. Hal tersebut disebabkan karena korban yang memakai baju yang terbuka.

Selain itu, terdapat masyarakat yang memberikan tanggapan bahwa seharusnya korban mendapatkan hak atas perlindungan, hak atas keadilan, hak atas kebenaran, dan hak atas pemulihan.

Polemik Kesejahteraan bagi Korban Pelecehan Seksual

Kasus kekerasan terhadap perempuan juga menyebabkan permasalahan kesejahteraan suatu masyarakat dari berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam bidang sosial maupun hukum. Dampak yang cukup terlihat dalam bidang sosial adalah korban mendapatkan stigma negatif dari masyarakat dan mendapatkan sanksi sosial di lingkungan sekitar karena dianggap sebagai perempuan yang murahan dan hina. Padahal seharusnya korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.

Oleh karena itu, sering kali korban kekerasan seksual tidak dapat melaporkan kasus tersebut kepada siapa pun, baik itu kepada pihak aparat penegak hukum maupun pihak keluarga. Dampak dalam bidang sosial tersebut pada akhirnya menimbulkan perdebatan mengenai hukum yang perlu ditegakkan untuk melindungi hak asasi perempuan, khususnya di Indonesia.

Maka muncullah beberapa instrumen hukum nasional dan instrumen hukum internasional untuk melindungi hak asasi perempuan. Lalu apakah adanya instrumen hukum nasional maupun instrumen hukum internasional dapat memastikan bahwa hak konstitusional perempuan dapat terpenuhi?

Berdasarkan data Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa, terdapat 3.650 kasus dengan jumlah korban 3.649 orang. Menurut Anggota Komisioner Perlindungan Anak yakni Susianah Affandy yang mengatakan bahwa data tersebut belum menunjukkan data sebenarnya (Kementerian PPPA, 2020). Oleh karena data tersebut adalah data dari pengaduan masyarakat, sedangkan masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak diajukan kepada aparat penegak hukum.

Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak data yang tidak diadukan kepada aparat penegak hukum karena sebagian besar pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban. Data tersebut telah menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam memberikan dukungan terhadap korban kekerasan seksual masih kurang, sehingga penting dengan adanya perhatian khusus terhadap korban untuk dilakukan pendampingan agar dapat berani untuk mengeluarkan aspirasinya.

Saat ini, terdapat beberapa dampak dalam bidang sosial tersebut yang pada akhirnya menimbulkan perdebatan mengenai hukum yang perlu ditegakkan untuk melindungi hak asasi perempuan, hal tersebut disebabkan oleh karena keadilan yang ditegakkan bagi perempuan masih lah kurang. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPA terbaru mengenai jumlah korban perempuan.

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus dan terdapat 8.924 kasus di tahun 2022. Sementara, sepanjang tahun 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 10.368 orang (Kementerian PPPA, 2020).

Perdebatan masyarakat yang menyatakan bahwa penyebab utamanya adanya kekerasan seksual ialah karena dari pihak korban sendiri yang tidak melapor adalah karena adanya stigma buruk masyarakat akan korban kekerasan seksual. Oleh karena itu, menurut saya, seharusnya terdapat instrumen hukum nasional sebagai dasar hukum yang kuat agar hak perempuan dapat dilindungi, berdasarkan Perlindungan Hak Asasi Manusia.

Instrumen Hukum Nasional

Pentingnya penegakkan instrumen hukum nasional dalam menegakkan hak asasi perempuan adalah karena agar perlindungan terhadap kasus-kasus kekerasan seksual tertentu dapat lebih mudah terjangkau oleh hukum, khususnya di Indonesia. Instrumen hukum nasional di Indonesia yang memberikan bentuk perlindungan terhadap perempuan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Telah tercantum pada pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 mengenai substansi dalam Tindak Pidana Kekerasan Seksual bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual serta menangani, melindungi, dan memulihkan korban.

Selain itu, terdapat pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 yang menjelaskan mengenai pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual didasarkan pada asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, pentingnya instrumen hukum nasional di Indonesia untuk melindungi hak asasi perempuan ialah agar dapat menjamin kepastian hukum.

Baca Juga: Memotret Harapan yang Digariskan Takdir Pagebluk
Haul Inggit Garnasih, Mengenang Ibu, Teman dan Kekasih
Ketika Bobotoh Menggugat Pengelolaan Klub Kesayangan Mereka

Instrumen Hukum Internasional

Selain instrumen hukum nasional yang menjamin perlindungan hak asasi perempuan, terdapat juga instrumen hukum internasional. Instrumen hukum internasional yang pertama ialah Konvensi Hak Anak 1989. Protokol ini diadopsi dan dibuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi oleh resolusi Majelis Umum PBB nomor 44/25 tanggal 20 November 1989, dan mulai berlaku pada tanggal 2 September 1990. Konvensi tersebut mengatur terkait kekerasan seksual pada anak yang tertuang dalam Pasal 19 dan 34. instrumen hukum internasional lainnya ialah Convention on the Elimination of All Discrimination Against Women (CEDAW) merupakan perjanjian internasional yang  berfungsi sebagai instrumen hak-hak asasi perempuan pertama di dunia. Oleh karena adanya beberapa instrumen hukum internasional hak asasi perempuan tersebut, maka perlindungan Hak Asasi Manusia semakin terjamin dan memiliki kepastian hukum yang cukup kuat.

Begitu banyak manfaat yang diberikan dengan adanya instrumen hukum nasional maupun instrumen hukum internasional, sehingga menunjukkan bahwa kepastian hukum dalam menegakkan keadilan dan kebenaran terhadap perlindungan hak asasi perempuan. Oleh sebab itu, perdebatan masyarakat yang berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang menimbulkan dampak negatif dapat diminimalkan dan diselesaikan secara perlahan-lahan. Penyelesaian dari kasus tersebut dapat dilakukan adanya upaya preventif dengan cara sosialisasi mengenai pencegahan yang perlu dilakukan oleh perempuan serta memberikan pelatihan asertif agar perempuan atau korban kekerasan seksual dapat lebih berani untuk menyampaikan penolakan maupun aspirasinya.

Upaya represif dalam kasus kekerasan terhadap perempuan oleh aparat penegak hukum dapat dilakukannya penyelidikan dan penyidikan sebagai bentuk penanganan untuk menanggulangi tindak kejahatan kekerasan seksual terhadap perempuan agar dapat memberikan efek jera bagi para pelaku.

Oleh karena itu, hukum internasional dapat menjadi instrumen pendukung dari instrumen hukum nasional di Indonesia yang dapat memastikan bahwa hak konstitusional perempuan dapat terpenuhi. Selain pentingnya instrumen hukum dalam melindungi hak asasi perempuan, perlu adanya dukungan yang diberikan oleh masyarakat kepada korban kekerasan seksual agar korban mendapatkan perlindungan yang adil.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//