• Berita
  • Sidang Kejahatan Seksual pada Santriwati, Jaksa Menuntut HW dengan Hukuman Mati dan Kebiri

Sidang Kejahatan Seksual pada Santriwati, Jaksa Menuntut HW dengan Hukuman Mati dan Kebiri

HW juga dituntut membayar denda ratusan juta, semua harta kekayaannya disita untuk negara, dan akan dipakai untuk membiayai korban dan bayi-bayinya.

Para jaksa menghalangi wartawan peliput saat mengambil gambar terdakwa pencabulan santriwati di bawah umur, HW, usai sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau11 Januari 2022


BandungBergerak.id - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut HW (36), pimpinan pondok pesantren yang memperkosa santriwatinya, dengan hukuman mati dan kebiri kimia. Tuntutan disampaikan dalam sidang lanjutan kasus perkosaan terhadap puluhan anak di bawah umur di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1/2022).

Tuntutan itu diharapkan bisa membuat efek jera pada para pelaku kejahatan seksual yang marak akhir-akhir ini baik di Bandung maupun di Indonesia. Data menunjukkan tingkat kejahatan seksual di Indonsia sungguh miris.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat kasus pemerkosaan menempati urutan kedua terbanyak dalam ragam kekerasan seksual sepanjang 2021. Sementara tindak kekerasan seksual terdapat 526 kasus dengan korban 239 orang. Angka tersebut menandakan bahwa terdapat korban yang mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual.

Di Bandung, kejadian kekerasan seksual tak kalah memilukan. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat sepanjang 2020 lalu ada 250 kasus yang dilaporkan untuk ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung. Dari jumlah tersebut, 100 kasus di antaranya berupa kekerasan seksual terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini sekaligus menjadi yang terbanyak.

Bahkan data menunjukkan permasalahan serius dalam upaya perlindungan anak. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak di Kota Bandung yang ditangani oleh Pemerintah Kota Bandung mengalami tren kenaikan. Di sepanjang tahun pandemi pada 2020 lalu, jumlahnya bahkan melambung menjadi 431 kasus dari tahun sebelumnya sebanyak 250 kasus.

Kembali ke kasus HW yang dihadirkan dalam persidangan di PN Bandung, tuntutan itu disampaikan berdasarkan beragam bukti atau fakta persidangan dengan merujuk pada perbuatan pelaku yang telah masuk pada kejahatan sangat serius atau the most serious crime.

“Ada beberapa pertimbangan mengapa kami menggolongkan kejahatan terdakwa sebagai the most seriuos crime. Pertama mengacu pada konvensi PBB menentang penyiksaan hukuman yang tidak manusiawi di mana perbuatan terdawak termasuk ke dalam kategori kekerasan seksual,” ungkap JPU yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Asep N Mulyana, di PN Bandung.

Asep mengatakan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh HW berada dalam relasi kuasa, dalam kondisi tak berdaya karena dalam tekanan pelaku yang kedudukannya sebagai pendiri, pengasuh, sekaligus pemilik pondok pesantren.

Kejahatan yang dilakukan HW juga berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak perempuan yang menjadi korbannya. Asep mengatakan, tindakan HW bukan saja membahayakan kesehatan fisik yaitu kehamilan dan melahirkan di usia dini, tetapi juga berisiko menularkan HIV, kangker serviks yang kemudian meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.

Perbuatan terdakwa HW juga tidak hanya menyerang ke perbuatan fisik, tetapi juga kondisi psikologis dan emosional santriwatinya secara keseluruhan. Kekerasan yang dialami korban akan mempengaruhi kognitif, sosial, emosional, dan fisik korban.

Selain itu, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa dilakukan terus-menerus dan bersifat sistematik. “Bagaimana dia mulai merencanakan, mulai kemudian mempengaruhi anak anak korban untuk mengikuti nafsu seksnya, kemudian melakukan tidak mengenal waktu, baik pagi siang sore, bahkan malam hari ketika anak anak itu atau anak lain dalam keadaan istriahat tertidur,” paparnya.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak
Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat

Kemelut pengambilan gambar sidang tuntutan kasus perkosaan terhadap puluhan anak di bawah umur oleh HW di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)
Kemelut pengambilan gambar sidang tuntutan kasus perkosaan terhadap puluhan anak di bawah umur oleh HW di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (11/1/2022). (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

HW Menggunakan Simbol Agama dalam Melancarkan Aksinya

Fakta lain yang menjadi alasan tuntutan pemberatan jaksa bahwa HW menggunakan simbol-simbol agama dan pendidikan untuk memanipulasi korbannya. Anak-anak korban diperalat oleh HW untuk mewujudkan niat jahatnya dan melakukan kejahatan.

“Jadi inilah yang membuat sebagaian anak itu kemudian terpedaya, karena manupulasi agama dan manipulasi simbol-simbol pendidikan,” ungkap Asep N Mulyana.

Perbuatan pelaku ini menurut Asep menimbulkan dampak yang luar biasa. Juga menimbulkan keresahan dan ketakutan sosial. Tak hanya itu, perbuatan bejat HW berpotensi menimbulkan korban ganda, yakni selain kekerasan seksual, juga kekerasan ekonomi dan fisik yang menimbulkan berbagai dampak sosial

“Atas dasar itu maka dalam tuntutan kami, kami pertama menuntut, terdakwa dengan hukuman mati. Sebagai bukti komitmen kami untuk memberikan efek jera pada pelaku atau pada pihak-pihak lain yang akan melakukan kejahatannya,” tandas Asep.

Jaksa juga meminta kepada hakim untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa pengumuman identitas HW yang akan disebarkan melalui pengumuman hakim, selain menuntut hukuman tambahan berupa kebiri kimia.

Masih belum cukup. Jaksa juga meminta hakim menjatuhkan pidana denda sebesar 500 juta rupiah subsidair satu tahun kurungan penjara. Selanjutnya, terdakwa HW dituntut membayar restitusi atau ganti rugi kepada anak-anak korban dengan total sebesar 331.527.186 juta rupiah.

Berikutnya, jaksa meminta hakim agar membekukan, mencabut, dan membubarkan lembaga pendidikan pimpinan HW, yaitu Yayasan Yatim Piatu Manarul Huda di Parakansaat, Madani Boarding School di Cibiru, dan Pondok Pesantren Tafsir Madani Yayasan Manurul Huda.

Selanjutnya harta kekayaan HW agar dirampas, yakni berupa tanah dan bangunan, pondok pesantren, dan aset kekayaan terdakwa lainnya baik yang sudah disita maupun yang belum disita untuk dilelang dan hasilnya diserahkan kepada negara melalui Pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang nantinya akan digunakan untuk biaya sekolah korban juga bayi-bayi yang dilahirkan.

“Kemudian kami juga meminta kepada hakim untuk merampas barang bukti berupa sepeda motor milik terdakwa, Yamaha Mio warna hitam untuk dilelang dan hasilnya diberikan kepada negara, Pemprov Jabar, untuk digunakann biaya sekolah dan keberlangsungan hidup korban dan anak-anaknya,” paparnya.

Dalam tuntutannya, Jaksa menuntut HW dengan beberapa pasal, yakni Pasal 81 ayat (1) ayat (3), ayat (5) jo pasal 76.D UU RI Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU Jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Gant Rugi Tak Sepadan

Di tempat yang sama, Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Bimasena menyambut baik tuntutan hukuman maksimal yang disampaikan jaksa, yakni hukuman mati. Hal tersebut sesuai dengan permintaan keluarga korban. Menurutnya, sudah sepatutnya pasal hukuman mati digunakan.

“Ini yang kita harapkan, masyarakat harapkan, bahwa hukuman yang setimpal itu adalah hukuman mati dan itu memang sudah syaratnya sudah masuk semua. Nanti kita tinggal lihat majelis hakim memutuskannya seperti apa,” ungkapnya.

Tuntutan maksimal itu dinilai sebagai bentuk keseriusan penegak hukum dalam mengatasi kasus kejahatan terhadap anak. Di sisi lain, Bimasena mengakui bahwa ganti rugi kepada korban atau restitusi yang dituntut kepada HW kurang memuaskan. Sebab peristiwa yang dialami korban tidak bisa dinilai materi. Namun setidaknya huluman mati yang dituntutan membuatnya sedikit lega.

“Kalau secara nilai ini rumusannya kita tidak mengetahui seperti apa, kalau dilihat nilainya kurang memuaskan karena luka psikologis korban itu tidak bisa dinilai, tapi setidaknya bukan materi, yang diharapkan,” terangnya.

Hingga kini, korban masih berada di rumah masing-masing. Bimasena mengatakan trauma yang dialami para korban belum sembuh dan membutuhkan jangka waktu yang panjang. Hingga kini Komnas PA baik pusat maupun provinsi masih terus melakukan pemantauan. Trauma healing masih akan terus diberikan.

“Pendampingan khususnya pendidikan si anaknya, ini paling penting, jangan sampai sudah jadi korban jadi korban kedua tiga kali, empat kali termasuk dari masyarakat. Berharap dari teman-teman media bisa mendukung itu, jangan jadikan korban menjadi korban lagi,” harap Bimasena.

Sementara itu, Kuasa hukum korban, Yudi Kurnia mengungkapkan bahwa keluarga korban mengapresiasi tuntutan hukuman mati yang diajukan oleh JPU. Selanjutnya keluarga berharapan majelis hakim melahirkan vonis sesuai tuntutan JPU.

Selama ini pihak keluarga korban berharap agar HW dapat dihukum seberat-beratnya, melihat dari perbuatan bejat yang dilakukan HW tak ada alasan untuk mengurangi hukuman. Sedangkan fakta-fakta pada persidangan menunjukkan kejahatan yang dilakukan HW masuk kategori kekejahatan luar biasa.

“Saya mengapresiasilah atas tuntutan ini, dan itu sesuai dengan harapan keluarga. Walaupun sebetulnya kalau ada yang lebih berat lagi, kalau ada lagi ya disiksa dulu, sebelum mati ditersiksakan dulu, tapi itu nggak ada aturannya,” ungkap Yudi Kurnia, melalui sambungan telepon.

“Ini kan baru tuntutan, ya nanti mudah-mudahan dari majelis hakim memutus sesuai dengan tuntutan, tidak ada pengurangan atau tidak ada pertimbangan yang dapat mengurangi tuntutan. Saya rasa hakim bisa memutus sesuai dengan tuntutan, itu sudah memenuhi rasa keadilan dengan tidak mengurangi lagi,” tambahnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//