Kado Valentine untuk Indonesia “Politik Dinasti”
Perjalanan Pemilu 2024 menjadi cerminan situasi kedaruratan demokrasi. Atau, bahkan sudah berubah dari demokrasi mengarah pada oligarki yang nyata?
Rachmad Yunus Indrayanto
Musisi & Junior Associate Advocate. Dapat dihubungi di media sosial Instagram @Haarahetta
17 Februari 2024
BandungBergerak.id – Dunia politik dan hukum di negara kita saat ini sedang tidak baik-baik saja. Ada yang berkata bahwa “demokrasi kita sedang kacau” atau “pemilu kali ini adalah yang paling rusak”, saya sangat setuju dengan opini-opini tersebut. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang mengeluh atas kebobrokan negara di detik-detik terakhir kekuasaan rezim Jokowi. Bagaimana tidak, sejak diumumkan pasangan calon (paslon) yang bakal mengikuti ajang Pemilu 2024 ada salah satu yang sangat menarik perhatian umum, ya.. siapa lagi kalau bukan nomor urut 02 (kosong dua).
Sejak awal pencalonan Gibran alias Jokowi Jr. (Junior) sebagai calon wakil presiden (cawapres) sudah menuai berbagai kritik dari masyarakat, ahli, dan beberapa guru besar universitas terkemuka. Yang harus menjadi fokus perhatian kali ini adalah apakah seluruh proses-proses pencalonan tersebut sudah taat formalitas? Atau justru sebaliknya, menghalalkan segala cara demi meneruskan ego berkuasa melalui perpanjangan tangan dengan menjadikan Gibran alias Jokowi Jr sebagai cawapres.
Baca Juga: Sikap Presiden Jokowi Berpihak Dalam Pemilu Bisa Merusak Demokrasi
Refleksi Kemunduran Negara di Segala Bidang, Catatan untuk Pilpres 2024
Hasil Pemilu 2024 Dibayang-bayangi Pelemahan Demokrasi
Aturan yang Dilanggar
Mari kita belajar bersama dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 169 huruf q yang mana seorang Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus berusia “Paling rendah 40 (empat puluh) tahun”. Lalu pertanyaan yang muncul adalah, apakah Gibran memenuhi kriteria dalam pasal ini? Jawabannya adalah tidak, karena umur Gibran saat mencalonkan diri sebagai cawapres adalah 36 tahun.
Berbagai upaya dilakukan demi mengubah isi dalam aturan yang terkandung di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 169 huruf q salah satunya adalah dengan mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh Almas Tsaqibbiru dengan nomor perkara 90/PUU-XXI/2023. Sebelum Almas, Partai PSI, dkk. sempat mengajukan juga gugatan serupa dengan nomor perkara 29/PUU-XXI/2023 namun permohonan tersebut ditolak oleh majelis hakim dalam amar putusannya.
Berbeda dengan gugatan yang diajukan oleh Almas, dalam amar putusan yang disampaikan oleh Anwar Usman Ketua majelis hakim MK pada intinya adalah mengabulkan sebagian Permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) Tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.” Dengan kata lain siapa pun yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah bisa mencalonkan diri sebagai capres/cawapres meski belum genap 40 (empat puluh) tahun.
Tak lama kemudian Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi dilaporkan pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi karena melanggar beberapa poin etika profesi sebagai Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi nomor 02/PMK/2003 tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi yaitu pertama, prinsip berintegritas di mata hukum acara Kedua, tidak diskriminatif dan tidak berpihak. Ketiga, objektif dalam menjatuhkan putusan guna menjamin rasa keadilan serta kepastian hukum yang optimal. Keempat tidak boleh ada hubungan baik langsung maupun tak langsung, hakim harus menjaga independensi. Kelima harus bersih dari gratifikasi serta janji dari pihak berperkara. Sesuai fakta yang telah diketahui oleh masyarakat umum bahwa Anwar Usman merupakan adik ipar dari Jokowi dengan kata lain juga sebagai Paman dari Gibran alias Jokowi Jr.
Putusan yang meloloskan Gibran melenggang sebagai cawapres sangat anyir dan busuk karena adanya konflik kepentingan di dalamnya. Apakah semuanya sudah diatur sedemikian rupa hingga penentuan hasil pemilu? Dugaannya sih iya, sepertinya memang iya. Niat hati ingin menyembelih banteng eh.. tapi kok terbalik pegang pisaunya?
Ilmu Hukum yang Direndahkan
Peristiwa saat ini, tentu membuat kita berpikir sepertinya ilmu hukum sedang kehilangan muruahnya. Kalau belajar dengan benar, misal kita merujuk dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. ada istilah berupa Respublica Constituere yang melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yang artinya “Rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat undang-undang”. Jika hal ini dicerminkan dengan kondisi saat ini sangat sesuai, di mana Presiden pemangku kekuasaan tertinggi mengorganisir beberapa pos-pos penting yang memiliki peranan sangat besar tentunya dalam administrasi negara.
Aristoteles membedakan Konstitusi dengan 2 (dua) istilah yaitu right constitution (konstitusi yang benar) dan wrong constitution (konstitusi yang salah), jika konstitusi diarahkan untuk kepentingan bersama atau kepentingan masyarakat dalam hal ini kaum marginal, kaum minoritas, perempuan, buruh, para petani, dan masyarakat menengah ke bawah lainnya merupakan konstitusi yang benar (right constitution) namun jika sebaliknya, konstitusi hanya menyentuh untuk kelas menengah ke atas, dan para borjuis pemangku kebijakan maka konstitusi itu adalah konstitusi yang salah (wrong constitution). Pertanyaannya, apakah dalam proses formal pencalonan capres dan cawapres kemarin telah mencerminkan right constitution? Atau sebaliknya?
Sayangnya pendidikan berbasis hukum maupun politik gratis sampai dengan detik ini masih sangat minim untuk kalangan masyarakat desa khususnya, padahal Indonesia yang kita cintai ini adalah negara hukum yang berarti setidaknya 90% (sembilan puluh persen) penduduknya harus sadar hukum dan tahu aturan mainnya. Mengapa demikian? Di era digital saat ini yang kian masif perkembangannya semua serba instan dan cepat sekali untuk viral, masyarakat desa hendaknya masih mempunyai pengetahuan hukum meski tidak mempunyai alat telekomunikasi yang canggih dan tidak mudah dibodohi oleh negara maupun generasi mudanya.
Kondisi saat ini adalah kedaruratan demokrasi atau bahkan sudah berubah dari Demokrasi mengarah pada Oligarki yang nyata? Banyak masyarakat kita yang selalu menyangkal akan fakta yang disajikan oleh berbagai macam narasumber yang validitasnya diakui nasional bahkan seorang ahli pun di ragukan ketika menyampaikan data-data ilmiah. Film dokumenter Dirty Vote yang di sutradarai oleh Dandhy Laksono sejak rilis per tanggal 11 Februari 2024 (3 Hari sebelum Pemilu 2024) menuai berbagai macam reaksi. Film dokumenter tersebut memaparkan banyak sekali data mengenai kecurangan negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan bahkan Presiden pun seakan tak mempunyai etika dan moralitas yang pantas untuk dicap sebagai pemimpin.
Kepintaran pemimpin kita untuk mendirikan kerajaan-kerajaan kecil hingga nanti pada waktunya akan tercipta Kerajaan impian rezim saat ini yang berkuasa sudah tergambar secara jelas mulai dari Anwar Usman adik ipar Jokowi menjadi ketua hakim Mahkamah Konstitusi, Bobby Nasution menantu Jokowi menjadi wali kota Medan, Gibran Rakabuming Raka anak Jokowi menjadi wali kota Surakarta dan berbagai macam jenis proyek pembangunan maupun perluasan wilayah yang penunjukan pemimpin daerahnya tak lepas dari campur tangan presiden.
Bagi masyarakat awam mungkin terdengar biasa atau bahkan bukan masalah yang serius keadaan saat ini, tapi bagi kita yang sadar betapa bobroknya dan hilangnya Demokrasi Pancasila sangat nyata dan kian menghantui hari demi hari. Apakah lebih berbahaya dari Orde Baru (Orba) 1965-1998? Loh bukankah kita sudah di era reformasi dan tidak mungkin akan mundur lagi di jaman Soeharto lagi? Jelas sangat berbahaya!! Bayangkan dulu Soeharto hanya satu orang, tapi di tahun-tahun yang akan datang jika kita tetap pada kondisi politik dan hukum sama seperti saat ini, bisa dipastikan akan lahir banyak sekali Soeharto-Soehato baru.
Mari Merenung Bersama
Pada pemilu tahun ini mulai dari awal pencalonan capres dan cawapres, pengesahan batasan usia capres dan cawapres, hingga aksi kampanye paslon sudah teramat banyak campur tangan para pemangku kebijakan atau pemimpin daerah bahkan dalam hal ini presiden turut serta mendeklarasikan salah satu paslon secara terang-terangan tanpa memedulikan kapasitasnya. Tentu saja hal-hal tersebut sama sekali tidak mencerminkan pemimpin yang netral.
Presiden memang memiliki hak politik untuk berkampanye tapi jika sudah memenuhi syarat administrasi Pasal 281 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Presiden pun juga harus dalam keadaan cuti untuk ikut serta dalam aksi kampanye, masyarakat juga harus tahu hal tersebut. Jika hal tersebut dilanggar sudah pasti harus ada sanksi tegas oleh Bawaslu? Jika memang negara hukum harusnya sanksi tegas berupa pencopotan atau eliminasi terhadap paslon yang ada hubungan langsung dengan presiden wajib dilakukan, tapi pada faktanya?
Masyarakat kita terlalu menormalisasi hal-hal krusial ini, bahkan ajakan kampanye pun turut mengundang beberapa aktor gubernur, penjabat kepala daerah dan institusi-institusi yang bisa dikatakan mempunyai pengaruh sangat kuat di sektor masyarakat umum. Bagaimana mau netral wong Presidennya saja masih “sayang anak” dalam praktik politik saat ini. Jangan heran kalau pemimpin daerah lainnya akan mempersiapkan hal-hal yang sama dengan pemimpin saat ini ke depannya.
Rezim kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini dalam praktiknya sebagai pemimpin, sangat memenuhi kriteria “Sang Penguasa” seperti yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli dalam bukunya, “Tingkah laku Penguasa dalam merebut kekuasaan dari rezim lama dan kalau diperlukan menggunakan kekerasan (militerism) atau kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan, bila ada peluang dan kesempatan memperluas ruang kekuasaannya ke segala bidang guna melanggengkan serta melestarikan kekuasaan itu sebelum merosot dan hancur oleh bangkitnya rezim baru sebagai rezim pengganti.” Tentu dengan mengorganisir orang-orang yang mempunyai hubungan saudara, hubungan politik di berbagai institusi negara sangat relevan untuk mempertahankan kekuasaannya meskipun dia sudah tidak memimpin lagi nantinya dan akan di teruskan oleh Gibran alias Jokowi Jr. sebagai wapres.
Saya seketika teringat dengan coretan Bung Hatta dalam buku Pertentangan Sukarno Vs Hatta, “Demokrasi bisa tertindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan pahit maka ia akan muncul kembali dengan penuh keinsyafan dan apa yang terjadi saat ini merupakan krisis demokrasi, di mana demokrasi yang tak kenal batasan kemerdekaan, lupa syarat-syarat hidupnya dan melulu menjadi anarki.” Petikan kalimat tersebut adalah gambaran pemimpin rezim saat ini, namun apakah perlu kita merasakan lagi pahitnya Orde baru untuk tersadar bahwa, ini sudah terlalu jauh dari kata demokrasi.
Pada hari Rabu tanggal 14 Februari 2024 merupakan peringatan hari kasih sayang (valentine) dan pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia, namun sayang dalam perjalanannya sudah banyak sekali dosa-dosa para pemangku kebijakan kita untuk berlomba-lomba memenangkan salah satu paslon dengan cara yang sangat busuk dan terkesan tidak gentle. Banyak terjadi kecurangan-kecurangan yang telah tersebar luas di media bahkan dengan dalih “salah input oleh petugas KPU” pun masih dijadikan alasan klise oleh para bajingan yang sudah jelas-jelas menodai pesta demokrasi kita!. Masihkah ada demokrasi? Atau demokrasi hanya sebatas jas dan pakaian luarnya saja namun di dalamnya sudah berubah dan mulai mengakar Oligarki.