• Opini
  • Warisan Buruk Jokowi untuk Transisi Energi

Warisan Buruk Jokowi untuk Transisi Energi

Presiden Indonesia yang baru perlu merancang ulang peta jalan transisi energi Indonesia. Skema pendanaan transisi energi JETP tidak mencerminkan keadilan iklim.

Firdaus Cahyadi

Indonesia Team Leader, 350.org

Ilustrasi transisi energi. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

23 Januari 2024


BandungBergerak.id – Jika tidak ada aral melintang, di tahun ini, Indonesia akan memiliki presiden baru. Banyak tugas yang sudah menanti presiden baru itu, salah satunya adalah transisi energi. Transisi energi menjadi persoalan penting di Indonesia karena Indonesia sangat tergantung pada energi fosil, namun di sisi lainnya juga produsen batu bara. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana peta jalan tranisisi energi bagi Presiden Indonesia yang baru?

Untuk mengetahui peta jalan bagi transisi energi, kita perlu mengetahui bagaimana peninggalan (legacy) Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait transisi energi? Salah satu peninggalan Presiden Jokowi dalam transisi energi di Indonesia adalah skema pendanaan JETP (Just Energy Transition Partnership). Presiden Jokowi begitu membanggakan JETP yang diluncurkan saat KTT G20 di Bali tahun 2022 itu. Bahkan di acara APEC Economic Leaders’ Informal Dialogue and Working Lunch yang digelar di Amerika pada November tahun 2023 lalu, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa skema JETP dan Energy Transition Mechanism dapat jadi model yang dapat diperluas jangkauannya.

Nah, pertanyaannya kemudian adalah apakah skema pendanaan JETP bisa menjadi pijakan bagi peta jalan transisi energi ke depannya? Untuk menjawabnya, kita harus menelisik dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Ironisnya, jika merujuk pada dokumen CIPP JETP, justru terlihat bahwa pendanaan transisi energi dalam skema itu justru menunjukkan lemahnya diplomasi energi Indonesia.

Bagaimana tidak, dalam dokumen itu disebutkan bahwa komposisi dana hibah hanya 0,3 billion USD dari total pendanaan 21,5 billion USD. Lebih dari 95% pendanaan JETP berupa utang luar negeri. Dalam dokumen CIPP JETP kita tidak akan menemukan cerita tentang peran Indonesia dalam melakukan mitigasi gas rumah kaca (GRK) melalui transisi energi. Di dokumen itu kita justru menemukan cerita tentang negara-negara kaya, yang lebih dahulu dan besar dalam mencemari atmosfer, melakukan jebakan utang atas nama transisi energi kepada Indonesia.

Baca Juga: Guru Besar ITB: Indonesia Perlu Segera Mengurangi Penggunaan Energi Kotor
Mempertanyakan Ruang Demokrasi dalam JETP
Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi

Spirit Keadilan Iklim

Hilangnya spirit keadilan iklim dalam dokumen CIPP JETP juga terlihat dalam orientasi pendanaan untuk energi terbarukan. Dalam dokumen CIPP JETP sangat terlihat sekali bahwa orientasi pendanaan pengembangan energi terbarukan diarahkan kepada pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan skala besar saja. Sementara energi terbarukan berbasis masyarakat tidak diperhatikan sama sekali.

Padahal energi terbarukan berbasis komunitas ini bisa membuka akses warga miskin, utamanya yang berada di kawasan terpencil, terhadap listrik. Warga miskin di kawasan terpencil juga memiliki hak atas pembangunan yang sama dengan warga di perkotaan lainnya.  Hak atas energi atau listrik adalah bagian dari hak atas pembangunan. Konsekuensi dari hak atas pembangunan itu adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.

Dalam dokumen CIPP JETP terlihat sekali pemerintah seperti enggan untuk memenuhi hak warga atas pembangunan tersebut, dalam konteks ini tentu saja adalah hak warga untuk ikut berperan dalam pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas.

Apakah skema pendanaan JETP yang tidak mencerminkan keadilan iklim ini yang akan diminta oleh Jokowi untuk diperluas? Apakah skema pendanaan JETP yang akan membebani Indonesia kedepannya dengan jebakan utang baru itu yang disebut bagian dari upaya memastikan terwujudnya roadmap kemajuan Indonesia?

Bukan hanya terkait JETP, Presiden Jokowi juga melakukan serangkaian upaya, yang diklaim sebagai bagian dari mitigasi emisi GRK, dengan mengapresiasi penggunaan CCS (Carbon Capture Storage). Pada November tahun lalu, beberapa media massa mengabarkan bahwa Presiden Jokowi telah menemui bos perusahaan migas multi-nasional asal Amerika Serikat. Dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai rencana kerja sama dekarbonisasi melalui pembangunan kilang petrokimia hijau dan CCS.

Solusi Palsu Dekarbonisasi

Apa itu CCS? CCS merupakan salah satu teknologi yang diklaim mampu memitigasi GRK dengan cara mengurangi emisi karbon dioksida ke atmosfer. Apabila ditelisik lebih jauh lagi, CCS merupakan solusi palsu transisi energi karena penggunaan CCS akan memperpanjang penggunaan energi fosil dan menghalangi pengembangan energi terbarukan

Bukan hanya itu, CCS sejatinya juga masih menghasilkan emisi GRK. CCS menghasilkan emisinya sendiri, yang sering tidak diperhitungkan karena energi yang dikonsumsi dalam proses penangkapan. Bahkan, laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) juga mengungkapkan bahwa kemampuan CCS untuk memberikan pengurangan emisi yang berarti dalam dekade berikutnya sangatlah rendah, sementara biayanya akan sangat tinggi. Dengan biaya yang tinggi itu, harusnya investasinya langsung diarahkan ke pengembangan energi terbarukan.

Legacy buruk Presiden Jokowi terkait transisi energi tidak perlu dilanjutkan.  Presiden Indonesia yang baru perlu merancang ulang peta jalan bagi transisi energi Indonesia.  Skema pendanaan transisi energi dalam JETP misalnya, bila ingin terus dilanjutkan harus dilakukan negosiasi ulang dan diimplementasikan dengan cara baru.

Presiden baru Indonesia perlu melakukan negosiasi ulang terkait komposisi utang dalam skema JETP. Dilihat dari sisi mana pun, beban utang baru dari negara-negara kaya untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak mencerminkan keadilan iklim.

Presiden Indonesia yang baru pun harus mengubah cara dalam menyusun kebijakan energi. Selama ini, kebijakan energi, termasuk JETP, dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan masyarakat sebagai pembayar pajak. Ke depan cara-cara ini tidak boleh terjadi.

Rencana investasi CCS juga harus dikoreksi oleh presiden Indonesia yang baru. Penggunaan CCS ini akan mempertahankan penggunaan energi fosil. Konsekuensinya, akan menghambat penggunaan energi terbarukan di Indonesia. Penggunaan solusi palsu transisi energi seperti CCS bukan hanya membuat transisi energi jalan di tempat tapi juga mundur ke belakang. Presiden Indonesia yang baru perlu imajinasi dan juga keberanian untuk tidak lagi melanjutkan legacy Jokowi terkait transisi energi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//