• Nusantara
  • UU TPKS Disahkan, LBH Jakarta Mengungkap 10 Catatan Penting untuk DPR RI

UU TPKS Disahkan, LBH Jakarta Mengungkap 10 Catatan Penting untuk DPR RI

Lahirnya UU TPKS tak lepas dari perjalanan panjang yang diperjuangkan para pegiat atau aktivis maupun korban kekerasan seksual.

Aktivis perempuan membentangkan spanduk dan poster berisi pesan perlawanan terhadap tindak kekerasan seksual dalam aksi peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 di depan Gedung Sate Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana14 April 2022


BandungBergerak.id - LBH Jakarta mengapresiasi langkah DPR RI mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Selasa (12/4/2022). Pengesahan ini sebagai kemenangan dari kerja keras banyak pihak selama 10 tahun terakhir. LBH Jakarta pun memberi penghargaan setinggi-tingginya kepada segenap korban, penyintas dan jaringan masyarakat sipil yang mendorong lahirnya undang-undang ini.

Hadirnya UU TPKS juga mendapat sambutan positif dari Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) - sebuah aliansi yang beranggotakan organisasi-organisasi massa buruh migran, mantan buruh migran dan anggota keluarganya. Pengesahan undang-undang ini dinilai sebagai bentuk pengakuan negara atas persoalan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan yang sangat serius di masyarakat Indonesia.

LBH Jakarta menyatakan kini  Indonesia memiliki regulasi yang mengatur berbagai tindak pidana kekerasan seksual dan jaminan atas hak-hak korban. “Meski demikian, masih terdapat beberapa pekerjaan rumah yang tersisa dari naskah terakhir,” kata LBH Jakarta, dikutip dari siaran pers, Kamis (14/4/2022).

LBH Jakarta merangkum 10 catatan penting tersebut sebagai berikut: 

1. Jaminan ketidak berulangan tidak tegas diatur sebagai asas undang-undang. Absennya asas ini berdampak pada kualitas beragam upaya pencegahan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual.

2. Tindak pidana pemaksaan aborsi tidak diatur. Padahal menurut Laporan YLBHI dan 17 LBH se-Indonesia, terdapat 7 korban pemaksaan aborsi di tahun 2020. Sementara menurut Komnas Perempuan, terdapat 9 korban. Sebagai upaya perlindungan, perlu ada aturan yang menegaskan “tidak memidana” korban pemaksaan aborsi baik karena kedaruratan medis maupun kehamilan akibat kekerasan seksual.

3. Tidak mengatur definisi beberapa tindak pidana, seperti perkosaan, perkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan pemaksaan pelacuran. Ketiadaan definisi ini berpotensi menimbulkan disparitas pemahaman atau multitafsir dalam level implementasi.

4. Hak korban terkait penanganan belum seluruhnya diakomodir, seperti hak atas kemudahan mengakses layanan pengaduan; hak untuk menyampaikan keterangan dan pendapat secara bebas; hak untuk mendapatkan izin meninggalkan pekerjaan dengan mendapat upah penuh; hak bebas dari pertanyaan menjerat; dan hak untuk tidak mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminasi.

5. Hak korban terkait perlindungan belum seluruhnya diakomodir, seperti hak untuk mendapatkan pemberdayaan hukum dan terlibat dalam proses pelaksanaan perlindungan; hak untuk mendapatkan layanan rumah aman; dan hak untuk mendapatkan informasi dalam hal tersangka atau terdakwa tidak ditahan atau terpidana akan selesai menjalani masa hukuman. 

6. Hak korban terkait pemulihan juga belum seluruhnya diakomodir, seperti hak atas pemulihan sosial budaya dan hak atas pemulihan politik. Meski sudah mengatur pemulihan secara fisik, psikologi dan ekonomi namun UU TPKS belum menjamin kebutuhan korban dengan rinci. Misalnya, tidak ada jaminan atas kebutuhan dasar yang layak; layanan keterampilan, modal usaha, dan/atau kemudahan akses mendapat pekerjaan yang layak; serta layanan kemudahan pemulihan kepemilikan harta benda.

7. Belum mengakomodir beberapa hak keluarga korban, seperti hak mendapatkan tempat tinggal sementara; hak atas pemberdayaan ekonomi keluarga dan perlindungan sosial; hak untuk mendampingi keluarga yang menjadi korban, saksi dan pelapor kasus kekerasan seksual; hak mendapatkan dukungan akomodasi dan transportasi; dan hak untuk tidak mendapatkan stigma dan diskriminasi.

8. Tidak mengatur hak saksi dan ahli, seperti hak atas informasi tentang hak dan kewajibannya sebagai saksi/ahli dalam proses peradilan perkara tindak pidana kekerasan seksual; hak atas kerahasiaan identitas diri, keluarga, kelompok dan/atau komunitasnya; hak untuk memperoleh surat pemanggilan yang patut, fasilitas atau biaya transportasi, dan/atau akomodasi selama memberikan keterangan dalam proses peradilan pidana perkara tindak pidana kekerasan seksual; hak atas layanan psikolog klinis atau dokter spesialis kesehatan jiwa bagi saksi; hak atas layanan bantuan hukum bagi saksi; hak untuk mendapatkan layanan rumah aman bagi saksi; dll.

9. Upaya pencegahan juga belum lengkap. Belum ada aturan penyebarluasan informasi tentang penghapusan kekerasan seksual; menyediakan program dan anggaran untuk pencegahan kekerasan seksual; membangun kebijakan penghapusan kekerasan seksual yang berlaku bagi lembaga negara, pemerintah dan pemerintah daerah; membangun komitmen penghapusan kekerasan seksual sebagai salah satu syarat dalam perekrutan, penempatan dan promosi jabatan pejabat publik; memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi pejabat dan aparatur penegak hukum yang dikelola oleh negara; dan membangun sistem data dan informasi kekerasan seksual yang terintegrasi dalam sistem pendataan nasional.

10. Belum mengatur larangan bagi aparat penegak hukum agar tidak menggunakan pertimbangan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya yang mengandung muatan diskriminasi terhadap korban; tidak menggunakan penafsiran ahli yang bias gender; dan tidak mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender. 

“Perjalanan ini masih jauh dari kata usai, seluruh elemen masyarakat harus tetap mengawal agar undang-undang ini dapat diimplementasikan sesuai cita-cita keadilan yang diharapkan korban dan penyintas kekerasan seksual,” demikian pernyataan LBH Jakarta. 

Selanjutnya, pemerintah masih memiliki sejumlah pekerjaan rumah dalam kerangka tindak lanjut. Beberapa di antaranya adalah: 

  1. Memperkuat kultur hukum aparat penegak hukum agar berperspektif korban dan gender dalam setiap tahapan proses peradilan pidana. 
  2. Memperkuat mekanisme pengawasan terhadap aparat penegak hukum demi terciptanya penegakan hukum yang adil dan transparan bagi korban kekerasan seksual. 
  3. Melengkapi infrastruktur yang memadai sesuai kebutuhan korban, termasuk alokasi anggaran untuk memenuhi hak-hak korban baik penanganan, perlindungan dan pemulihan yang dapat diakses secara cuma-cuma.
  4. Memprioritaskan agenda pendidikan publik dan kampanye demi terciptanya ruang aman di seluruh lini kehidupan masyarakat.
  5. Membentuk peraturan pelaksana yang menguatkan implementasi UU TPKS dengan melibatkan secara penuh partisipasi korban, penyintas dan jaringan masyarakat sipil.

Baca Juga: Wolff Schoemaker Perias Wajah Kota Bandung
Tentang Rumah Deret yang Vertikal Itu
Mahasiswa Bandung Bergerak, Terus Mengawal Tuntutan pada Presiden Joko Widodo

Tindak Kekerasan Seksual Menimpa Perempuan Buruh Migran

Lahirnya UU TPKS tak lepas dari perjalanan panjang yang diperjuangkan para pegiat atau aktivis maupun korban kekerasan seksual. Jaringan Buruh Migran Indonesia menilai, mereka tak kenal lelah berjuang dan mengawal pengesahan UU TPKS hingga berhasil disahkan.

“Persatuan dan perjuangan gigih ini yang menjadi kunci utama akhirnya UU TPKS disahkan,” demikian pernyataan resmi JBMI.

JBMI menyatakan, UU TPKS mengatur sembilan tindak pidana kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Kini korban memiliki kesempatan hukum untuk melapor dan mempidanakan pelaku serta menuntut kompensasi.

JBMI mengakui bahwa tindak kekerasan seksual juga banyak menimpa perempuan buruh migran. Mereka pernah mengalami kekerasan seksual di dalam lingkungan rumah, sekolah, masyarakat, penampungan P3MI, tempat kerja dan tempat-tempat lainnya.

Perempuan calon buruh migran juga mengalami pemaksaan kontrasepsi oleh P3MI. Mereka yang belum menikah juga dipaksa suntik KB sehingga berdampak pada kesehatan. Akan tetapi, korban tidak tahu ke mana harus meminta pertolongan sehingga kasus tidak dilaporkan.

Setelah bekerja di luar negeri pun dan merasakan efek dari kekerasan seksual yang pernah mereka alami, perempuan buruh migran juga tidak berani meminta pertolongan karena takut stigma. Seumur hidup, mereka harus menderita mental dan fisik.

“JBMI berharap dengan adanya UU TPKS, para korban akan terdorong untuk melapor dan masyarakat semakin menyadari bahwa tindak kekerasan seksual adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang harus diperangi bersama,” katanya.

Di samping itu, JBMI melihat perjuangan belum selesai. Pemerintah masih harus mewujudkan implementasi UU TPKS dengan mendorong perumusan peraturan turunan dan meyakinkan keadilan bagi korban ditegakkan.

“Semua pihak, termasuk organisasi-organisasi perempuan buruh migran, masih harus terlibat memperjuangkan UU TPKS hingga benar-benar diterapkan dan bermanfaat bagi perempuan dan anak perempuan korban tindak kekerasan seksual,” katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//