• Berita
  • Lemahnya Sistem Drainase Jadi Penyebab Banjir Kota Bandung

Lemahnya Sistem Drainase Jadi Penyebab Banjir Kota Bandung

Bandung akan terus terancam banjir jika sistem drainase tak dibangun serius.

Sungai Cikapundung, salah satu sungai yang melintasi Kota Bandung. Bandung memiliki sekitar 16 sungai yang beberapa di antaranya kerap meluap dan menimbulkan banjir. Keberadan sungai di Bandung kurang ditopang sistem drainase. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Penulis Emi La Palau28 Maret 2021


BandungBergerak.id - Musim hujan yang mengguyur akhir-akhir ini menjadi peringatan keras akan bahaya bencana banjir di Kota Bandung. Pada tahun-tahun sebelumnya, sejumlah banjir besar pernah melanda Pasteur, Pagarsih, Cicaheum, dan Gedebege.

Bahkan saat banjir melanda Pasteur pada 24 Oktober 2016, seorang warga, Ade Sudrajat (30), terbawa arus hingga tewas. Di saat yang sama, Gerbang Tol Pasteur yang menjadi pintu utama masuk ke Kota Kembang sempat ditutup selama satu jam karena genangan air bah.

Banjir besar di kawasan Pasteur terjadi lagi pada malam Natal 2020, ratusan rumah terendam. Banjir di kawasan Kecamatan Sukajadi ini tak lepas dari luapan Sungai Cianting, Sungai Cilimus, Sungai Cikalintu (anak Sungai Citepus), serta buruknya sistem drainase.

Pada 9 November 2016, banjir Pagarsih, Kecamatan Astana Anyar, menghanyutkan dua mobil milik warga. Tahun berikutnya tercatat tiga kali daerah ini diterjang banjir yang merendam ratusan rumah di RW 07 Kelurahan Cibadak, masih satu kecamatan dengan Pagarsih. Banjir Pagarsih maupun Cibadak terjadi akibat Sungai Citepus tak mampu menahan debit air di kala hujan deras.

Kawasan lain di Bandung yang pernah dilanda banjir besar adalah Cicaheum, Kecamatan Kiaracondong. Pada 21 Maret 2018, banjir bandang disertai lumpur melanda kawasan ini. Sekitar 17 mobil rusak parah karena terendam banjir lumpur ini. Delapan sepeda motor rusak.

Banjir lumpur juga melumpuhkan lalu lintas Jalan A Yani-AH Nasution di sekitar Terminal Cicaheum. Seperti kawasan Pagarsih, banjir Cicaheum terjadi karena luapan Sungai Cijambe.

Banjir juga kerap melanda kawasan Gedebage. Pada 25 Januari 2020, banjir merendam ratusan rumah. Di tahun yang sama, Jalan SOR GBLA, Rancabolang, Kecamatan Gedebage, juga terendam banjir. Banjir Gedebagi terjadi karena luapan Sungai Cinambo.

Bencana banjir yang melanda Kota Bandung umumnya terjadi karena ketidaksanggupan sungai sebagai drainase alami dalam mengatur aliran air hujan. Walaupun jumlah sungai di kota ini cukup banyak, yakni 16 sungai yang melintasi 30 kecamatan di Kota Bandung. Sementara sistem drainase yang dibangun Pemkot Bandung juga tak banyak menolong.

Banjir yang melanda Bandung juga tak lepas dari pesatnya pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk. Menurut data BPS Kota Bandung dalam Angka 2020, penduduk Bandung pada 2019 sebanyak 2.507.888 jiwa.

Jumlah tersebut tumbuh 0,17 persen dibandingkan tahun 2018. Dibandingan sejarah awal Bandung pada masa kolonial, penduduk kota Bandung jauh lebih sedikit, yakni 112.800 pada 1920, menurut Sudarsono Katam dalam buku Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910-an (Khazanah Bahari, 2015).

Penduduk Bandung tinggal di kota yang berbentuk cekungan dengan seluas 167,31 kilometer persegi dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut (dpl). Titik tertinggi di Kecamatan Cidadap dengan ketinggian 892 meter dpl dan terendah di Kecamatan Gedebage dengan ketinggian 666 meter dpl. Sehingga tak heran jika Gedebage kerap dilanda banjir karena secara alami daerah ini paling rendah di Cekungan Bandung.

Akan tetapi dengan jumlah penduduk yang mendekati 3 juta jiwa, BPS mencatat potensi Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung baru 2.043.52 hektar, proporsinya 12.22 persen dari total lahan. Lahan di Bandung didominasi permukiman.

Lemahnya Sistem Drainase

Kejadian banjir di Kota Bandung tak bisa menyalahkan kondisi alaminya. Ketidaksanggupan sungai-sungai menahan laju air hujan tak lepas dari tingginya pembangunan dan laju penduduk Kota Bandung. Sehingga fungsi sungai sangat membutuhkan dukungan sistem drainase, daerah resapan atau ruang terbuka hijau, dan rekayasa-rekayasa lain yang mengatur air hujan.

Ahli pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) sekaligus pakar hidrologi Universitas Padjajaran (Unpad), Chay Asdak mengatakan, sistem drainase menjadi faktor krusial untuk mengatasi banjir di Kota Bandung. Faktor ini sampai saat ini menjadi PR (pekerjaan rumah) besar yang belum terselesaikan Pemkot Bandung.

Sistem drainase sangat memengaruhi laju aliran air terutama ketika musim hujan. Menurut Chay Asdak, jumlah sistem drainase di Kota Bandung masih sangat minim. Misalnya, pada tahun 2014 jalan di Kota Bandung baru ditopang 30 persen sistem drainase. Sedangkan 70 persen jalan sisanya belum ditopang sistem drainase yang baik.

Sehingga tak heran saat hujan dengan intensitas tinggi, jalan tersebut akan tergenang air. “Kalau kita lihat untuk persoalan di Bandung, lebih kepada infrastruktur itu sendiri, karena satu drainase itu belum memenuhi, belum cukup,” ungkap Chay Asdak, saat dihubungi BandungBergarak.id melalui sambungan telepon, Jumat (26/3/2021).  

Pembangunan drainase tak bisa dibebankan kepada pihak lain atau masyarakat. Berbeda dengan persoalan sampah yang membutuhkan partisipasi masyarakat. Sistem drainase adalah kewajiban pemerintah.

“Tidak bisa mengharapkan warga untuk berpartisipasi membuat drainase. Karena itu kewenangan pemerintah. Pemerintah yang harus memfasilitasi jalan untuk kemudian dibangun drainasee yang memadai,” terangnya.

Pembangunan sistem drainase di setiap jalan harus disesuaikan dengan debit air. Berkaca pada Jalan Dago dinilai memiliki drainase yang cukup besar dan memadai.

“Sehingga di sana tidak terjadi banjir, karena sistem drainasenya memadai, dia sudah menghitung betul kalau airnya masuk situ maka drainasenya diperlukan diameter sekian. Nah itu yang keliatannya mis di kita, dan itu tugasnya pemerintah,” ungkapnya.

Chay Asdak mengomentari pembangunan kolam retensi yang dilakukan Pemkot Bandung. Pembangunan kolam retensi harus disertai pembangunan sistem drainase. Keduanya harus dibangun masif. Tidak cukup jika hanya satu atau dua kolam retensi.

Kolam retensi yang berfungsi sebagai penampung air hujan harus dibuat di tempat yang tepat. Selain itu, penyedian ruang terbuka hijau juga harus dimasifkan, ditambah dengan memperbanyak sumur-sumur serapan.

Wali Kota Bandung sebagai pemegang kebijakan Pemkot Bandung diharapkan mampu mengambil langkah-langkah strategis untuk menanganan persoalan banjir Kota Bandung. “Kalau hal-hal seperti itu tidak diambil kebijakan, terutama oleh Wali Kota, kalau hanya bereaksi saja ketika terjadi banjir hanya meninjau sana sini tetapi tidak secara staregis mengupayakan upaya-upaya yang bisa mengurangi tadi ya disayangkan,” ungkap Chay Asdak.

Masalah banjir Kota Bandung juga tak lepas dari daerah penyangga, yaitu Kawasan Banduang Utara yang posisinya di atas Kota Bandung. Penyalahgunaan tata ruang di wilayah utara berimbas masalah lingkungan di daerah di bawahnya, yakni Kota Bandung.

Bandung utara sendiri berada pada wilayah Kabupaten Bandung Barat. Perlu kerja bersama antar Pemerintah KBB dan Pemkot Bandung dalam mengatasi masalah lingkungan Kawasan Bandung Utara.

Sungai Cikapundung, salah satu sungai yang melintasi Kota Bandung. Bandung memiliki sekitar 16 sungai yang beberapa di antaranya kerap meluap dan menimbulkan banjir. Keberadan sungai di Bandung kurang ditopang sistem drainase.  (Foto: Iqbal Kusumadirezza)
Sungai Cikapundung, salah satu sungai yang melintasi Kota Bandung. Bandung memiliki sekitar 16 sungai yang beberapa di antaranya kerap meluap dan menimbulkan banjir. Keberadan sungai di Bandung kurang ditopang sistem drainase. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Pemkot Andalkan Kolam Retensi

Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, mengatakan pihaknya saat ini gencar mengoptimalkan lahan terbuka sebagai sumber serapan melalui pembangunan kolam retensi, sumur resapan, pengoptimalan ruang terbuka hijau. Program ini ditargetkan dibangun di wilayah utara sampai timur Bandung.

" Karena Bandung daerah cekungan makanya kita harus banyak serapan air di wilayah hulu sehingga air mengalir ke hilir semakin berkurang," ucap Yana di Jalan Nyland, Kamis (18/3/2021) dilansir dari rilis yanga dikeluarkan oleh Humas Pemkot Bandung.

Hingga saat ini Pemkot Bandung sudah membuat 7 kolam retensi yang tersebar di berbagai wilayah. Lalu 10 sumur imbuhan dalam yang dipusatkan di kawasan Gedebage. Kemudian 3.470 drum pori tercatat telah disebar sepanjang tahun 2020 lalu.

Tujuh kolam retensi yang sudah dibuat yakni kolam retensi di depan pasar Gedebage yang menampung aliran dari Sungai Cipamulihan. Termasuk juga kolam retensi Sarimas yang menampung limpahan Sungai Cikiley, lalu di Sirnaraga untuk memarkir air Sungai Citepus.

Kemudian ada kolam retensi di Rancabolang dekat Sungai Cinambo. Selanjutnya kolam retensi di kawasan Cisurupan sebagai penampung aliran Sungai Ciloa. Termasuk kolam retansi di tengah kota di Taman Lansia dan Taman Kandaga Puspa di samping Sungai Cikapayang.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Bandung, Didi Ruswandi menambahkan pihaknya akan melakukan optimalisasi lahan perbukitan ataupun daerah kolam retensi dan aliran sungai dengan memberikan ruang aktivitas bagi masyarakat. Masyarakat didorong ikut memelihara tempat tersebut agar berfungsi secara maksimal.

Menurut Didi, penanganan banjir di Kota Bandung sudah mengacu pada konsep Zero Delta Q policy. Sehingga air yang dialirkan disesuaikan dengan kapasitas drainase. Sementara kelebihannya itu diupayakan untuk bisa diparkir dan diresapkan.

Didi mengakui, jumlah dan kapasitas drainase Kota Bandung masih terbatas. "Makanya kita sekarang fokus parkir dan resapan. Di ruang terbuka hijau dengan resapan di ruang terbangun. Kita buat rekayasa resapan, di ruang yang luas buat retensi," katanya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//