Mengapa Pegiat HAM tidak Setuju Pelaku Kejahatan Seksual Dihukum Mati?
Komnas HAM maupun Komnas Perempuan sepakat bahwa hukuman mati bukan hukuman maksimal untuk pelaku kejahatan seksual.
Penulis Delpedro Marhaen27 Januari 2022
BandungBergerak.id - Hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual kian santer diperbincangkan publik. Di Bandung, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut HW (36), terdakwa pemerkosa 13 santriwati di Bandung, dengan hukuman mati. JPU juga menuntut hukuman kebiri dengan identitas terdakwa disebarkan untuk memberikan efek jera bagi terdakwa dan pelaku kejahatan serupa lainnya.
Perbuatan pimpinan pesantren di Bandung terhadap para santriwatinya yang rata-rata di bawah umur, dikategorikan kejahatan seksual dengan kategori kejahatan sangat serius. Kejahatan tersebut dilakukan pula secara terus-menerus dan sistemik hingga menimbulkan keresahan sosial. HW juga telah menjadikan dalih agama dan pendidikan demi merealisasikan niat jahatnya.
Tuntutan JPU ini merupakan komitmen guna memberikan efek jera bagi pelaku dan pihak-pihak yang melakukan kejahatan serupa.
Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang didakwakan kepada HW, menyebutkan setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Bentuk hukumannya disebutkan dalam Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) yakni:
- ayat (1): Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
- ayat (3): Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah I 13 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- ayat (5): Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Meski demikian, Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, menyatakan menolak hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seksual. Hukuman mati dinilai melanggar hak untuk hidup yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
“Kita tahu hak hidup ini adalah prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan kita bahwa seorang manusia memiliki hak untuk hidup dan tidak seharusnya dibunuh oleh manusia lainnya,” kata Aminah dalam diskusi daring Forum Studi Hukum dan HAM, Minggu (23/01/22).
Dalam konsep hak asasi manusia (HAM), kata Aminah, hak untuk hidup adalah hak yang tidak dapat ditawar dan dicabut dalam kondisi apa pun (non derogable rights). Hak ini juga menjadi dasar dari konsep HAM. Tanpa adanya hak tersebut maka mustahil HAM akan ada.
Komnas Perempuan juga berpandangan bahwa hukuman mati dan hukuman kebiri kimia merupakan tindakan yang melanggar hak untuk bebas dari penyiksaan atau penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Bagi Komnas Perempuan, upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, termasuk hak asasi perempuan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan kemanusiaan.
“Jadi, ketika kita mengatakan hukuman ini untuk memenuhi hak-hak korban, tetapi dengan cara kita melanggar hak orang, ibarat perbuatan tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pelaku. Pemenuhan hak asasi perempuan, termasuk korban kekerasan seksual itu tidak boleh bertentangan dengan hak-hak yang lainnya,” ujarnya.
Kendati demikian, tidak serta merta pelaku kejahatan seksual terhindar dari pemidanaan yang memuat pembatasan atau pengurangan hak. Menurut Aminah, hal itu dapat terjadi tetapi perlu dirumuskan dengan uji cermat tuntas terhadap terpenuhinya asas legalitas, kebutuhan, ketercukupan, dan proporsionalitas.
Di dalam konstitusi, pembatasan hak diatur di dalam UU NRI 1945, Pasal 28J ayat (2) yang menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Pembatasan ini juga dikenali dalam pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diadopsi dalam hukum nasional melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Sementara, hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual dipandang sebagai tindakan yang tidak memenuhi asas kebutuhan, ketercukupan dan proporsionalitas untuk kejahatan itu sendiri. Sebaliknya, hukuman kebiri kimia merupakan langkah mundur bagi Pemerintah Indonesia dalam menjalankan mandat konstitusional untuk pemenuhan HAM, terutama hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman yang kejam dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Hal ini juga diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia; Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Komnas Perempuan mengatakan bahwa hukuman terhadap pelaku harus bertujuan untuk memulihkan hak-hak korban. Sistem pemidanaan harus memperhatikan kebutuhan korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan. Dengan demikian, keadilan dan kebenaran untuk pemulihan hak-hak korban harus diselenggarakan secara baik oleh negara dengan menghilangkan hambatan-hambatan yang selama ini dialami oleh korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan.
Pemidanaan juga harus memulihkan hak pelaku. Pemidanaan terhadap pelaku tidak hanya dilakukan untuk memberikan hukuman setimpal atas tindakan dan kerugian korban. Pemidanaan dimaksudkan untuk memulihkan pelaku sebagai manusia kepada nilai-nilai kemanusiannya. termasuk dalam memperlakukan anak, perempuan dan kelompok rentan lainnya.
“Pemidanaan menjadi proses untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga mengubah pola pikir dan perilaku terpidana agar sejalan dengan norma-norma kemusiaan dan dapat kembali berguna bagi masyarakatnya,” ujarnya.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, mengatakan yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana hukuman pidana terhadap pelaku kejahatan seksual dapat ditingkatkan. Salah satunya, dengan meningkatkan jumlah maksimum ancaman pidana penjara pada aturan terkait. Nantinya, hukuman pidana penjara yang akan dijatuhkan akan lebih maksimal.
Selain itu, Anam mengatakan dalam dakwan dan tuntut terhadap pelaku kejahatan seksual perlu dicantumkan adanya tanggung jawab pelaku terhadap korban. Misalnya, merampas harta benda pelaku yang kemudian digunakan untuk pemulihan terhadap korban.
“Kami berharap adanya tanggung jawab pelaku terhadap korban tidak hanya ada pada kasus kejahatan seksual yang terjadi di Bandung saja, melainkan juga pada kasus-kasus kejahatan seksual lainnya,” kata Anam.
Anam juga mengatakan negara harus terlibat dalam pemulihan korban. Hal ini disebabkan karena negara bertanggung jawab membangun satu sistem kehidupan yang maju serta perlindungan dan kesejahteraan yang lebih baik, sehingga akan memungkinkan kasus kejahatan seksual tidak terjadi. Dalam konteks hari ini, kehadiran negara untuk memulihkan hak-hak korban sangat minim peranannya.
“Tidak hanya soal hukuman yang diperberat tapi pertanggungjawaban pelaku yang harus ada. Bagaimana pelaku memulihkan korban, termasuk juga negara harus hadir di situ untuk memulihkan korban,” ujarnya.
Dinilai Belum Terbukti Efektif
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengungkapkan bahwa belum ada data yang menunjukan hukuman mati dan hukuman kebiri kimia dapat mencegah terjadinya tindak pidana kejahatan seksual. Ia mencontohkan hukuman mati bagi terpidana kasus pembunuhan dan bandar narkoba, bahwa hukuman tersebut tidak menutup kemungkinan kasus serupa terjadi kembali di waktu yang akan datang.
“Jadi sebenarnya pidana hukuman mati, dan kemudian hukuman kebiri kimia dikatakan untuk memberikan efek jera agar tidak terulangi kasus serupa. Akan tetapi kita juga melihat hukum tersebut diterapkan juga kejahatan seksual tetap ada, bahkan meningkat berarti hukuman tersebut tidak berpengaruh,” ujarnya.
Untuk hukuman kebiri kimia, kata Aminah, belum terbukti efektif karena mengontrol hormon seksual tidaklah menyelesaikan kejahatan seksual. Hal itu disebabkan karena tindakan tersebut tidak akan mengoreksi relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan, termasuk relasi orang dewasa dan anak.
Kemudian, kejahatan seksual memiliki rupa yang tidak terbatas pada persebutuhan dan pencabualan yang melibatkan penggunaan alat genital laki-laki. Di sisi lain, kebiri kimia hanya bersifat antilibido, sementara penaklukan, kontrol, balas dendam dapat dilakukan dengan penetrasi nonpenis.
Terakhir, masalah pencegahan kejahatan seksual terhadap anak memerlukan penanganan yang komprehensif, tidak sebatas aspek penghukuman, melainkan juga melibatkan pendidikan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender serta kesehatan reproduksi, pelayanan sosial yang inklusif dan efektif termasuk untuk kelompok rentan.
Baca Juga: Kejahatan Seksual akan Lebih Rentan Terjadi di Sekolah dengan Sistem Tertutup
Sidang Kejahatan Seksual pada Santriwati, Jaksa Menuntut HW dengan Hukuman Mati dan Kebiri
Pidana Penjara yang Belum Maksimal
Komnas Perempuan mencatat bahwa tidak banyak kasus kejahatan seksual yang dijerat dengan pidana maksimum. Rata-rata kasus perkosaan pada perempuan dewasa hanya dipidana 5 tahun. Padahal, pelaku pemerkosaan dapat diancam dengan pidana penjara maksimum 12 tahun. Jika ada pembaratan maka maksimum penjara 15 tahun.
“Selama ini pidana penjara yang tersedia belum diterapkan dengan maksimal dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Sangat jarang hukuman dijatuhkan dengan ancaman maksimal,” ungkapnya.
Meski pemidanaan pada kasus kejahatan seksual terhadap anak relatif lebih tinggi daripada untuk perempuan dewasa, namun kerap ditemukan kasus di mana pelaku dihukum tidak dengan ancaman maksimum. Bahkan banyak di antaranya hanya dipidana minimum, yakni 5 tahun penjara.