• Lingkungan Hidup
  • Peran PLTA Cirata Amat Tergantung pada Upaya Menjaga Kelestarian Lingkungan

Peran PLTA Cirata Amat Tergantung pada Upaya Menjaga Kelestarian Lingkungan

Jika lingkungan di hulu Sungai Citarum rusak, maka pasokan air ke PLTA Cirata akan terganggu. Listrik untuk Jawa, Madura, Bali pun akan terganggu.

Panel surya menghampar di pembangkit listrik tenaga surya terapung Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, 12 September 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul1 Februari 2024


BandungBergerak.id - Jawa Barat memiliki potensi bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 192 gigawatt (GW) yang berasal dari surya, hydro, angin, biomassa, dan lain-lain. Sayangnya, utilitas yang terpasang baru dua persen atau 3,41 GW. Dibutuhkan keragaman pembangkit EBT untuk mencapai target bauran energi nasional pada 2025 mendatang.

Salah satu pembangkit EBT tertua di Indonesia ada di Jawa Barat, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata yang telah berdiri sejak 1988. Disebut EBT karena PLTA Cirata tidak menggunakan batubara yang menghasilkan energi kotor sebagai pembangkit listriknya.

PLTA Cirata dikelola oleh PT. Pembangkitan Jawa Bali (PJB) yang berkapasitas 1.008 MW (8x126 MW) dan 1 MW solar panel untuk pembangkitan listrik kebutuhan penelitian. PLTA Cirata berlokasi di Desa Cadassari, Kec. Tegalwaru, Plered, Kabupaten Purwakarta. Pembangkit listrik ini memiliki delapan unit dengan transformator, generator, dan turbin, masing-masing unit berkapasitas 126 MW.

Delapan unit pembangkit listrik tersebut identik dan berfungsi untuk interkoneksi 500 kV pada jaringan kelistrikan Jawa – Madura – Bali (Jamali). Pada awal didirikan, PLTA ini hanya memiliki empat unit. Lantas berturut-turut pada tahun 1997dan 1998 ditambah dua unit. PLTA ini merupakan yang terbesar di Indonesia dan merupakan PLTA underground (bawah tanah) terbesar di Asia Tenggara.

PLTA yang telah berusia 36 tahun ini membangkitkan listrik 1.428 GWh per tahun. PLTA ini pun berperan sebagai pengendali frukuensi pada sistem 500 kV melalui Load Frequency Control (LFC) dan atau Automatic Generating Contorol (AGC).

PLTA Cirata menjadi beban puncak (peak load) atau berfungsi sebagai “baterai” dalam sistem listrik Jamali. Ia menjadi pembangkit listrik yang memenuhi kekurangan daya pada sistem 500 kV. Misal saat pembangkit-pembangkit listrik tidak mampu memenuhi aliran listrik mencapai titik puncak, PLTA Ciratalah yang menjadi beban puncak untuk mengalirkan listrik itu. Sederhananya, PLTA merupakan penjaga kestabilan sistem kelistrikan.

Perannya sebagai stabilitator frekuensi ini sekaligus menjadi tantangan. PLTA menjadi andalan sebagai stabilitator frekuensi sebab ia memiliki kemampuan untuk start up dan sinkron ke jaringan relatif cepat, yaitu lebih kurang dalam enam menit. Pada waktu enam menit itu, ia mampu mengalirkan listrik 120 MW (ramping rate) per menit, atau setara 60 hingga 100 persen beban puncak kelistrikan.

Operator Power House PLTA Cirata Sumitro Pandapotan menjelaskan cara kerja pembangkit listrik ini dimulai dari air yang ditampung di Waduk Cirata yang dialirkan melalui intake gate. Dari sini, air kemudian mengalir ke terowongan untuk menemui percabangan. Cabang pertama berfungsi untuk mencegah aliran balik (water hammer), satunya lagi mengarah ke turbin.

“Untuk pengoperasiannya, air memutar turbin, otomatis energi mekanik dari turbin itu dialihkan menjadi listrik melalui generator,” terang Sumitro, saat menjelaskan bagaimana cara kerja PLTA di antara unit 2 dan unit 3 di dalam Power House PLTA Cirata, Rabu, 24 Januari 2024.

Sumitro menyebutkan, turbin yang digunakan berjenis turbin francis. Turbin ini ideal digunakan karena sesuai antara tinggi jatur air (100 meter) dengan kecepatan putaran (187,5 NS). Adapun tegangan yang dihasilkan oleh generator sekitar 16,5 KV. Listrik yang dihasilkan ini langsung masuk ke sistem jaringan Jamali melalui travo terdekat.

Power House PLTA Cirata berada di dalam perut bumi yang dikonstruksi dengan tipe DAM yaitu Concrete Face Rockfill Dam. Untuk masuk ke dalamnya, diwajibkan mengenakan helm pengaman dan melalui terowongan menggunakan kendaraan. Saat berada di dalam Power House di antara Unit 2 dan Unit 3, suara gemuruh air yang berputar dengan turbin terdengar jelas dan membahana.

Baca Juga: Energi Listrik Rasa Kopi Gununghalu, Mengolah Alam Tanpa Harus Merusak Lingkungan
Warisan Buruk Jokowi untuk Transisi Energi
Ridwan Kamil ke Amerika Serikat Membahas Energi Terbarukan, Ini Catatan Miris Lingkungan Jawa Barat

Pintu masuk Power House PLTA Cirata yang berada di dalam tanah, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta, Rabu, 24 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Pintu masuk Power House PLTA Cirata yang berada di dalam tanah, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta, Rabu, 24 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Sistem Kesetaraan dan Ketergantungan pada Alam

Waduk dan PLTA Cirata berada di tengah-tengah, antara Waduk Saguling dan Waduk Jatiluhur. Rangkaian PLTA Saguling-Cirata-Jatiluhur menjalankan sistem kesetaraan (equal sharing). Aliran Sungai Citarum mengalir ke Waduk Saguling, lalu ke Cirata, dan ke Jatiluhur. Makanya Sumitro menegaskan, debit air yang masuk dan keluar perlu diperhatikan. PLTA beroperasi ketika menerima perintah dari P2B (Pusat Pengatur Beban) Gandul.

“Nah Gandul mengirimkan informasi ke kita untuk melakukan start unit, kita melakukan start unit langsung dengan mengoperasikan peralatan-peralatan dan melakukan penyamaan tekanan,” jelas Sumitro.

Selain dari PLTA Cirata, listrik yang bersumber dari waduk ini juga dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata yang baru diresmikan pada awal November 2023 lalu. Namun Sumitro menjelaskan, kombinasi PLTA Cirata dengan PLTS Terapung Cirata belum mampu membangkitkan listrik khusus untuk Jawa Barat. Ia berpendapat, untuk mencapai target bauran EBT, masih perlu menggenjot pembangunan pembangkit listrik EBT yang baru.

Dengan begitu, penggunaan PLTU dalam 10 tahun ke dapan secara perlahan akan diturunkan pengoperasiannya. Sebab, ketika membangun pembangkit EBT yang baru, pembangkit yang lama tidak boleh dimatikan sebelum pembangkit yang baru beroperasi dengan baik dan optimal. Selain itu, PLTA sendiri sangat bergantung dengan alam, yaitu kebutuhan akan air. 

“Kalau untuk PLTA Cirata bisa memikul Jawa Barat sendirian, tidak juga. Karena kalau dari energi primernya ini, air kan sangat bergantung dengan alam. Kalau misalnya lagi kekeringan pola pengoperasiannya juga akan lebih minim dari biasanya. Butuh pembangkit EBT yang lebih banyak untuk mengoperasikan di suatu regional itu full EBT,” jawab Sumitro yang mengenakan helm pengaman berwarna oranye ini.

Dosen Teknik Kimia Swiss German University Bidang Energi dan Lingkugan Irvan Kartawiria menyebutkan, PLTA memang lebih mudah dinyalakan dan dimatikan apabila dibandingkan dengan PLTU. Tetapi ia juga memiliki kekurangan, di antaranya ia tidak bisa diandalkan sebagai pemangku yang menggendong beban dasar (base load) kelistrikan di suatu wilayah terlalu besar.

“Dia sangat tergantung dengan air. Makanya ya yang perlu dipikirkan adalah PLTA mau sebesar apa pun kalau di Indonesia, kalau dipaksakan sebagai pemangku beban murni menggantikan PLTU dalam dua bulan juga airnya habis. Jadi harus ada variasi lain, variasi-variasi pembangkitan selain PLTA, paling tidak di Indonesia tidak bisa dibebankan sepenuhnya,” jelas Irvan saat ditemui di Bandung, Rabu, 24 Januari 2024.

PLTA di Indonesia baru mampu menjadi beban dasar apabila memiliki bendungan raksasa, seperti yang dimiliki oleh Amerika ataupun Cina. Makanya, irvan menekankan pada persoalan penjagaan lingkungan, salah satunya kawasan hulu air. “Meskipun hujan kalau hulunya tidak terjaga, mata airnya tidak terjaga, masukan airnya ke bendungan juga kurang,” tambah Irvan.

Irvan menegaskan, energi terbarukan memang sangat bergantung pada lingkungan hidup. Isu transisi energi semakin mengemuka sebab kebutuhan transisi energi fosil ke energi terbarukan. Namun di sisi lain, penjagaan lingkungan juga krusial.

“Karena memang kuncinya bukan hanya masalah energinya yang tersedia, tapi sustainability, keberlanjutan. Dan keberlanjutan itu ada di alam. Jadi muter sih sebenarnya,” ungkap Irvan.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Energi dan Proyek Strategis Nasional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//