• Opini
  • Menagih Peran Negara Menangani Kekerasan Seksual dengan UU TPKS

Menagih Peran Negara Menangani Kekerasan Seksual dengan UU TPKS

Sebelum UU TPKS disahkan, perjuangan para korban kekerasan seksual dipersulit karena sistem hukum Indonesia nihil dan tidak berpihak kepada korban.

Vanesa Grace Samantha

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Infografis data kekerasan terhadap perempuan di Kota Bandung tahun 2020. (Desain: Sarah Ashilah, Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

25 Juli 2022


BandungBergerak.idKasus kekerasan seksual semakin meningkat dan memprihatinkan. Mirisnya, korban kekerasan seksual bukan hanya dari orang dewasa saja akan tetapi remaja dan balita pun pernah mengalaminya. Mereka mengalami hal yang mengenaskan tersebut di tempat seharusnya mereka menimba ilmu.

Bahkan kasus kekerasan seksual sering terjadi di ruang publik seperti transportasi umum, jalan umum dan pusat perbelanjaan. Justru, lokasi tersebut seharusnya tempat yang aman dan bebas dari perbuatan asusila karena dipadati oleh banyak orang sehingga pelaku tidak mempunyai celah untuk melakukan aksinya.

Namun pada kenyataanya, karena kurangnya perhatian masyarakat, pelaku dapat melakukan aksi bejatnya dengan leluasa. Mayoritas korban kejahatan seksual dialami oleh wanita. Menurut data Survei Nasional Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SNPHPN) Tahun 2021, sebanyak 26 persen usia 15 sampai 64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan atau selain pasangan. Selain itu, sebanyak 34 persen anak laki–laki dan 41,05 persen anak perempuan usia 13 sampai 17 tahun pernah mengalami satu jenis atau lebih kekerasan seksual selama hidupnya. 

Semua ini terjadi karena korban kekerasan seksual tidak mempunyai keberanian untuk melaporkan kepada pihak berwajib. Mereka menderita trauma hebat secara psikologis yang membuat korban tidak bersedia untuk melaporkannya. Korban kejahatan seksual juga merasa memiliki risiko karena pelaku memberikan ancaman jika korban mengadu.

Perjuangan para korban kejahatan seksual dipersulit karena sistem hukum Indonesia nihil dan tidak berpihak kepada korban. Aparat penegak hukum justru tidak menunjukkan rasa empati. Mereka berpikir kasus seperti ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan malah menghakimi korban “Mengapa kamu memakai pakaian terbuka?” “Mengapa kamu keluar rumah malam-malam?”.

Itulah alasan para korban memilih untuk bungkam daripada melapor. Namun kabar baik berhembus kepada korban pada awal tahun 2022, tepatnya pada 12 April tahun 2022, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah mangkrak selama 10 tahun akhirnya resmi disahkan melalui Rapat Paripurna DPR RI. 

Hambatan Ketidakadilan Umum

Menurut Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender IJRS dan INFID tahun 2020, sebanyak 57,3 persen korban enggan melapor kepada aparat penegak hukum karena sebanyak 33,5 persen merasa takut, 29,0 persen malu, 23,5 persen tidak tahu melapor kemana, 18,5 persen merasa bersalah sehingga membuat kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin parah.

Salah satu contoh kasus kekerasan seksual yang membuat korban merasa tertekan dan tidak ditindaklanjuti sebagai berikut: Dugaan pemerkosaan ketiga anak yang dilakukan oleh ayahnya sendiri dan kedua temannya di Luwu Timur. Pertama kali dilaporkan oleh ibu korban pada tahun 2019 lalu setelah bercerai dari mantan suaminya namun proses penyidikan dihentikan karena menurut polisi kasus ini tidak dilanjuti karena tidak mempunyai bukti yang kuat. 

Lalu kasus ini diberitakan oleh Project Multatuli dan menjadi viral serta menuai perhatian publik sehingga munculah “#PercumaLaporPolisi” di media sosial. Polres Luwu Timur malah menuding berita itu hoax. Namun dalam realitanya, ibu korban sudah memberikan cukup banyak bukti yaitu dengan menyunting luka-luka di tubuh anaknya.

Berdasarkan kasus ini, kita dapat melihat bahwa aparat penegak hukum tidak dapat menangani dengan baik dan belum memiliki perspektif korban. Hal itu membuat munculah stigma negatif terhadap korban melapor. Polisi juga memandang korban kejahatan seksual terutama anak-anak tidak benar-benar mengalami pelecehan. Tentu saja hal itu tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum padahal menurut pembukaan undang-undang Indonesia adalah negara hukum seharusnya berlaku adil terhadap semua golongan masyarakat tanpa terkecuali.

Peran Negara dalam Menanggulangi Kekerasan Seksual

Negara wajib melindungi warga negaranya dari kekerasan seksual karena sejak pandemi Covid-19 tren kekerasan seksual semakin meningkat pada perempuan dan anak sehingga RUU TPKS yang sudah mangkrak selama 10 tahun akhirnya disahkan juga oleh DPR. UU TPKS adalah undang-undang yang berpihak kepada korban. Melalui undang-undang, korban memiliki payung hukum yang selama ini belum ada.

Oleh karena itu, sekarang aparat penegak hukum harus mematuhi apa yang dituangkan dalam undang-undang sehingga mereka tidak bisa lagi main hakim sendiri dan harus membantu serta melayani korban untuk mendapatkan keadilan.

Di Indonesia sendiri kekerasan seksual sebenarnya sudah diatur dalam pasal 289 sampai 296 di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana namun seiring berkembangnya zaman, kasus kekerasan seksual semakin merambat ke media sosial yang mengakibatkan kekosongan hukum. Lewat UU TPKS-lah negara berperan untuk membantu mendanai korban dan sebagai langkah awal bagaimana negara hadir untuk melindungi seluruh warga negara bangsa Indonesia dari kekerasan seksual. 

Baca Juga: Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
Data Korban Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia

Penegakan Hukum melalui UU TPKS 

Disahkannya UU TPKS, diharapkan korban tidak perlu takut melapor ke pihak berwajib karena polisi tidak boleh lagi menolak laporan atas kekerasan seksual. Kini hukum telah berpihak kepada korban, UU TPKS tidak hanya fokus terhadap pelaku kekerasan seksual namun negara berperan untuk memberikan layanan pada korban yaitu pertama segala perilaku pelecehan seksual adalah kekerasan seperti dituangkan dalam pasal 4 ayat 2 UU TPKS yang berbunyi setiap orang melakukan tindakan nonfisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik dengan denda maksimal 10 juta.

Kedua, UU TPKS memberikan perlindungan kepada korban yang diancam dengan penyebaran konten pornografi miliknya yang diatur dalam pasa; 4 ayat 1. Ketiga, Pemaksaan hubungan seksual dengan korban dapat dipidana dengan pidana penjara 9 tahun dan denda 200 juta.

Keempat, korban berhak untuk mendapatkan restitusi dan layangan pemulihan. Kelima, sekarang korban mempunyai hak untuk didampingi oleh UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib dalam membuat laporan kepolisian serta memberikan pelayanan kepada korban.

Poin terakhir yang sangat berpengaruh adalah dalam UU TPKS, keterangan saksi atau korban dan satu alat bukti cukup untuk menentukan dakwaan karena biasanya butuh lebih dari dua bukti yang kuat untuk prosesnya dapat ditindak. 

Indonesia membuat UU TPKS agar kasus kekerasan seksual semakin menurun dan tidak mengalami peningkatan baik di media sosial atau lingkungan sekitar. Dengan disahkannya UU TPKS juga, pelaku kekerasan seksual memiliki efek jera dan tidak dapat membuat perlakuan seksual semena-mena lagi.

Selain itu, UU TPKS  diharapkan menjadi secercah harapan bagi korban yang selama ini enggan melapor agar dapat memberikan kesaksian apa yang telah dialaminya dan dapat pulih dari rasa trauma. Kita semua berharap dengan disahkan UU TPKS, kasus kekerasan seksual di Indonesia berkurang secara drastis agar korban terutama wanita dan anak-anak dapat menjalankan aktivitas secara leluasa tanpa merasa ketakutan. 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//