• Opini
  • Kita Perlu Oposisi!

Kita Perlu Oposisi!

Mekanisme checks and balances dapat menjadi lemah ketika kekuatan mayoritas partai di DPR telah menjalin kesepakatan dengan presiden.

Ari Ganjar Herdiansah

Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Joget gemoy capres Prabowo Subianto di stadion GBLA, Bandung, 8 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 April 2024


BandungBergerak.id – Baru-baru ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, “Kita tidak perlu oposisi.” Pernyataan serupa juga pernah diungkapkan oleh Presiden Jokowi pada 2019 yang menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada oposisi, melainkan demokrasi gotong royong.

Sejurus dengan pernyataan itu, pemerintahan kita semakin dibangun berdasarkan koalisi besar. Di periode pertama pemerintahan Jokowi, partai non-pemerintah terdiri dari Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PKS. Menjelang akhir periode kedua, hanya PKS yang tersisa dengan kekuatan sebanyak 50 kursi legislatif.

Di pihak lain, sejumlah aktivis dan kekuatan sipil menuntut oposisi yang kuat. Misalnya, Bangsa Mahardika (@bangsamahardika) dan Ruanggerak UMY (@ruanggerak.umy), kelompok-kelompok aktivis yang kritis, menyatakan seruan membangun oposisi yang permanen. Dalam narasinya, mereka menekankan ketidakpercayaan terhadap politisi, dan istilah oposisi disematkan kepada gerakan rakyat.

Berkaitan dengan fenomena tersebut, penting untuk mempertanyakan apa yang dimaksud oposisi dan seberapa penting kekuatan oposisi dalam kehidupan demokrasi kita.

Baca Juga: Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Jokowi, Mitos Politik, dan Kematian Nalar Publik
Politik Dagang Sapi, Kompromi Elite Vs. Kepentingan Rakyat

Apa Itu Oposisi?

Dalam sistem presidensial seperti yang dianut Indonesia, memang tidak dikenal oposisi sebagai suatu lembaga resmi. Istilah oposisi biasanya berlaku dalam sistem parlementer, menunjuk pada partai atau koalisi partai non-pemerintah yang secara resmi bertindak sebagai pengawas dan penentang terhadap partai atau koalisi partai yang membentuk pemerintahan.

Dinamika politik di parlemen memungkinkan pemimpin pemerintahan jatuh melalui mekanisme mosi tidak percaya. Karena itu, partai oposisi berupaya menunjukkan kinerjanya, misalnya dengan menyediakan kebijakan alternatif dan pengawasan yang efektif, agar mendapatkan ganjaran kemenangan suara pada pemilu berikutnya.

Dalam sistem presidensial, seluruh elemen politik di DPR menjalankan fungsi check and balance. Karenanya, penggunaan istilah oposisi sebagaimana yang terdapat dalam sistem parlementer dalam konteks ini tentu saja keliru.

Namun, pada kenyataannya proses politik di DPR berjalan dinamis dan rumit. Hal ini dikarenakan para presiden cenderung membentuk koalisi pelangi yang gemuk untuk menjamin stabilitas politik. Karena program-program pemerintah –termasuk soal penganggarannya– harus melalui persetujuan DPR, maka dukungan dari kekuatan politik di DPR adalah krusial.

Di sinilah letak masalahnya.

Koalisi besar hanya bisa terbentuk melalui kesepakatan para ketua umum partai, berdasarkan transaksi-transaksi politik, dan biasanya dalam bentuk bagi-bagi kursi di kabinet, BUMN, dan jabatan pemerintahan lainnya. Mekanisme checks and balances dapat menjadi lemah ketika kekuatan mayoritas partai di DPR telah menjalin kesepakatan dengan presiden.

Artinya, pengawasan legislatif terhadap pemerintah cenderung berkurang, dan hal ini memungkinkan pemerintah menjalankan kebijakan tanpa pengawasan yang efektif.

Sebagai contoh, kasus kandasnya hak angket DPR untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilu 2024 diduga kuat terkait dengan negosiasi politik yang melibatkan kekuatan-kekuatan partai. Dalam negosiasi tersebut, jatah menteri bagi partai-partai untuk pemerintahan Prabowo-Gibran disinyalir menjadi bagian dari kesepakatan.

Karena itu, melihat kecenderungan mayoritas partai kita yang kolutif dan mengejar kepentingannya masing-masing, sangat wajar ketika kelompok-kelompok aktivis menyerukan gerakan rakyat “oposisi”.

Apa yang mereka serukan merupakan bentuk kritik atas rendahnya komitmen para politisi kita yang duduk di lembaga legislatif untuk menjalankan prinsip trias politica. Seruan ini juga mencerminkan kekecewaan yang mendalam terhadap proses politik yang seringkali lebih mengutamakan transaksi politik ketimbang kepentingan publik.

Pentingnya Peran Oposisi

Pernyataan bahwa dalam sistem politik di Indonesia tidak ada partai oposisi memang ada benarnya. Akan tetapi, bukan berarti peran oposisi tidak ada atau tidak diperlukan. Bagaimanapun, sistem politik yang demokratis menuntut adanya peran dan fungsi dari kekuatan “oposisi” di parlemen.

Karena sistem kita pada praktiknya terlanjur membentuk koalisi pemerintahan, lembaga legislatif yang kuat membutuhkan kekuatan partai di luar pemerintahan yang lebih getol menyoroti kelemahan dan kekurangan dari program atau kebijakan pemerintah.

Sejumlah partai non-pemerintah dengan kekuatan yang cukup diperlukan guna menjalankan peran ekstra dalam mengawasi dan menyediakan gagasan tandingan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap keliru.

Ketika partai-partai yang terafiliasi dengan pemerintah cenderung melunak, partai non-pemerintah menjadi saluran bagi suara kritis terhadap pemerintah untuk memastikan bahwa semua keputusan yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Partai-partai ini relatif terbebas dari deal-deal politik dengan presiden, sehingga dapat memberikan pandangan kritis secara objektif dan mengambil sikap yang lebih berani dibandingkan partai yang sedang berkuasa.

Namun di atas semua itu, kita menanti kesungguhan semua partai politik dalam membangun demokrasi yang substantif. Partai politik harus mau bekerja keras untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar dengan merevitalisasi peran check and balance di DPR. Mereka tidak boleh melonggarkan fungsi-fungsi legislatif karena mudah tergiur oleh insentif pemerintahan.

Menjadi partai non-pemerintah mungkin amat berat dijalani setiap partai. Akses mereka ke berbagai sumber daya negara mungkin sangatlah terbatas. Tetapi, mereka justru berkontribusi dalam membangun sistem demokrasi yang sehat.

Partai-partai ini dapat menginisiasi undang-undang yang mendukung kebijakan publik yang lebih inklusif dan adil, atau mereka bisa lebih aktif dalam komisi-komisi DPR untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat atas kebijakan pemerintah. Mekanisme ini diperlukan guna memastikan bahwa setiap program dan kebijakan bermuara pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan elite.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//