Mahasiswa dan Rakyat Bandung Turun ke Jalan Mengkritik Pemerintahan Jokowi
Aksi ini diikuti mahasiswa dan warga, juga driver online yang resah dengan kenaikan BBM dan kebutuhan pokok. Mereka menuntut agar pemerintah memperhatikan rakyat.
Penulis Emi La Palau22 April 2022
BandungBergerak.id - Puluhan mahasiswa dari berbagai elemen kampus di Jawa Barat kembali menggelar aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate, Kota Bandung, Kamis (21/4/2020). Aksi ini tak hanya melibatkan mahasiswa dari berbagai kampus, namun juga diikuti elemen masyarakat, seperti driver online, Aksi Kamisan Bandung, dan lainnya. Mereka tergabung dalam Koalisi Warga Jawa Barat.
Massa aksi mulai terlihat sekira pukul 15.00 WIB, dan mulai memadati halaman depan Gedung Sate. Mahasiswa tampak tak memakai almamater, sebagai bentuk simbolik peleburan dengan masyarakat lainnya.
Beragam spanduk tuntutan atas carut-marutnya kondisi yang terjadi saat ini, terbentang. Mereka protes atas naiknya BBM hingga bahan pangan. Ada juga poster Presiden Joko Widodo dengan hastag “Bukan Urusan Saya” sebagai sindiran terhadap kalimat yang sempat dilontarkan presiden ketika ditanya persoalan masyarakat. Lalu, ada poster karikatur Presiden Jokowi bertuliskan “Enak Zamanku, Toh?”.
Ketua BEM Keluarga Mahasiswa (Kema) Unpad, Virdian Aurelio Hartono mengungkapkan bahwa isu yang dibawa oleh mahasiswa dan juga elemen masyarakat pada intinya merupakan isu yang sama. Tak hanya mengkritik wacana tiga periode masa jabatan presiden, tetapi juga menuntut agar pemerintah membatalkan UU prooligarki, yaitu UU KPK, UU Cipta Kerja, Minerba, dan sejenisnya.
Mereka juga menuntut pengesahan UU yang prorakyat, misalnya perlindungan terhadap hukum adat, perlindungan data pribadi, sampai persoalan pelanggaran HAM di Papua dan lain-lain yang semuanya dirangkum dalam taggar “Puncak Pengkhianatan Rezim”.
“Jadi bentuknya hari ini seluruh elemen punya satu keresahannya masing-masing. Nggak ada satu tuntutan yang kemudian kita dorong ke satu tuntutan bersama, ini memang jadi panggung demokrasi,” ungkap Virdian Aurelio, di lokasi aksi.
Virdian sendiri mengungkapkan gerakan yang dimotori oleh mahasiswa tersebut sesuai dengan hasil konsolidasi. Mereka sengaja tak memakai alamamater sebagai bukti bahwa mahasiswa dan rakyat bersatu.
Terkait dengan tuntutan, sebagai panggung demokrasi jalanan, mahasiswa bersama elemen masyarakat mencoba memperbanyak tuntutan lama yang kemudian diangkat kembali, misalnya sederet UU bermaslah.
Aksi-aksi selanjutnya masih terus akan digaungkan. Gerakan massa ini kemudian akan menjadi gerakan yang berkelanjutan. Koalisi Warga Jabar tak hanya berupa aksi di lapangan, tetapi juga menjadi wadah pendidikan publik.
Tak hanya aksi, mahasiswa juga membagi takjil yang berisi selebaran mengenai tuntutan dan juga hasil kajian yang telah mereka dilakukan.
Virdian mengingatkan pemerintah, jika gejolak protes dari masyarakat terus terjadi, maka pemerintah perlu waspada. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan dan peduli terhadap kondisi rakyat.
“Negara, harusnya kahawatir, negara harusnya peduli, negara harusnya memperhatikan kita. Kenapa karena bayangkan saja baru bulan April, gerakan masyarakat dan mahasiswa sudah sebesar itu. Belum aksi lainnya sepanjang tahun. Dan baru April kita sudah tumpah ruah di jalan, dan ini negara harus khawatir karena semakin hari kita berkumpul dan mengingatkan negara,” urainya.
Perwakilan dari aliansi Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB), Ilyasa Ali Husni mengungkapkan bahwa aksi ini sebagai lanjutan dari aksi-aksi sebelumnya sejak 1 April lalu. Kali PRMB mengusung tema “Mosi Tidak Percaya” terhadap rezim pemerintahan Jokowi.
“Dampak dari ketidakseriusan ataupun dampak dari tidak adanya solusi konkret menangani kirisis hari ini. Sehingga kita melihat bahwa rezim hari ini tidak punya sense of crisis, dan parahnya lagi pemerintahan hari ini tidak mempunyai nation interest-nya, kepentingan kedaulatan negara. Makanya kita menyatakan bahwa kita menyatakan mosi tidak percaya terhadap rezim hari ini,” ungkapnya.
Mahasiswa yang hadir dalam aksi terdiri dari tiga elemen, yakni dari PRMB, mahasiswa Unpad, dan Aliansis Mahasiswa Jabar Menggugat. Mereka bergabung dengan aksi masyarakat.
Baca Juga: Nestapa Warga Korban Pembongkaran Rumah Bantaran Sungai Cibodas di Rusunawa Rancacili
Penyebab Bandung semakin Hareudang
Rencana Pembangunan Jalan Tol Soreang-Ciwidey-Pangalengan Mengancam Cekungan Bandung
Driver Online Bersama Mahasiswa
Tak hanya mahasiswa, pengendara ojol juga turun ke jalan. Mereka membawa poster sindiran yang ditujukan kepada pemerintah, misalnya, “Jabatan Beuki Luhur, Tapi Akalna Beuki Handap”. Tuntutan mereka antara lain pemerataan tarif untuk semua aplikasi ojol, menuntut penurunan harga BBM dan harga sembako.
Penanggung jawab aksi dari Aliansi Driver Online Jabar, Zoelfrans mengungkapkan bahwa aksi ini bentuk dukungan terhadap mahasiswa yang telah menyuarakan penderitaan rakyat.
Menurut Zoelfrans, sebagai driver online, kenaikan harga BBM Pertamax misalnya menjadi pukulan berat. Banyak dari para driver online yang baru bergabung yang notabene motor baru harus menggunakan Pertamax. Di saat bersamaan, kreditan motor mereka belum lunas. Hal ini semakin memberatkan hidup para ojol.
Zoelfrans sendiri meski menggunakan Pertalite khawatir dengan naiknya Pertamax. Hal itu ia rasakan ketika mengisi bensin, antrean selalu panjang. Hal ini ditakutkan memicu kenaikan harga Pertalite. Jika pemerintah menaikkan harga BBM, ia dan para driver online lainnya sangat terjepit.
“Karena kalau ini naik kami mau berapa lagi untuk (bawa pulang) ke rumah dan anak istri. Anak-anak kami juga ada yang mahasiswa, mahasiswa tahu sendiri biayanya gede, gimana mau nutupin dari ojol dari online susah,” ungkapnya.
Jika nantinya pemerintah masih bertahan dengan kenaikan harga-harga BBM, pihaknya akan terus turun dan berjuang untuk menyuarakan hak-hak warga. “Kami cuma ingin perhatian dari pemerintah. kebijakan-kebiakannya jangan memberatkan rakyat kecil,” tandasnya.
Peserta Aksi Diretas
Virdian merasa ada pihak tertentu yang ingin menghalangi aksi. Salah satunya melalui peretasan. Virdian sendiri yang mengalami aksi peretasan tersebut. Sehari sebelum aksi dimulai, tepatnya usai konsolidasi pada Rabu (20/4/2022) malam sekira pukul 22.00 WIB.
Upaya peretasan terjadi pada Whatsapp dan media sosial Instagram miliknya. Ia menemukan ada upaya login ke akunnya. Beruntung ia menggunakan upaya verifikasi dua langkah sehingga Whatsapp-nya bisa kembali normal.
Tak hanya peretasan, upaya intimidasi juga sempat mereka alami. Dua hari lalu ketika akan melakukan konsolidasi, ada upaya dari pihak aparat yang mempengaruhi rektorat untuk menggagalkan konsolidasi. Upaya itu bertujuan agar mahasiswa tidak diberi izin meminjam gedung.
Menurutnya, aksi-aksi peretasan dan intimidasi mulai masif dirasakan kalangan mahasiswa sejak 2019 aksi Reformasi Dikorupsi. Tahun tersebut menjadi tahun kebangkitan gerakan masyarakat dan mahasiswa sekaligus menunjukkan bahwa negara panik.
“Ini juga satu bukti bahwa kemudian negara panik. Ketika tidak bisa memenjarakan orang di lapangan mereka memenjarakan pikiran lewat peretasan,” kata Virdian.
Perempuan Bersama Rakyat
Mahasiswa perempuan juga turut hadir dan menyampaikan suaranya. Astri, mahasiswi dari Universitas Halim Sanusi Bandung, merasa harus turun ke jalan. Ia ingin menyuarakan suara orang tuanya, juga warga lainnya atas keresahan kenaikan BBM dan harga bahan pangan.
“Bahan-bahan makanan semua pada naik tuh. Sedangkan pemasukan dari keluarga menurun. Banyak yang dirumahkan. Terus jadi aku sebagai anak sebagai perempuan pengin menyuarakan semuanya mewakilakan keluarga, mewakilkan masyarakat yang di desa sekaligus juga sebagai mahasiswa,” ungkap Astri.
Hal senada disampaikan Sefty, mahasiswa Unpas, yang menekankan persoalan demokrasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan ruang kritik yang semakin dipersempit. Banyak aktivis HAM yang dibungkam dengan cara dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet UU ITE. Sehingga ia merasa perlu untuk bersuara.
Sebagai mahasiswi, ia mengemban tugas agen perubahan. Ia harus berdiri bersama warga untuk menyampaikan pendapat.
Hal lainnya disampaikan Pratiwi, mahasiswi Sekolah Tinggi Ekonomi Bandung, yang menyatakan bahwa suara perempuan setara dengan laki-laki. Sehingga tak ada alasan perbedaan untuk tidak turun aksi dalam kondisi genting saat ini.
Kirana, mahasiswi ITB, menungkapkan bahwa ia tak bisa hanya tinggal diam. Ia merasa perlu bertindak dalam kondisi yang tak baik-baik saja ini bersama masyarakat. Dengan turun aksi setidaknya ia bergerak untuk menyuarakan krisis yang dialami rakyat.
“Walaupun belum tahu apa dampak yang aku bisa kasih lewat turun aksi ini, tapi seenggak-nya aku enggak diam, dan aku ikut bersuara dengan ketidakadilan yang ada,” kata Kirana.