Politik Dagang Sapi, Kompromi Elite Vs. Kepentingan Rakyat
Politik dagang sapi sebagai kompromi para elite dengan membagi-bagi kue kekuasaan dapat berimplikasi buruk pada rakyat. Menyuburkan korupsi dan politik uang.
Ari Ganjar Herdiansah
Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
1 April 2024
BandungBergerak.id – Pemilu 2024 telah usai. Pertarungan antar-partai koalisi pilpres kemudian bergeser menjadi ajang kompromi, negosiasi, dan saling adu tawar. Sejumlah elite partai yang sebelumnya mendukung pasangan calon nomor urut 01 dan 03 tampak mulai beralih mendekati kubu nomor urut 02, yang keluar sebagai pemenang. Prabowo menggaungkan narasi persatuan, yang tidak lain adalah sinyal untuk membuka babak rekonsiliasi dengan partai-partai di luar koalisi. Proses rekonsiliasi ini tentu akan menempuh serangkaian negosiasi yang alot. Dalam merangkul partai-partai di kubu 01 dan 02, terjadi negosiasi jumlah kursi dan deal-deal politik lainnya. Di saat yang sama, di internal kubu 02 sendiri saling adu posisi tawar untuk berebut kursi menteri. Baru-baru ini, misalnya, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto secara terang-terangan meminta jatah sedikitnya lima kursi menteri di kabinet pimpinan Prabowo-Gibran. Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, rekonsiliasi atau konsolidasi pasca pemilu senantiasa berujung pada struktur pemerintahan yang gemuk. Sebuah porsi kecil dari kursi parlemen, yang dimiliki oleh partai tertentu, akan disisihkan sebagai kekuatan penyeimbang. Sekedar pajangan agar negara ini masih tampak demokratis.
Praktik bagi-bagi kue kekuasaan di antara para elite politik sering kali disebut sebagai rekonsiliasi atau konsolidasi politik. Istilah-istilah tersebut sedikit banyaknya mengandung eufemisme, yakni menghaluskan makna untuk menutupi fakta yang kasar, tidak sopan, atau bisa menyebabkan ketidaknyamanan pihak-pihak tertentu. Karena, yang sebenarnya berlangsung adalah kompromi di antara para elite politik untuk berbagi jatah di pemerintahan. Alasannya, demi menopang stabilitas jalannya pemerintahan. Setidaknya hingga berakhirnya periode pemerintahan Prabowo.
Dalam kosakata politik, praktik kompromi dan bagi-bagi kue kekuasaan di antara para elite politik disebut “politik dagang sapi” atau “horse-trading politics”. Praktik ini sulit untuk dihindari dalam sistem multi-partai karena memenuhi fungsi stabilitas politik. Kompromi elite dapat menjamin berjalannya pemerintahan tanpa gangguan-gangguan berarti dari berbagai kekuatan politik. Hal tersebut dikarenakan kekuatan-kekuatan politik dominan telah mendapatkan “jatah” dari pihak-pihak yang menguasai lembaga eksekutif. Dengan begitu, pemerintah dapat dengan leluasa menjalankan berbagai programnya sesuai dengan tujuan dan harapannya. Apabila program-programnya memang baik, publik akan mendapatkan manfaat yang besar dari implementasi program-program pemerintah yang optimal. Sebaliknya, apabila sering mendapatkan gangguan, program-program publik tidak akan berjalan dengan semestinya dan tentu saja masyarakat yang akhirnya dirugikan.
Tetapi di sisi yang lain, kompromi elite yang disertai bagi-bagi kue kekuasaan dapat berimplikasi buruk terhadap kepentingan rakyat. Yang perlu disoroti dari praktik ini adalah orientasi pengendalian akses sumber daya negara oleh kalangan tertentu. Tentu saja, kepentingannya adalah untuk meraih benefit maupun profit sebesar-besarnya. Berbagai sumber daya negara dikelola utamanya bukan untuk kepentingan publik melainkan diarahkan untuk mengisi pundi-pundi individu dan kelompoknya.
Karenanya, tidak heran apabila korupsi tumbuh subur. Kas-kas negara tersedot ke kantong-kantong pribadi atau parpol, mengakibatkan berkurangnya alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas.
Baca Juga: Rahasia Umum Korupsi dan Politik Uang di Tahun Politik
Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme
Kado Valentine untuk Indonesia “Politik Dinastiâ€
Merusak Sistem Demokrasi
Politik dagang sapi cenderung merusak sendi-sendi kehidupan politik yang demokratis. Selain menyuburkan praktik korupsi, kompromi elite dalam pengelolaan sumber daya negara juga dapat memperluas praktik kolusi. Berbagai proyek dan program pemerintah dijalankan bukan atas dasar kompetensi, melainkan kronisme. Konsekuensinya, proses pembuatan kebijakan akan berjalan secara tertutup, yang artinya sedikit sekali ruang transparansi. Dalam proses semacam itu, bisa dipastikan sulit untuk mengharapkan hadirnya aspek akuntabilitas pada berbagai program dan kebijakan, alih-alih partisipasi publik. Akhirnya, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi setali tiga uang dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam kondisi demikian, tingkat kepercayaan publik terhadap sistem politik akan melemah. Masyarakat akan, atau mungkin sudah, muak dengan sistem politik yang lebih mengedepankan tawar-menawar kekuasaan di antara para elite dan mengabaikan kepentingan publik.
Mekanisme check and balance terhadap lembaga-lembaga negara merupakan salah satu fondasi sistem demokrasi. Namun, hal itu tidak akan berjalan dengan baik ketika mekanisme yang ada mengedepankan kompromi elite. Misalnya, ketika pemerintah terlibat dalam skandal, kekuatan DPR yang seharusnya berperan sebagai penyeimbang malah terkooptasi kolusi elite partai. Akibatnya, lembaga legislatif mungkin tidak lagi secara efektif menjalankan fungsi pengawasannya, melainkan menjadi kekuatan yang membenarkan atau bahkan menutup-nutupi kesalahan eksekutif demi keuntungan politik tertentu. Hal ini mengikis prinsip akuntabilitas dan transparansi yang seharusnya menjadi inti dari praktik demokratis.
Ketika DPR tidak dapat diandalkan untuk menjalankan fungsi pengawasannya dengan efektif, idealnya masyarakat sipil dan media berperan lebih aktif dalam menanyakan dan mengkritisi kebijakan serta tindakan pemerintah. Namun, sering kali realitas yang terjadi berbeda. Media arus utama, yang seharusnya menyajikan jurnalisme yang objektif dan tidak berpihak, kerap kali dimiliki oleh para elite. Kepemilikan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, sering kali terjalin dengan kepentingan elite politik. Akibatnya, pemberitaan yang seharusnya independen dapat menjadi alat dalam bargaining politik para elite.
Pelemahan kekuatan penyeimbang atau oposisi di parlemen sering kali memicu munculnya kekuatan oposisi ekstra-parlementer atau oposisi jalanan. Situasi ini rentan dalam meningkatkan aksi kekerasan oleh negara. Pasalnya, ketika kekecewaan dari elemen-elemen masyarakat yang tidak memiliki akses ke saluran politik resmi itu membesar, maka aparat keamanan cenderung menanggapinya dengan tindakan represif. Pola semacam ini hampir ajek: meskipun trennya berfluktuasi dari tahun ke tahun, tetapi angkanya selalu berada di tingkat yang mengkhawatirkan. Laporan terbaru KontraS mendokumentasikan bahwa, sepanjang Juli 2022 sampai Juni 2023 saja, kepolisian memiliki sedikitnya 52 kasus kekerasan terhadap aksi demonstrasi, menyebabkan 126 orang luka-luka dan 207 orang ditangkap. Hasil ini hanya mencerminkan kasus-kasus yang tercatat, sehingga angka real-nya mungkin lebih besar lagi.
Merugikan Kepentingan Rakyat
Jika dibiarkan berlanjut, praktik politik dagang sapi dapat menimbulkan dua konsekuensi yang sama-sama merugikan rakyat. Pertama, sistem politik secara konstan terinfeksi korupsi dan menurunkan minat masyarakat untuk terlibat dalam proses demokrasi. Hal ini dipicu oleh rasa kecewa dan skeptisisme mereka terhadap upaya-upaya perubahan ke arah yang lebih baik. Kedua, sebagian masyarakat mungkin beralih ke pragmatisme yang ekstrem, terperangkap dalam hitung-hitungan keuntungan pribadi jangka pendek dan berperilaku egois. Salah satu manifestasinya adalah merajalelanya politik uang di setiap pemilu, bahkan semakin kronis sehingga sulit untuk ditanggulangi. Riset yang dilakukan oleh Burhanuddin Muhtadi menemukan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat praktik politik uang terbesar di dunia. Indonesia hanya “kalah” dari dua negara di Afrika, yaitu Uganda dan Benin. Politik uang kembali ngetren pada Pemilu 2024, dan meskipun sejauh ini belum ada laporan resmi tentangnya, Bawaslu terlihat sangat kewalahan memproses kasus-kasus politik uang karena saking banyaknya.
Kondisi ini kemudian mengokohkan lingkaran setan antara korupsi dan kemiskinan. Korupsi merampas sumber daya yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup, sementara kemiskinan menciptakan kondisi yang menyuburkan lebih banyak lagi korupsi, karena individu-individu yang putus asa mencari jalan pintas untuk keluar dari keadaan mereka. Siklus ini di samping mempersulit pencapaian keadilan sosial dan kesetaraan ekonomi juga mengikis fondasi dari tatanan sosial yang sehat dan meruntuhkan integritas sistem sosial. Kelompok-kelompok radikal dan ekstremis cenderung tumbuh-kembang dalam situasi seperti ini.
Kompromi elite memang tidak dapat dihindari, dan stabilitas politik juga dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan damai. Tetapi, kompromi elite yang berlebihan, tanpa dilandasi ideologi dan gagasan, berkonsekuensi pada peminggiran ideologi dan nilai dalam berpolitik. Akibatnya, kualitas demokrasi semakin tergerus dan berujung pada terabaikannya kepentingan rakyat. Politik dagang sapi mereduksi pemilu hanya sekedar kontestasi di antara para elite politik. Padahal, pemilu pada hakikatnya merupakan mekanisme pertarungan ideologi dan gagasan dalam konteks pengelolaan negara serta pemerintahan yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Artinya, politik dagang sapi menjauhkan peran publik dalam proses politik yang substantif. Publik atau masyarakat pemilih hanya dijadikan objek yang sekedar diincar suaranya. Pemilu seolah-olah permainan para elite untuk meraih porsi terbesar dari kue kekuasaan di mana pemenangnya ditentukan berdasarkan angka-angka persentase suara.
Oleh karena itu, saatnya menghentikan praktik politik dagang sapi dengan meningkatkan kecerdasan politik masyarakat secara substantif. Pendidikan politik yang cenderung formalistik sebagaimana yang dilakukan oleh berbagai institusi pemerintah, penyelenggara negara, dan partai politik terbukti kurang efektif dalam meningkatkan kesadaran politik warga tentang demokrasi. Kita memerlukan lebih banyak intelektual organik, para aktivis yang berdedikasi untuk menyadarkan masyarakat tentang makna demokrasi dan bahaya pragmatisme politik. Selain itu, kita juga harus memperkokoh masyarakat sipil dengan menempatkan mereka sebagai kekuatan yang mampu untuk berhadapan dengan para elite politik, bukan sebagai pion dalam permainan mereka. Kita pun perlu mendorong para elite masyarakat sipil (media, kampus, ormas, LSM, organisasi pemuda) agar merevitalisasi perannya dalam membentuk landasan kekuatan demokrasi yang tangguh, yang dapat mendukung terwujudnya sistem politik yang benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat.