• Nusantara
  • Pembahasan Tahap Pertama RUU TPKS Selesai, Pengesahan Jangan Menunggu Lama

Pembahasan Tahap Pertama RUU TPKS Selesai, Pengesahan Jangan Menunggu Lama

Hukuman mati pemerkosa santriwati maupun vonis bebas kasus pencabulan di Kampus Unri membuat RUU TPKS semakin mendesak untuk segera disahkan.

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana5 April 2022


BandungBergerak.idPanitia Kerja Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Panja RUU TPKS) bersama pemerintah telah merampungkan harmonisasi pembahasan RUU TPKS, Selasa (5/4/2022). Masyarakat sipil mendorong agar pengesahan RUU TPKS tidak berlama-lama.

RUU TPKS dianggap mendesak di tengah maraknya kasus kejahatan seksual yang terjadi di masyarakat. Begitu juga dengan kasus hukum yang baru-baru ini memicu kontroversi, seperti perkosaan santriwati di Bandung yang berujung pidana mati, dan kasus pidana pencabulan yang melibatkan dosen di Universitas Negeri Riau (Unri) yang divonis bebas.

Ketiadaan payung hukum yang khusus menangani kasus kejahatan seksual, termasuk pencabulan, seperti UU TPKS disinyalir berpengaruh terhadap ketiadaan efek jera bagi pelaku. Jika RUU TPKS disahkan, ke depan kasus serupa akan mendapatkan payung hukum yang memadai.

Forum Pengada Layanan (FPL), Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan para penyintas kekerasan seksual mengapresiasi pembahasan RUU TPKS tersebut. Pembahasan RUU TPKS sejauh ini dinilai telah memberi ruang partisipasi masyarakat.

“Kami juga mengapresiasi Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyempurnakan draf RUU TPKS hasil harmonisasi yang progresif sesuai dengan kepentingan korban kekerasan seksual, termasuk hak penyandang disabilitas korban kekerasan,” papar forum bersama tersebut, melalui siaran pers, Selasa (5/4/2022).

Forum mencatat beberapa hal penting dalam pembahasan RUU TPKS. Pertama, RUU TPKS telah memasukkan beberapa bentuk tindak pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; kekerasan seksual berbasis elektronik; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual.

Kedua, asuknya peran lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban KS. Dengan demikian pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan terpadu.

Ketiga, adanya victim trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual. Hal ini menjadi angin segar untuk memastikan dukungan bagi korban dalam menjalani proses penangan perkara kekerasan seksual.

Ketiga, adanya ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum untuk menggelar penyidikan dan proses hukum lain tanpa menimbulkan trauma bagi korban.

Keempat, adanya ketentuan yang melarang pelaku KS untuk mendekati Korban dalam jarak dan waktu tertentu selama berlangsungnya proses hukum. Ketentuan ini menjadi ujung tombak keselamatan korban KS yang tidak harus melarikan diri dari pelaku.

Kelima, adanya ketentuan tentang hak korban, keluarga korban, saksi, ahli dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban.

Baca Juga: Vonis Bebas PN Pekanbaru Berdampak Suram bagi Kelangsungan Hidup Korban Kejahatan Seksual
Mencegah Kekerasan Seksual dengan Film
Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat

Kelemahan RUU TPKS

Selain capaian-capaian di atas, Forum juga mencatat beberapa hal yang masih perlu mendapatkan perhatian dalam pembahasan RUU TPKS, yaitu tentang belum masuknya tindak pidana perkosaan dalam RUU TPKS.

Perkosaan penting untuk masuk dalam RUU TPKS karena merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dengan menggunakan modus, cara, dan alat, yang menimbulkan dampak berkepanjangan pada kelangsungan hidup para perempuan dan anak korban kekerasan seksual.

“Modus perkosaan ini juga terjadi di tempat penyandang disabilitas tinggal dan bersosialisasi,” kata Forum.

Catatan lainnya, belum masuknya akomodasi yang layak bagi korban, khususnya penyandang disabilitas, dalam setiap proses peradilan. Kami berharap dan mengusulkan agar tindak pidana perkosaan dan akomodasi yang layak bagi korban penyandang disabilitas masuk dalam RUU TPKS.

“Kami terus mendukung dan mendorong Panja RUU TPKS untuk segera melakukan pembahasan tingkat II dan mengesahkan RUU TPKS maksimal bulan akhir April 2022,” lanjut Forum.

Kasus Perkosaan Santriwati dan Pelecehan Seksual Unri

Telah disinggung di atas bahwa sedikitnya ada dua kasus hukum yang menjadi perhatian publik belakangan ini, pertama vonis mati terhadap HW, guru sekaligus pemilik pesantren di Bandung yang memperkosa para santriwatinya. HW sebelumnya divonis seumur hidup. Tetapi dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Jawa Barat, majelis hakim memperberat hukumannya menjadi vonis mati, Senin (4/4/2022).

Ira Imelda, Direktur Women's Crisis Centre (WCC) Pasundan Durebang, Bandung, menilai vonis mati bagi HW tidak akan menimbulkan efek jera. Memang untuk pelaku HW, vonis ini akan menyelesaikan hidupnya. Tetapi pertanyaannya, bagaimana dengan pelaku-pelaku lain yang masih memandang orang lain sebagai objek seksualnya.

Makanya, WCC Pasundan Durebang yang juga turut dalam forum masyarakat sipil mendesak agar UU TPKS disahkan. Karena untuk menghadapi kasus kejahatan seksual di masyarakat dibutuhkan UU TPKS yang khusus menangani kasus tersebut, termasuk pemberian efek jera pada pelaku sekaligus memberikan rasa keadilan bagi korban.

“Kita usulkan dalam RUU TPKS efek jera selain pemidanaan. Seperti adanya tindakan korektif yang, dilakukan oleh psikolog atau psikiater untuk mengubah cara berpikirnya pelaku. Kalau penjara sekian tahun, tanpa ada korektif tidak akan jamin efek jera. Dia bisa melakukan balas dendam dan meilhat korban sebagai objek seksualnya,” terang Ira, saat dikonfirmasi BandungBergerak via telepon.

Jika kasus HW mendapatkan vonis maksimal, lain lagi dengan kasus dugaan pencabulan yang menimpa salah seorang mahasiswi Unri. Majelis Hakim di PN Pekanbaru justru menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa SH, dekan FISIP nonaktif sementara Unri, yang menjadi terdakwa dalam kasus ini.

Ira pun menyayangkan dengan keputusan majelis hakim PN Pekanbaru yang tidak melindungi korban. Majelis hakim bersiteguh bahwa korban harus bisa membuktikan kasus pelecehan seksual yang dialaminya.

Seharusnya hakim berpegangan pada Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang tertuang di dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017. Berdasarkan pedoman ini, hakim dapat memeriksa kasus dengan menggunakan analisis gender dan tidak menghadirkan narasi stereotip-stereotip gender yang melingkupi suatu kasus.

“Kita benar-benar kecewa dan prihatin. Ini bisa menjadi preseden buruk untuk pelaku-pelaku kejahatan seksual yang kebetulan berada di perguruan tinggi. Tidak ada perlindungan terutama bagi mahasiwi. Mudah-mudahan nanti JPU-nya kasasi, supaya menghasilkan putusan yang betul-betul berpihak pada keadilan.

Sekali lagi, dalam kasus ini UU TPKS yang diusulkan dari para pendamping korban TPKS menjadi sangat mendesak untuk disahkan. Ira menjelaskan, RUU TPKS disusun beredasarkan temuan selama dilakukan pendampingan terhadap korban di lapangan. Dengan kata lain, RUU TPKS diharapkan bisa menjawab kebuntuan hukum dalam menghadapi kasus kejahatan seksual.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//