Implementasi UU TPKS Membutuhkan Kerja Panjang Kolaborasi
Pengesahan UU TPKS disambut dengan konsolidasi Komnas Perempuan dan elemen antikekerasan seksual Jawa Barat. Mereka siap mengawal implementasi UU TPKS.
Penulis Emi La Palau24 April 2022
BandungBergerak.id - Beragam kesenian mulai dari tarian, dongeng, puisi, orasi, serta cerita dari penyintas kekerasan seksual melebur di Panggung Ekspresi, Foudcourt Kanaya, Jalan Cikutra, Kota Bandung, Sabtu (23/4/2022) sore. Anak-anak muda dari berbagai latar belakang dan lintas iman, laki-laki dan perempuan, mengekspresikan dukungan mereka terhadap UU TPKS.
Acara tersebut bagian dari konsolidasi yang diselenggarakan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama masyarakat sipil Jawa Barat. Konsolidasi dilakukan untuk mengawal implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksul (UU TPKS) yang baru disahkan oleh DPR RI, 12 April 2022 lalu.
Panggung Ekspresi sendiri tercipta lewat kolaborasi dengan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub), Jaringan Advokasi Jabar (JAJ) dan Iteung Gugat. Hadir sebagai peserta dari berbagai jaringan masyarakat sipil, perempuan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME, Sapa Insitute, juga masyarakat lintas iman lainnya.
Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi mengungkapkan konsolidasi ini sebagai satu langkah mengekspresikan kerja-kerja kolaborasi yang akhirnya membuahkan hasil, yakni memperjuangkan RUU TPKS yang dilakukan hampir 12 tahun hingga disahkan menjadi UU TPKS.
“Kita mengambil momen ini suatu perayaan kemenangan atau tidak. Tapi mengapresiasi bahwa ternyata kerja-kerja kolaborasi kita yang kita lakukan tidak kenal lelah selama hampir 12 tahun paling tidak membuahkan hasil,” ungkap Satyawanti Mashudi, dalam sambutannya.
Ke depan, implementasi UU TPKS di lapangan perlu terus dikawal bersama, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Konsolidasi kali ini agak sedikit berbeda dari biasanya. Jika selama ini pendekatan edukasi dan kampanye mengenai UU TPKS dilakukan dalam bentuk diskusi, seminar dan lainnya, kini dilakukan dengan eskpresi seni.
Koordinator Jakatarub, Arfi Pandu Dinata mengungkapkan pihaknya mencoba memberikan hal berbeda dalam hal ekspresi dan dukungan terhadap UU TPKS.
“Jadi cara memahami tentang isu kekersan seksual dan krusialnya isu tersebut dengan panggung ekspresi. Jadi ditunjukkan dengan cara berkesenian, kebudayaan, apakah itu budaya tradisional, budaya kontemporer its oke, yang melibatkan gender perempuan dan laki-laki,” terang Arfi.
Jakatarub sendiri melibatkan berbagai elemen dari perempuan lintas iman. Menurut Arfi, mereka elemen masyarakat yang paling rentan terhadap diskriminasi. Menurut Arfi, selain sebagai perempuan yang memang telah sering mendapat diskriminasi, penganut kepercayaan agama minoritas juga masih sempit ruang geraknya.
“Itu jadi kekhasan kita bagimana suara-suara mereka penganut agama minoritas, sulit dijangkau dan marjinal itu bisa punya panggung dan leluasa bebas berekspresi,” ungkapnya.
Koordinator Media Iteung Gugat JAJ, Annisa Noor fadilah mengungkapkan bahwa kolaborasi ini juga sebagai bentuk apresiasi terhadap berbagai pihak yang telah mendorong RUU TPKS menjadi UU TPKS. Ke depan ia beraharap implementasi UU TPKS dapat terlaksana.
“Bentuk dukungan atas bertahun-tahun kita terus mendorong yang turun ke jalan, kita ke Iteung Gugat salah satu caranya dengan kampanye di media. Haparpannya implementsinya benar terlaksana jangan hanya sah saja, tapi haruas kawal implementasinya,” papar Annisa.
Dieskpresikan dengan Kesenian
Ratimaya, salah satu penampil di Panggung Ekspresi, mengekspresikan pengesahan UU TPKS tersebut dengan dongeng. Selama ini ia resah dengan kondisi sosial yang masih memandang perempuan hanya sebagai objek pemuas seksual. Juga persoalan patriarki yang mengakar, membuat kekerasan seksual terjadi di ranah mana pun. Bahkan dari lingkup terkecil, yakni keluarga. Contohnya, orang tua sering kali memberikan perlakuan berbeda antara anak laki-laki dan perempuan.
Stigma perempuan tak boleh keluar malam, dan harus menjaga diri, juga tuntutan harus memenuhi persepsi masyarakat luas mengenai bentuk tubuh ideal, serta sejumlah peraturan aneh yang mempersempit raung aman bagi perempuan.
Dongeng yang naskahnya ditulis sendiri atas keresahan dan riset yang terjadi di masyarkat itu, ditampilkan dengan cara berbeda dari dongeng lainnya. Lewat gerakan dongeng dengan media tubuhnya sendiri, Ratimaya mengekspresikan ketidakadilan yang kerap dialami oleh perempuan.
“Yang ingin aku sampaikan adalah kebanyakan apalagi di Indonesia perempuan sering dianggapnya mahluk tidak berdaya atau makluk yang hanya hidup di dalam rumah dan hanya mengerjakan pekerjaan rumah. Ketika mereka berkeliaran atau keluar malam dan bergaul dengna laki-laki itu dianggapnya negatif,” ungkapnya.
Dongeng tersebut menangkap suatu ketimpangan sosial. Padahal perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama. Mereka sama-sama manusia, berhak hidup dan menekspresikan dirinya. Namun selama ini telah terjadi konstruksi sosial yang begitu kuat di masyarakat terhadap perempuan. Hal ini menurut Ratimaya perlu dilawan.
Maka hadirnya UU TPKS ini menjadi angin segar bagi semua kalangan. Ratimaya mengungkapkan bahwa dengan disahkannya UU ini, para korban pelecehan seksual bisa mendapat ruang aman dan nyaman. Tentu implementasi UU ini masih membutuhkan waktu panjang hingga menjadi UU yang legal.
“Nah dengan aku mendongeng seperti ini mudah-mudaha siapa pun yang mendengar mendapatkan kesadaran. Bahwa masih banyak korban-korban lainnya yang mungkin belum berani berbicara atau bersuara. Dan aku wakilkan di sana,” kata Ratimaya.
Ekspresi dukungan lain disampaika oleh perempuan pengahayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Mereka menampilkan keseian Tarawangsa. Seni yang diiringi kacapi ini menampilkan dua penari perempuan penghayat yang menyajikan tarian lalayaran.
Kesenian Tarawangsa dikenal sebagai bentuk ekspresi syukur terhadap Tuhan terkait hasil panen atau pertanian. Namun kesenian ini juga dikenal sebagai tarian jiwa.
“Tariannya (lalayaran) yang berasal dari jiwa, jiwa kita lagi sedih, kalau lagi bersemangat semangat lagi. Mengungkapkan rasa dengan gerakan, ada dupa dan lainnya itu tradisi dari sesepuh buat penyambung doa, dengan kemenyan,” ungkap Deni, pelaku seni tarawangsa.
Canisa, salah seorang penghayat, mengungkapkan ekspresi tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap disahkannya UU TPKS. Meski UU TPKS masih menghadapi jalan panjang, namun ia berharap agar bisa segera ada peraturan turunannya dan bisa ditandatangani presiden.
“Harapan (pada UU TPKS) menghadirkan ruang aman dan nyaman. Semoga bisa terealisasi secara nyata di lapangan,” katanya.
Sebagai perempuan penganut kepercayaan minoritas, kerap kali ia mendapat diskriminasi dari lingkungan. Juga stigma negatif yang masih terus dialami.
“Diskriminasi sudah sedikit ada perubahan ke arah baik tapi stigma dan label negatif masih melekat ditubuh penghayat sehingga pembedaan perlakuan itu masih sering dijumpai,” ungkapnya.
Baca Juga: Pameran buku Ngabuburead di The Hallway Space, Pasar Kosambi, Kota Bandung, 22 - 24 April 2022. Acara ini terkait momen Hari Buku Sedunia. (Foto: Reza Khoerul Iman/
Menghapus Rajah di Sudut Masjid Al Lathiif
Mengundang Banjir dari Menyusutnya Sawah Gedebage
Catatan UU TPKS dan Harapan Korban
Bagi korban atau penyintas kekerasan, hadirnya UU TPKS adalah kabar baik. Salah satu korban, Dion (bukan nama sebenarnya) berharap ia dan korban lainnya mendapat perlindungan dari regulasi baru tersebut. Ia juga mendorong adanya edukasi seksual secara komperhensif bisa terus dilakukan dengan baik sedini mungkin.
Dion berharap upaya pencegahan kasus kekerasan seksual sedini mungkin dapat diterapkan, salah satunya dengan edukasi dan sosialisasi pasal-pasal UU TPKS. Seperti salah satu upaya pencegahan.
“Kan salah satu upaya pencegahan di UU TPKS itu mendorong untuk belajar edukasi seks dari sedini mungkin. Seenggak-nya sekarang sudah ada penerapan edukasi seks belajar soal bagian tubuh mana yang enggak boleh dipegang sama orang lain di PAUD,” ungkapnya.
Menurutnya, edukasi seksual perlu diterapkan hingga jenjang perguruan tinggi. Juga disosialisasikan bagik di perkotaan maupun di pelosok-pelosok.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengungkapkan bahwa UU TPKS yang telah disahkan bisa dikatakan sudah memeuhi enam elemen kunci pelanggaran kekerasan seksual. Walaupun ia mengakui undang-undang ini belum sempurna.
Enam elemen kunci yang sudah dipenuhi dan diakomodasi dalam UU tersebut yakni, pertama, tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri dari 9 tindakan pidana kekerasan seksual yang telah diatur.
Kedua, ada sangsi dan tindakan buat pelaku. Ketiga, ada hukum acara khusus untuk kekerasan seksual mulai dari pelaporan, penyidikan di kepolisian, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, hak resitusi, hak bantuan terhadap korban dan pendampingan korban.
Keempat, ada hak korban atas penanganan perlindungan dan pemulihan. Kelima, pencegahan yang harus dilakukan oleh seluruh komponen di berbagai sektor. Keenam, pemantauan.
Komnas Perempuan menjadi salah satu lembaga yang juga ditunjuak untuk memantau pelaksanaan UU TPKS. Walaupun demikian, Ami – sapaan akrab Siti Aminah Tardi – tak menampik bahwa masih ada beberapa catatan di UU TPKS yang hilang, misalnya tindak pidana perkosaan, pemaksaan aborsi dan pemaksaan pelacuran. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bersama untuk memastikan agar kekerasan tersebut dapat masuk dalam RKUHP yang masih dalam pembahasan DPR.
“Juga memastikan bahwa tindak pidana yang diatur di UU selain di UU TPKS hukum acaranya dan hak-hak korbannya itu sama dengan yang diatur UU TPKS. Jadi RKUHP harus sejalan dengan UU TPKS, itu yang harus didorong untuk berikutnya,” ungkapnya.
Setelah UU TPKS disahkan, kerja-kerja kolaborasi masih terus dibutuhkan dalam mengawal pemberlakuannya. Hal lainnya, bagaimana dengan pembentukan sistem pelayanan terpadu, pemantauan dan rencana aksi pencegahan kekerasan seksual, dan seterusnya.
Belum lagi dengan pelatihan terhadap aparat penegak hukumnya. Bahwa dalam penanganan kasus kekerasan seksual aparat penegak hukum harus memiliki perspektif terhadap korban. Artinya, diperlukan pelatihan terhadap polisi, jaksa, hakim di seluruh Indonesia.
“Sekarang pun ke depan Komnas Perempuan mulai memikirkan bagaimana pelatihan-pelatihan juga peningkatan status unit PPA di kepolisian menjadi direktorat. Karena itu akan mendorong baik dari segi SDM maupun dari segi anggaran utnuk ketersedian penyidik-penyidik yang memiliki perspektif yang baik,” terang Ami.