• Kampus
  • Unpad Menyediakan Ruang Aman bagi Korban dan Penyintas Kekerasan Seksual

Unpad Menyediakan Ruang Aman bagi Korban dan Penyintas Kekerasan Seksual

Pusat Riset Gender dan Anak Unpad menyatakan kekerasan terhadap perempuan di ranah pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi.

Peresmian fasilitas Ruang Aman Unpad bagi korban dan penyintas kekerasan seksual di Ruang Serba Guna Gedung II Lantai 4 Kampus Iwa Koesoemasoemantri Unpad, Bandung, Kamis (21/4/2022). (Sumber: Unpad)*

Penulis Iman Herdiana23 April 2022


BandungBergerak.idTingginya kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan tinggi mendorong Universitas Padjadjaran (Unpad) melalui Pusat Riset Gender dan Anak untuk menyediakan fasilitas “Ruang Aman” bagi korban dan penyintas kekerasan seksual. Fasilitas ini diharapkan menjadi tempat bagi para korban dan penyintas untuk mendapatkan keamanan dan perlindungan dari jerat kekerasan yang dialaminya.

Peresmian fasilitas Ruang Aman dilakukan langsung Rektor Unpad Rina Indiastuti di sela gelar wicara “Insight by Unpad (IBU)”Peringatan Hari Kartini 2022 yang disiarkan secara langsung dari Ruang Serba Guna Gedung II Lantai 4 Kampus Iwa Koesoemasoemantri Unpad, Bandung, Kamis (21/4/2022).

Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang juga peneliti di Pusat Riset Gender dan Anak Unpad Aquarini Priyatna mengatakan, berdasarkan catatan Komnas Perempuan 2012-2021, kekerasan perempuan di ranah pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Sebanyak 87,8 persen di antaranya merupakan tindak kekerasan seksual.

“Kekerasan seksual bukan sekadar kejahatan kesusilaan, melainkan kejahatan kemanusiaan. Penanganan terhadap korban kekerasan harus dilakukan secara sensitif dan dengan perspektif melindungi korban,” kata Guru Besar yang akrab disapa Atwin, dikutip dari laman Unpad, Sabtu (23/4/2022). 

Unpad sendiri telah mengeluarkan Peraturan Rektor Nomor 41 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Unpad. Peraturan ini mendorong pada upaya pendampingan, perlindungan, dan pemulihan kepada korban, serta keadilan dengan memberikan sanksi kepada pelaku.

Guna menindaklanjuti peraturan tersebut, Pusat Riset Gender dan Anak Unpad kemudian menyediakan fasilitas Ruang Aman sebagai tempat bagi para korban dan penyintas untuk dapat menceritakan kekerasan yang dialaminya.

“Ruang Aman kiranya dapat memberikan tempat bagi para korban dan penyintas untuk dapat menceritakan kekerasan yang dialami di dalam lingkup yang aman tanpa prasangka, tanpa penghakiman, dan tanpa berbagai sikap yang seringkali menyalahkan perempuan korban,” papar Atwin.

Hadirnya Ruang Aman ini, kata Atwin, menjadi upaya Unpad dalam menanggapi isu kekerasan seksual di kampus secara serius, merangkul korban dan penyintas, serta memberikan peringatan keras kepada pelaku maupun calon pelaku kekerasan.

Rektor Unpad Rina Indiastuti mengatakan, Unpad berkomitmen mencegah kekerasan seksual terjadi di dalam kampus. “Kalaupun sudah terjadi, maka penyintasnya harus dipulihkan, ditumbuhkan rasa percaya dirinya. Maka Ruang Aman hadir untuk mereka bisa bercerita dan punya semangat lagi,” kata Rektor.

Para penyintas di Ruang Aman tidak akan merasa sendirian. Relawan maupun tim pendamping psikologi akan membantu mendengar cerita korban serta berupaya memberikan pendampingan dan pemulihan kepada korban.

“Kita harapkan korban kita bisa pulihkan, lalu mencegah korban berikutnya,” kata Rektor. Unpad sendiri akan memberikan sanksi tegas bagi pelaku ataupun calon pelaku kekerasan seksual.

Ia menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual, baik dosen/tenaga kependidikan PNS maupun mahasiswa akan mendapatkan hukumannya. Dengan demikian ia berharap Unpad aman bagi semua lewat keberadaan Ruang Aman.

Baca Juga: Mengundang Banjir dari Menyusutnya Sawah Gedebage
Menghapus Rajah di Sudut Masjid Al Lathiif
Mahasiswa dan Rakyat Bandung Turun ke Jalan Mengkritik Pemerintahan Jokowi

Bentuk Pendampingan

Ruang Aman Unpad diharapkan menjadikan kampus lebih ramah dan mampu merangkul para penyintas kekerasan seksual. Anggota tim Pusat Riset Gender dan Anak Unpad Karolina L. Dalimunthe mengatakan, saat ini “Ruang Aman” diprioritaskan menerima rujukan keluhan jika terjadi permasalahan kekerasan seksual di lingkungan Unpad.

“Rujukannya seringkali berupa penyintas/korban kekerasan seksual yang membutuhkan  dukungan/dampingan psikologis dan sosial,” tutur Karolina.

Usai menerima keluhan, tim kemudian mulai melaksanakan kegiatan pendampingan berupa pertemuan yang dilakukan seminggu sekali untuk setiap penyintas. Pihaknya juga memfasilitasi pertemuan secara daring melalui telekonferensi, telepon, atau chat apabila penyintas belum bersedia melakukan tatap muka langsung.

Karolina menjelaskan, pendampingan penyintas acapkali membutuhkan waktu lebih dari satu sesi pertemuan. Minimal ada empat kali pertemuan untuk satu penyintas. Setiap satu sesi pertemuan memiliki durasi kurang lebih 60 sampai 120 menit. Aktivitas pertemuan lanjutan akan menjadi tindak lanjut dari kegiatan pendampingan individual, jika penyintas membutuhkan hal tersebut.

Dosen Fakultas Psikologi Unpad tersebut mengatakan, pendampingan terhadap korban dan penyintas kekerasan seksual merupakan aktivitas yang sensitif dan penuh kehati-hatian. Pasalnya, trauma kekerasan berpotensi menghilangkan kepercayaan (trust) penyintas terhadap lingkungannya.

“Hal ini membuat mereka berhati-hati dalam berinteraksi, terutama dengan orang yang baru dikenalnya, sehingga tidak mudah membangun relasi dan mendapat kepercayaan dari penyintas,” kata Karolina.

Kendati gejala taruma, terutama saat peristiwa kekerasa seksual yang sebenarnya sudah berlalu, bagi penyintas hal ini masih dirasakan sebagai suatu yang nyata. Akibatnya, rasa takut masih sering dirasakan bahkan diekspresikan secara spontan. Rasa trauma, perasaan ketidakberdayaan, hingga kecenderungan menyalahkan diri sendiri menjadi tantangan tersendiri dalam pemulihan trauma korban dan penyintas. Karena itu, di “Ruang Aman” tersebut, selain melakukan pendampingan individual oleh Psikolog, pendampingan juga dilakukan dengan relawan dari kelompok sebaya.

Karolina mengatakan, upaya ini dilakukan untuk membangun kembali perasaan aman dan kepercayaan pada orang lain. Upaya ini juga dapat dipakai sebagai outlet emosi dan sumber dukungan sosial bagi penyintas. Upaya ini penting mengingat kebanyakan yang dirampas dari korban kekerasan seksual adalah rasa aman dan kepercayaan pada diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, penataan ekologis dan sistemik di kampus yang ramah korban akan mendukung proses pemulihan.

“Saat kampus tidak memiliki kejelasan prosedur, tidak transparan pada penyelesaian kasus bahkan membiarkan stigma, bahkan penilaian yang cenderung menyalahkan korban maka kondisi ini akan dapat menghambat proses pemulihan,” ujarnya.

Saat ini Pusat Riset Gender dan Anak juga sedang mengembangkan bentuk aktivitas lanjutan berupa kelompok berbagi dan ekperimentasi seni yang dapat mendukung pemulihan.

“Tentunya pemulihan dan kesejahteraan dari semua penyintas yang mendapat dampingan dari Puris dan harapannya penyintas mampu bangkit dan mengaktualisasikan dirinya secara optimal,” tutup Karolina.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//