Vonis Bebas PN Pekanbaru Berdampak Suram bagi Kelangsungan Hidup Korban Kejahatan Seksual
Vonis bebas PN Pekanbaru terhadap terdakwa dosen Unri terjadi di saat para pegiat antikejahatan seksual sedang giat-giatnya menghapuskan kejahatan seksual.
Penulis Iman Herdiana1 April 2022
BandungBergerak.id - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa SH, dekan FISIP nonaktif sementara Universitas Negeri Riau (Unri), atas tindak pidana pencabulan, Rabu (30/3/2022). Vonis ini dinilai akan berdampak buruk bagi pendidikan dan kelangsungan hidup korban kejahatan seksual.
Vonis tersebut terjadi di saat para pegiat antikejahatan seksual sedang giat-giatnya membongkar dan mencegah kejahatan seksual baik di ranah pendidikan maupun di lingkungan umum. Hal ini didorong dengan terus bertambahnya kasus kejahatan seksual secara nasional maupun di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut data dari catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2015-2021, perguruan tinggi menjadi lembaga pendidikan yang memiliki kejadian kekerasan seksual terhadap perempuan sebanyak 35 persen. Sementara survei Kemedikbudristek tahun 2020 mencatat sebanyak 79 kampus di 29 kota di Indonesia memiliki 63 persen kasus kekerasan seksual yang tidak pernah dilaporkan.
Di lingkup lokal, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat sepanjang 2020 lalu ada 250 kasus yang dilaporkan untuk ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung. Dari jumlah tersebut, 100 kasus di antaranya berupa kekerasan seksual terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini sekaligus menjadi yang terbanyak.
Vonis bebas terhadap dosen Unri tersebut menjadi catatan miris perlindungan terhadap korban kejahatan seksual. Vonis ini menuai respons kritis dari koalisi antikejahatan seksual yang terdiri dari ICJR, IJRS, Puskapa, Aliansi Kampus Aman dan Kompaks.
“Kami mengkritisi putusan hakim ini, yang tidak menunjukkan komitmen untuk menciptakan keadilan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia, khususnya di ranah pendidikan,” demikian pernyataan bersama koalisi, terhadap vonis bebas SH oleh PN Pekanbaru, yang dikutip BandungBergerak.id, Jumat (1/4/2022).
Diketahui bahwa terdakwa SH didakwa dengan dakwaan Primair Pasal 289 KUHP dan subsidair Pasal 294 ayat (2) ke-2 KUHP dan Lebih Subsidair Pasal 281 ke-2 KUHP, yang keseluruhannya dinyatakan tidak terbukti oleh hakim.
Koalisi menyatakan, tidak terbuktinya dakwaan di dalam perkara ini didasari oleh pertimbangan bahwa tidak adanya bukti kekerasan dan ancaman kekerasan. Lebih lanjut, majelis hakim menyampaikan bahwa relasi yang tidak berimbang antara korban dan terdakwa tidak bisa dijadikan alasan karena tidak ada ditemukan kekerasan dan kekerasan psikis.
Tidak hanya itu, majelis hakim juga menyoroti ketiadaan bukti bahwa terdakwa melecehkan korban karena terdakwa membatah keterangan korban tersebut dan tidak ada orang lain yang hadir di dalam ruangan di mana kekerasan terjadi. Kekerasan seksual yang didakwakan oleh jakwa penuntut umum dikatakan oleh majelis hakim tidak terbukti.
“Hal ini disayangkan oleh kami, yang berpandangan bahwa seluruh bukti yang disampaikan oleh penuntut umum di dalam perkara ini telah cukup membuktikan terjadinya perkara,” kata koalisi.
Baca Juga: Mengapa Kasus Kejahatan Seksual Penting Diketahui Pubik?
Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat
Mencegah Kekerasan Seksual dengan Film
Catatan Kritis Koalisi Antikejaharan Seksual
Koalisi ini menyatakan beberapa catatan terkait vonis PN Pekanbaru. Pertama, berkaitan dengan ketiadaan alat bukti yang dapat membuktikan terjadinya pelecehan seksual terhadap korban.
“Di dalam kasus ini, kami mencermati bahwa alat bukti yang diajukan untuk memperkuat dilakukannya pelecehan oleh terdakwa adalah alat bukti surat pemeriksaan koban dan juga keterangan ahli yakni psikiater. Kedua alat bukti ini, seharusnya sudah dapat mendukung keterangan saksi korban atas peristiwa yang terjadi terhadapnya,” kata koalisi.
Koalisi menyatakan, Pasal 185 ayat (3) menyatakan bahwa satu orang saksi sudah cukup untuk membuktikan terdakawa bersalah apabila disertakan alat bukti lainnya, dalam hal ini ada alat bukti surat dan ahli. Dengan demikian ketentuan Pasal 183 KUHAP tentang syarat 2 (dua) alat bukti yang sah telah terpenuhi.
Kedua, berkaitan dengan ketiadaan saksi yang mengetahui secara langsung kejadian. Majelis hakim dinilai gagal merekognisi sifat utama dari kekerasan seksual yakni mayoritas terjadi di ruang tertutup tanpa adanya saksi sama sekali. Hal ini tidak seharusnya menjadi alasan majelis hakim menjatuhkan putusan bebas, terlebih karena alat bukti lain selain keterangan saksi korban sudah diajukan untuk mendukung keterangan saksi korban.
Dengan menyampaikan argumen ini, menurut koalisi majelis hakim telah melanggar ketentuan di dalam Pasal 5 Perma 3/2017 yang melarangnya mengeluarkan pernyataan yang mengandung stereotip, seakan-akan korban berbohong atas peristiwa yang menimpanya.
Ketiga, dalam kasus ini majelis hakim dengan jelas telah mengabaikan Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum yang tertuang di dalam Perma Nomor 3 Tahun 2017. Berdasarkan pedoman ini, hakim diharapkan dapat memeriksa kasus dengan menggunakan analisis gender dan tidak menghadirkan narasi stereotip-stereotip gender yang melingkupi suatu kasus.
Keempat, berkaitan dengan relasi kuasa yang disampaikan majelis hakim tidak dapat dimaknai sebagai kekerasan dan ancaman kekerasan. Di dalam kasus kekerasan seksual, relasi kuasa merupakan salah satu faktor utama yang hampir selalu ada. Relasi kuasa ini, harus digali dengan hati-hati oleh hakim melalui analisis gender, yang diharapkan dilakukan berdasarkan Pasal 6 Perma 3/2017.
Dengan menggali kenyataan bahwa relasi kuasa dapat memengaruhi perilaku seseorang dengan derajat yang sama seperti kekerasan dan ancaman kekerasan, maka majelis hakim akan dapat memahami pola-pola yang ada di dalam kekerasan seksual. Kegagalan memahami hal ini, sangatlah disayangkan, dan mencerminkan bagaimana majelis hakim acuh terhadap Perma 3/2017.
Kelima, dalam dakwaan subsidair, penuntut umum juga telah mencantumkan Pasal 294 ayat (2) ke-2 KUHP, yang jika dicermati menjangkau kemungkinan terjadinya perbuatan cabul, karena relasi kuasa, khususnya yang terjadi antara guru dan murid. Peristiwa yang dialami korban sudah sangat jelas memenuhi unsur perbuatan cabul, dan dengan adanya relasi antara korban dan terdakwa sebagai mahasiswa dan dosen, maka terpenuhi pula unsur “guru yang melakukan pencabulan dengan orang yang ditempatkan di situ”.
“Sehingga, terdakwa seharusnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana paling tidak berdasarkan dakwaan subsidair,” kata koalisi.
Keenam, kasus perbuatan cabul di lingkup kampus yang serupa dengan perkara di PN Pekanbaru ini juga pernah diputus di PN Tanjungkarang pada 2018, yang menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan kepada Terdakwa.
Kasus di PN Tanjungkarang dengan nomor perkara 732/Pid.B/2019/PN.Tj kini juga menimpa korban yang merupakan mahasiswa bimbingan skripsi di ruangan tertutup tanpa saksi. Saksi di dalam kasus ini diambil dari rekan-rekan korban yang mendengar keterangan dari korban pascakejadian dengan juga mempertimbangkan ahli sebagai bukti lainnya.
Ketujuh, selain catatan-catatan berkaitan dengan substansi putusan, koalisi juga menaruh perhatian akan dampak yang dapat terjadi kepada korban kejahatan seksual menyusul dijatuhkannya putusan ini. Sebagaimana diketahui, saat ini terdakwa merupakan dekan nonaktif sementara dari fakultas tempat korban menempuh pendidikannya.
“Kami menyoroti bahwa penjatuhan putusan bebas ini dikhawatirakan akan berdampak buruk pada kelanjutan pendidikan korban,” ungkap koalisi.
Jaksa Penuntut Umum Ditutuntut Mengajukan Kasasi
Atas vonis yang menambah buram peradilan terhadap terdakwa kejahatan seksual, koalisi mengeluarkan beberapa poin tuntutan, sebagai berikut:
- Penuntut Umum untuk mengajukan kasasi di dalam perkara ini;
- Majelis hakim di tingkat kasasi untuk dapat memperbaiki kesalahan penilaian fakta di dalam perkara ini dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa secara proporsional sesuai dengan perbuatannya dengan juga menerapkan amanat Perma No. 3/2017; dan
- Rektorat FISIP Unri untuk dapat mendorong kejelasan mekanisme etik untuk menyelesaikan kasus ini dan tidak terpengaruh dengan putusan PN Pekanbaru, dikarenakan tidak terbuktinya kasus ini di dalam sistem peradilan pidana karena pendapat hakim soal kurang alat bukti tidak serta merta menjadi dasar tidak adanya perbuatan cabul.
“Rektorat juga harus dapat memastikan bahwa putusan ini tidak berdampak buruk kepada kelanjutan pendidikan korban kejahatan seksual,” demikian tuntutan koalisi.