• Berita
  • Mengundang Banjir dari Menyusutnya Sawah Gedebage

Mengundang Banjir dari Menyusutnya Sawah Gedebage

Kecamatan Gedebage merupakan daerah terendah di Bandung yang kini mengalami alih fungsi dari sawah menjadi bangunan. Perlu keseimbangan antara ekonomi dan alam.

Petani menanam padi di musim rendeng di area persawahan Gedebage, Bandung, Rabu (15/12/2021). Kecamatan Gedebage mengalami pembangunan pesat. Banyak sawah beralih fungsi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana23 April 2022


BandungBergerak.idHubungan banjir dan Bandung kian erat akhir-akhir ini. Baik yang sifatnya banjir genangan alias cileuncang ataupun banjir besar yang menelan korban jiwa. Kecamatan Gedebage menjadi salah satu dari sekian banyak titik yang tidak pernah absen dari bencana banjir di Kota Bandung.

Bahkan pada Selasa, 19 April 2022 lalu, banjir menyergap Kantor Layanan Uji Kir Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung, di Jalan SOR GBLA Gedebage. Tidak ada korban dalam peristiwa ini, tetapi bencana ini menegaskan bahwa banjir adalah masalah utama Gedebage. Masalah yang tentunya harus dicari solusinya. Selin itu, banjir telah mengganggu pelayanan terhadap masyarakat yang ingin melakukan pengujian kir.

Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Seksi Sarana Dishub Kota Bandung, Dede Agus Sumantri, mengatakan banjir tersebut terjadi akibat hujan lebat yang menyebabkan meluapnya Sungai Cimencrang. Tingginya curah hujan menyulitkan upaya penyusutan air. Kendala lainnya, ujar Dede adalah posisi gedung yang berada pada posisi terendah di daerah itu. Sehingga air sulit untuk surut.

"Upaya penyedotan air kami lakukan sepanjang waktu, hanya saja terkendala terkait pembuangan airnya," kata, Dede, melalui siaran pers Kamis (21/4/2022).

Baca Juga: Sawah di Rancasari Ditargetkan Bisa Panen 4 Kali dalam Setahun, Irigasinya dari Mana?
Mahasiswa dan Rakyat Bandung Turun ke Jalan Mengkritik Pemerintahan Jokowi
NGALEUT BANDUNG: Penerbit Alma’arif, dari Yaman ke Ibu Kota Priangan

Simalakama Pembangunan

Kecamatan Gedebage mengalami pembangunan cukup pesat terutama sejak muncul wacana pemindahan pusat pemerintahan Kota Bandung ke Gedebage. Hal ini tertuang dalam Perda RTRW Kota Bandung No. 18 Tahun 2011 yang menetapkan Gedebage sebagai pusat primer ke-2 Kota Bandung (D Aprilia, 2017, repository.unpas.ac.id).

Meski wacana itu hingga kini belum terealisasi, tetapi daerah ini sudah terlanjur mengalami pertumbuhan hunian maupun sarana komersil. Sudah menjadi faktor alamiah suatu rencana pemindahan pusat kota akan diikuti dengan pembangunan-pembangunan fisik lainnya.

Konsekuensi dari maraknya pembangunan membuat kecamatan dengan luas 979,930 hektare tersebut banyak mengalami alih fungsi. Gedebage merupakan kecamatan yang masih memiliki area pertanian yang cukup luas dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Bandung. Area lahan sawah terluas terletak di Kelurahan Cisaranten Kidul, namun semakin berkurang setiap harinya karena pembangunan.

Maraknya pembangunan berdampak pada munculnya bencana banjir seperti yang dialami Kantor Layanan Uji Kir Dishub Kota Bandung, tempo hari. Skala banjir Gedebage dikhawatirkan meningkat di tengah laju pembangunan yang kurang memerhatikan keseimbangan lingkungan.

Gedebage merupakan daerah terendah dan paling datar dengan ketinggian tanah 627 meter dari permukaan laut. Dengan topografi ini, wilayah Gedebage memiliki fungsi alaminya sebagai daerah tangkapan air. Sehingga tak heran jika wilayah ini memiliki banyak persawahan.

Namun upaya pembangunan yang masif dan menentang siklus alamiah akan menuai konsekuensi berat, seperti banjir yang akhir-akhir ini terus melanda. Tingginya curah hujan tak lagi diserap bumi, melainkan mengalir di atas beton.

Fakta maraknya pembangunan dapat dilihat dari menyusutnya jumlah sawah di Kota Bandung. Merujuk data “Kota Bandung dalam Angka 2003-2018”, Bandung mengalami penyusutan luas lahan sawah yang sangat hebat. Pada tahun 2003, Kota Bandung masih memiliki 2.104 hektare lahan sawah. Pada tahun 2017, luasnya tersisa 725 hektare. Artinya, dalam kurun 14 tahun terjadi pengurangan luas lahan sawah sebanyak 1.379 hektare. Atau, 98,5 hektare setiap tahunnya.

Menyusutnya jumlah sawah otomatis mengurangi luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bandung yang saat ini masih di kisaran 12 persen, jauh dari 30 persen sebagaimana disyaratkan regulasi. Memang pembangunan tidak dicegah, tetapi bisa dikendalikan dengan tetap memperhatikan keseimbangan alam.

“Perlu ada keseimbangan antara alam, masyarakat, dan ekonomi. Kita tidak bisa membangun demi ekonomi dan kenyamanan saja kemudian mengorbankan alam. Semua harus terjadi seimbang. Dengan seimbang Bandung akan tetap nyaman ditinggali,” kata pakar iklim ITB, Zadrach L Dupe, dalam diskusi “Bandung Hareudang, Apa yang Sebenarnya Terjadi?” bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung dan Google News Initiative, Selasa (19/4/2022) lalu.

Bencana banjir yang menyerang Kantor Layanan Uji Dishub Kota Bandung menjadi peringatan alam tentang pentingnya ruang terbuka sebagai tangkapan air. Saat ini pembangunan di Bandung membutuhkan keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan. Tanpa keseimbangan ini pembangunan malah akan menjadi simalakama. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//