• Indonesia
  • Refleksi Kemunduran Negara di Segala Bidang, Catatan untuk Pilpres 2024

Refleksi Kemunduran Negara di Segala Bidang, Catatan untuk Pilpres 2024

Indonesia dalam kurun satu dekade terakhir mengalami kondisi memprihatinkan di bidang kesejahteraan sosial, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Poster acara Gerak Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) bertajuk Temu Rakyat Menggugat Debat, di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 4 Februari 2024. (Foto: Gebrak)

Penulis Iman Herdiana3 Februari 2024


BandungBergerak.id - Debat terakhir calon presiden (capres) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 membahas tema Kesejahteraan Sosial, Ketenagakerjaan, Pendidikan, Kesehatan, Teknologi dan Informasi, Kebudayaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi. Isu-isu ini bernilai strategis bagi gerakan masyarakat sipil yang berjuang pada sektor-sektor tersebut, di antaranya para buruh. 

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menyatakan, dilihat dari dua periode rezim Joko Widodo (Jokowi), negara atau pemerintah tidak menunjukan keseriusan dalam menyelesaikan persoalan pada isu-isu tersebut. Sebaliknya pemerintah memberikan keberpihakan (standing position) kepada para oligarki dan kapitalisme.

“Begitu juga terlihat kepada para capres dan cawapres yang dipandang oleh gerakan masyarakat sipil atau gerakan rakyat masih meragukan terkait komitmen dalam menyelasaikan persoalan-persoalan rakyat,” demikian pernyataan resmi Gebrak yang terdiri dari gabungan organisasi masyarakat sipil seperti KASBI, Kesatuan Perjuangan Rakyat, SEMPRO, dan SMI, Sabtu, 3 Februari 2024.

Berangkat dari ketidaksungguhan negara dan para kandidat capres-cawapres, Gebrak membedah dan mengkritik isu-isu tema debat kelima capres Pemilu 2024 yang dihelat 4 Februari 2024, sebagai berikut:

Ketenagakerjaan

Dalam konteksnya di Indonesia strategi utama pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi, sebagaimana juga telah diterapkan liberalisasi ala neoliberal. Seluruh sektor-sektor perekonomian dibuka seluas-luasnya demi menarik masuk modal. Setidaknya pada sektor perburuhan ada beberapa kebijakan neoliberal yang anti terhadap kesejahteraan kaum buruh seperti Undang-undang Cipta Kerja atau dikenal sebagai Omnibus Law.

“(Omnibus Law) dalam proses pengesahannya yang sejatinya adalah aturan sapu jagat untuk memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi kekuatan modal untuk melakukan ekspolitasi terhadap kaum buruh,” demikian pernyataan Gebrak.

Ketenagakerjaan menghadapi upah murah, fleksibilitas lapangan kerja, liberalisasi pasar tenaga kerja. Turunan dari UU Ominibus Law Cipta Kerja salah satunya PP No. 51 Tahun 2023 mengenai pengupahan. Peraturan ini dinilai sebagai lanjutan dari proyek fleksibiltas lapangan kerja (LMF), sebagai syarat pencairan utang dana moneter pada IMF.

“Dengan diberlakukanya UU Cipta Kerja beserta PP turunannya Indonesia secara resmi negara memainkan peranannya dalam memiskinkan buruhnya dengan skema politik upah murah dan eksploitasi berkedok fleksibilitas tenaga kerja,” lanjut pernyataan resmi Gebrak. 

Pendidikan

Situasi pendidikan di Indonesia dapat dilihat di antaranya dari akses, kualitas, dan orientasi pendidikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 yang dihimpun Gebrak, Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut rentang umur 7-12 tahun sebesar 99,1 persen; dan rentang umur 19-24 tahun sebesar 26,85 persen. Data ini menunjukkan semakin sedikit jumlah masyarakat yang bisa mengenyam pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga tinggi.

Belum lagi, terjadi kesenjangan pendidikan antara perkotaan dan perdesaan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono, sebagaimana dikutip Gebrak, menyatakan sebagian besar penduduk usia 15 tahun ke atas di kota (38,87 persen) berpendidikan sekolah menengah atau sederajat, sedangkan di desa masih berpendidikan sekolah dasar atau sederajat.

Hanya 22,45 persen penduduk di perdesaan yang menamatkan pendidikan hingga sekolah menengah atau sederajat, sedangkan sebanyak 36,22 persen menamatkan pendidikan SD atau sederajat.

Di lingkup pendidikan tinggi, BPS mencatat dari mahasiswa yang sempat berkuliah sebanyak 601.333 harus berhenti pada 2020. Dari keseluruhan penduduk masyarakat Indonesia sekitar 278,8 juta hanya 6 persen yang bisa menikmati bangku pendidikan. 

Kampus sendiri berlomba bertransformasi menjadi kampus PTNBH atau modeling corporate university. Hal ini membuat negara melepaskan tanggung jawab pembiayaan dan memberikan wewenang kepada kampus untuk mencari pendanaan sendiri. Di sanalah transaksional profesor kehormatan, honoris causa, kemitraan, dosen NIDK menjadi lahan pencarian profit dan bargaining politik, seperti yang terjadi terhadap kampus-kampus yang telah menerapkan PTNBH.

Masalah yang muncul dalam model pendidikan ala PTNBH adalah komersialisasi dan inflasi biaya pendidikan tinggi yang konsisten setiap tahun; komodifikasi penelitian dan kerja-kerja akademik, karena semakin masif melakukan hilirisasi riset dan link and match dengan korporasi.

Kampus juga menghadapi masalah tenaga kerja alih daya (outsourcing) bagi pekerja akademiknya, pengaturan mengenai kepegawaian dosen maupun nondosen dalam PTNBH diatur secara seragam menuju “tenaga kontrak” universitas/institut yang mengeksploitasi; dan, manufakturisasi metode pembelajaran dan kurikulum pendidikan yang membungkam kekritisan/kebebasan akademik serta menumbuhkan neofasis dalam pendidikan.

Komersialisasi pendidikan mengantarkan pada praktik pinjaman online (pinjol) untuk membiayai kuliah. “Akan mengintegrasikan denga regulasi student loans (pinjaman biaya pendidikan) sebagai fase laju perkembangan ‘kapitalisme finansial’ dalam lingkup pendidikan tinggi. Skema student loans akan mengantarkan kita kepada krisis-multidimensi yang lebih luas,” papar Gebrak.

Aktor pantomim Wanggi Hoed beraksi di persimpangan jalan di Aksi Kamisan Bandung bertema Parade Melawan Kekerasan Negara di Bandung, 7 September 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Aktor pantomim Wanggi Hoed beraksi di persimpangan jalan di Aksi Kamisan Bandung bertema Parade Melawan Kekerasan Negara di Bandung, 7 September 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kesehatan

Sektor kesehatan turut menjadi target dalam agenda neoliberal dengan melakukan pelemahan peran negara dalam penyelenggaraan bidang kesehatan. Pelemahan tersebut tidak terlepas atas stimulus 'dikte' imbas kerja sama World Bank - IMF dengan Indonesia yang akhirnya mengkristalkan agenda privatisasi pada sektor kesehatan.

Melalui berbagai kebijakan neoliberal, regulasi mengenai kesehatan dikemas dan disahkan sebatas untuk memberikan karpet merah bagi investor dalam sektor bidang layanan kesehatan, pendidikan dokter, dan farmasi. Hal tersebut berpotensi mengabaikan pemusatan perlindungan kepentingan kesehatan publik.

Dalam beberapa tahun terakhir, implementasi privatisasi kesehatan berjalan agresif seiring menjalarnya rumah sakit swasta dibandingkan rumah sakit umum. Rumah Sakit yang telah teregistrasi di Indonesia tahun 2023 sebanyak 3.099 rumah sakit yang terdiri dari 2.582 rumah sakit umum dan 517 rumah sakit khusus.

Sebanyak 1.119 rumah sakit adalah milik pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan TNI/POLRI; BUMN sebanyak 37 rumah sakit serta sebanyak 1.943 rumah sakit milik swasta. Rata-rata pertumbuhan rumah sakit umum sebesar 0,4 persen, sedangkan rumah sakit swasta sebesar 15,3 persen (Persi, 2018).

Gebrak menilai, fenomena ini akan memberikan persoalan domino; akses kesehatan yang tidak merata, biaya kesehatan yang konsisten meningkat, dan lumbung bisnis segelintir pihak.

Di saat yang sama, muncul persoalan mengenai perbaikan dan penetapan standar hidup layak tenaga medis dan kesehatan, standar jam kerja, upah layak, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan hak-hak lain dari tenaga medis dan kesehatan sesuai dengan prinsip kemanusiaan yang adil, layak, dan setara.

Teknologi Informasi

Setiap perkembangan tekonologi dalam kapitalisme akan menghantarkan kita pada ketimpangan yang lebih lebar. Dengan dalih mempersingkat waktu kerja, mesin yang berinovasi teknologi tersebut malah memperpanjangnya. Para pemilik modal tidak mengembangkan teknologi secara umum; mereka sebatas mengembangkannya guna mendorong kepentingan kelas penguasa yang menguntungkan segelintir pihak.

Bahkan menghambat perkembangan teknologi secara umum yang berorientasi terhadap kepentingan masyarakat. Kemudian, monopoli kepemilikan dan akses tersebutlah akan menimbulkan persoalan lain, seperti halnya kesenjangan digital, menjadi gap antara teknologi (si kaya) dan (si miskin).

Kesenjangan digital pada akhirnya membedakan pemakaian dan penerapan secara sosial, ekonomi, politik, bukan sekedar teknologi sahaja. Seperti halnya, tingkat penggunaan dan kepemilikan resource-akses dalam teknologi akan berbeda, demikian bahwa tingkat pemanfaatan dan distribusi manfaat tersebut juga berbeda.

Negara-negara maju produsen teknologi komunikasi dan informasi butuh pasar karena daya serap pasar mereka sendiri terbatas. Karena itu, selain menghembuskan gaya-hidup modern yang karakteristiknya harus dibalut teknologi komunikasi keluaran terbaru (bagi kelas menengah ke atas), jargon digital divide itu menjadi sarana ampuh untuk membuang teknologi komunikasi yang sudah usang ke negara miskin.

“Masyarakat menjadi komodifikasi dalam sirkuit teknologi yang dikuasai para pemilik modal, serta juga menjadi alat hegemoni kekuasaan yang turut mengontrol alur informasi bagi public sesuai kepentingan segelintir pihak,” kata Gebrak.

Selain isu HAM, Aksi Kamisan Bandung juga menyoroti isu kemanusiaan di tataran lokal, Termasuk penggusuran lahan. (Foto: Prima Mulia)
Selain isu HAM, Aksi Kamisan Bandung juga menyoroti isu kemanusiaan di tataran lokal, Termasuk penggusuran lahan. (Foto: Prima Mulia)

Kebudayaan dan Kesejahteraan Sosial

Budaya turut menjadi alat hegemoni yang bertujuan di antaranya; menciptakan universalitas, memperkuat status-quo kekuasaan, dan menjadi instrument kontrol sosial yang melekat. Adanya Undang-undang Kebudayaan dapat ditengarai bertujuan untuk menciptakan subjek-subjek yang produktif, dapat diatur, diadaptasi, dan akhirnya diperintah.

Ketimpangan juga terjadi di bidang kesejahteraan sosial, meliputi; ketimpangan pendapatan-kekayaan, monopoli dan perampasan lahan, akses dan biaya pendidikan, jaminan sosial masyarakat, dan privatisasi-komersialisasi kesehatan.

Gap antara upah buruh dengan PDB per kapita memperlihatkan jelas ketimpangan kekayaan yang terjadi. Kekayaan 40 Orang terkaya di Indonesia sebanding dengan harta 60 juta masyarakat dengan ekonomi lemah,” kata Gebrak.

Gebrak merilis data sepanjang 2021, ada 10 persen penduduk Indonesia kelompok ekonomi teratas yang memiliki kontribusi terhadap GDP yakni 46,86 persen; angka ini tak pernah berubah sejak tahun 2018. Sementara, ada 50 persen penduduk Indonesia kelompok ekonomi terbawah memberikan kontribusi terhadap PDB yakni sebesar 12,45 persen sejak 2018-2021.

Pendapatan kelompok 50 persen terbawah hanya 22,6 juta rupiah per tahun. Nilai itu jauh lebih rendah dibandingkan di kelompok 10 persen teratas yang memiliki pendapatan hingga 285,07 juta rupiah per tahun.

Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), pada Agustus 2023, jumlah pendapatan buruh sebesar 3.178.227 per bulan. Jika dibagi dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga, yakni 4,3 juta jiwa, maka nilai per kapita per hari hanya mencapai 22.410,3 atau sekitar USD 1,6. Bahkan angka tersebut jauh di bawah standar garis kemiskinan yang diterbitkan World Bank, yaitu USD 3,2.

Berdasarkan data rilisan KPA, sebesar 68 persen tanah dikuasai oleh perusahaan dan koorporasi skala besar. Setidaknya, ada 241 letusan konflik agrarian di Indonesia sepanjangan tahun 2023 dengan melibatkan area seluas 638 ribu hektare dan 135,6 ribu Kepala Keluarga (KK).          

“Berbagai kelindan persoalan itu menjadi salah satu indikator bagaimana kebobrokan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang meruncing,” kata Gebrak.

Sumber Daya Manusia

Gebrak meragukan kampanye Indonesia emas tahun 2045 yang disampaikan oleh negara dan para capres-cawapres. Jika merujuk kepada empat pilar utama pada narasi Indonesia emas 2045 yaitu SDM yang unggul, demokrasi yang matang, pemerintahan yang baik, dan keadilan sosial, faktanya hari ini justru berbanding terbalik.

Pada level SDM yang unggul jika diukur dari pendidikan, hari ini justru terjadi komersialisasi dan liberalisasi di sektor pendidikan yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan gratis dan berkualitas dari SD sampai perguruan tinggi.

Pada level demokrasi yang matang, Gebrak menyatakan indeks demokrasi 4 tahun terakhir berangsur turun dan menjadi perhatian internasional karena tindakan negara yang cenderung otoriter dan militeristik terhadap kebebasan berpendapat dan ekspresi. Pada level pemerintahan, justru hari ini wilayah paling banyak terjadi persoalan dalam hal kepentingan oligarki dan juga korupsi adalah di pemerintah karena sentralisme kekuasaan terpusat pada presiden dan kementerian.

Contoh kongkret adalah Omnibus Law Cipta Kerja yang mengamputasi kewenangan pemerintah daerah dalam hal kebijakan strategis. Pada level keadilan sosial, faktanya dalam masa kepemimpinan saat ini banyak menciptakan ketimpangan sosial di masyarakat seperti menciptakan Omnibus Law Cipta Kerja, proyek strategis nasional (PSN), Kawasan Ekonomi Khusus yang pada muaranya justru menguntungkan perut oligarki.

Baca Juga: Menikmati Listrik dari Matahari Cirata, PLTS Berpotensial Dibangun di Laut
Peran PLTA Cirata Amat Tergantung pada Upaya Menjaga Kelestarian Lingkungan
RPH Ciroyom Dijamin tak Terganggu Proyek Strategis Nasional

Inklusi

Dalam perumusan UU Cipta Kerja Omnibus Law, hampir tidak pernah diketahui proses perumusan dan penyusunan bahkan Naskah Akademik yang diserahkan dari Presiden Jokowi kepada DPR RI tidak ada pelibatan dan partisipasi masyarakat.

“Tentu hal ini bersebrangan dengan nilai dan prinsip dari inklusif yang mengedepankan partisipasi tanpa memandang identitas kelompok,” kata Gebrak.

Demokrasi juga bermasalah di Papua. Gebrak mencatat, masyarakat Papua dibungkam karena menuntut hak untuk menentukan nasib terhadap kedaulatan atas tanahnya sendiri yang dikuasi oleh oligarki. Lalu ada konflik masyarakat Wadas di Jawa Tengah yang mempertahankan hak atas tanahnya karena negara menetapkan status Proyek Strategis Nasional di teritori tersbut.

Kasus paling mutakhir terjadi di Pulau Rempang antara rakyat dan negara. Kebuntuan negara dalam menyelesaikan konflik selalu diselesaikan oleh tindakan represif dan kriminalisasi.

Tuntutan Gebrak

1. Ketenagakerjaan; menuntut mencabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja, Cabut PP Nomor 51 Tahun 2023, hapuskan sistem kontrak dan outsorching, bentuk sistem pengupahan yang adil dan layak, libatkan serikat buruh dalam Proses Transisi Energi, daycare gratis ramah anak dan berkualitas untuk seluruh buruh Indonesia.

2. Pendidikan; menolak komersialisasi pendidikan, Restrukturisasi Anggaran Pendidikan Nasional, pajak progresif di sektor tambang-perkebunan-dan padat modal untuk pengalokasian anggaran, pendidikan tinggi gratis, tolak skema kampus merdeka, ciptakan kurikulum dengan orientasi kepentingan rakyat.

3. Kesehatan; menolak privatisasi dan komersialisasi sektor kesehatan pada level sistem ataupun industri, bangun industri dan system kesehatan nasional yang berbasis pada kepentingan rakyat, kesehatan harus mudah dijangkau dan gratis untuk seluruh rakyat Indonesia, kerja layak dan upah layak bagi tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.

4. Teknologi dan Informasi; negara harus berdaulat atas kemajuan teknologi, bangun industri nasional dalam bidang teknologi untuk kepentingan rakyat bukan oligarki, akses informasi seluas-luasnya kepada rakyat tanpa diskriminasi.

5. Kebudayaan; menuntut kepada negara untuk berkomitmen merawat kebudayaan dalam hal demokrasi, kesenian, tradisi dan lainnya sebagai bagian penting dalam menentukan arah kebijakan.

6. Kesejahteraan Sosial; redistribusi tanah untuk rakyat, redistribusi pendapatan dalam bentuk tunjangan sosial (subsidi upah, subsidi sembako, subsidi bbm, transportasi publik gratis, dan perumahan murah untuk rakyat), penguasaan SDA oleh rakyat bukan dikuasi oleh segelintir kelompok.

7. Sumber Daya Manusia; menuntut kepada negara untuk memberikan pendidikan gratis dan berkualitas dari SD hingga perguruan tinggi, tolak privatisasi ilmu pengetahun, lakukan transfer ilmu pengetahuan dalam bidang industri dan sektor lainnya untuk kemandirian dan kemajuan bangsa, revisi UU KPK dan sahkan RUU Perampasan Aset, demokrasi dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi harus menjadi bagian dasar dalam pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia.

8. Inklusi; menuntut agar tidak ada diskriminasi dan tebang pilih oleh negara kepada kelompok rentan dan minoritas, melibatkan partisipasi seluruh kelompok rentan dan minoritas dalam penyusunan kebijakan publik dan hukum, tidak ada lagi rasisme-represifisme, dan militerisme oleh negara kepada rakyat.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut artikel-artikel terkait Proyek Strategis Nasional dalam tautan ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//