• Opini
  • Mempertanyakan Ruang Demokrasi dalam JETP

Mempertanyakan Ruang Demokrasi dalam JETP

Demokratisasi energi pada mekanisme pendanaan baru transisi energi berupa Just Energy Transition Partnership (JETP) nampaknya masih akan menemui jalan yang berliku.

Firdaus Cahyadi

Indonesia Team Leader, 350.org

Orasi Gegap Gempita G20: Pembungkaman Ruang Demokrasi, Solusi Palsu, dan Pengkhianatan Konstitusi!, yang dilakukan organisasi masyarakat sipil, Rabu (16/11/2022). (Sumber: Tangkapan Layar)

1 Februari 2023


BandungBergerak.id — Banyak pihak mengatakan bahwa KTT G20 yang digelar di November 2022 merupakan salah satu prestasi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu indikasinya, menurut mereka adalah di sela-sela KTT tersebut pemerintah meluncurkan mekanisme pendanaan baru transisi energi berupa Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam mekanisme pendanaan itu Amerika Serikat (AS), Jepang dan sejumlah negara anggota G7 serta negara mitra dari Uni Eropa akan memobilisasi pendanaan untuk transisi energi Indonesia senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310,4 triliun.

Angka itu jelas bukanlah angka yang kecil bagi Indonesia. Secara umum pendanaan JETP akan digunakan untuk pengembangan energi terbarukan. Dengan transisi energi, Indonesia diharapkan mampu melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor energi yang menyebabkan krisis iklim.

Persoalan apakah klaim kesuksesan pemerintah soal penyelenggaraan KTT G20 tentu bisa diperdebatkan. Namun, yang lebih penting diperdebatkan adalah soal JETP itu sendiri. Beberapa pertanyaan itu yang dapat menjadi pembuka perdebatan soal JETP misalnya adalah seberapa besar porsi hibah dan utang pada mekanisme pendanaan JETP? Bagaimana publik dapat terlibat dalam pengambilan kebijakan dalam JETP?

Tentu masih banyak pertanyaan lain dari publik terkait JETP. Persoalan komposisi pendanaan antara hibah dan utang penting diketahui publik karena pembayaran utang negara menggunakan uang pajak rakyat. Setiap rupiah penggunaan uang pajak, rakyat harus mengetahuinya. Sebagai pembayar pajak, publik tidak ingin JETP ini adalah bagian dari upaya negara-negara kaya untuk menjebak Indonesia dalam perangkap utang luar negeri.

Pertanyaan mengenai cara publik untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan JETP ini sangat penting. Energi adalah persoalan hajat hidup orang banyak, termasuk transisi energi. Tanpa keterlibatan publik, proyek energi terbarukan ini akan kehilangan roh keadilannya.

Semua pertanyaan-pertanyaan publik itu tentu akan bisa disampaikan bila ada ruang demokrasi dalam proses pengambilan kebijakan pembiayaan proyek JETP. Ruang-ruang demokrasi dalam pengambilan kebijakan energi harus dibuka seluas-luasnya. Pertanyaannya sejauh mana ruang demokrasi dibuka dalam pengambilan kebijakan energi di negeri ini?

Baca Juga: Alternatif Beton Ringan dari Limbah Kertas
Menimbang Mars Sebagai Tempat Tinggal Baru Manusia
Budaya Suap yang Menjadi Konsumsi Publik di Indonesia

Keterlibatan Publik

Di Indonesia, kebijakan transisi energi jauh dari keterbukaan apalagi keterlibatan publik. Tanpa transparansi tidak akan ada keterlibatan publik. Publik Indonesia tentu masih ingat dengan kasus lumpur Lapindo. Kasus kecelakaan industri tambang itu sejak awal diwarnai dengan ketertutupan informasi. Bahkan setelah lumpur menenggelamkan wilayah Sidoarjo, Jawa Timur, begitu banyak penyesatan informasi yang sengaja dibangun. Salah satunya informasi yang mengatakan bahwa semburan lumpur itu adalah bencana alam.

Pembahasan isu energi di KTT G20 Bali juga jauh dari keterbukaan. Pembahasan agenda transisi energi di KTT G20 menjadi salah satu contoh buruk bagi demokratisasi kebijakan energi di Indonesia. Menjelang KTT G20 di Bali misalnya aktivis Greenpeace Indonesia yang bersepeda menuju Bali karena ingin menyampaikan pendapatnya tentang krisis iklim dihadang di Jawa Timur.

Bukan hanya itu dua kegiatan ekspresi seni oleh 350 Indonesia dan komunitas anak muda Bali tentang krisis iklim beberapa hari menjelang KTT G20 juga harus dibatalkan karena pemilik tempat mendapat intimidasi dari otoritas keamanan setempat. Pihak aparat melarang ekspresi seni karena di dalam acara ada spanduk yang bertuliskan, ”Dari Polusi ke Solusi”. Padahal isi spanduk itu sejalan dengan agenda transisi energi yang sedang dibahas di G20.

Hotel di Bali, tempat para aktivis menginap juga tidak luput dari intimidasi aparat keamanan. Pihak yang mengaku aparat keamanan mengintimidasi pihak hotel dengan meminta nomor telepon para aktivis yang menginap. Untung saja, pihak hotel menolak memberikan nomor telepon para aktivis karena alasan perlindungan data pribadi.

Diskusi mahasiswa tentang KTT G20 juga dilarang. Demonstrasi mahasiswa tentang G20 juga dihalang-halangi. Padahal aksi mahasiswa dilakukan secara damai bahkan beberapa di antaranya dibubarkan dengan kekerasan.

Bahkan rapat internal dari YLBHI juga dibubarkan oleh aparat keamanan. Padahal kegiatan YLBHI merupakan kegiatan internal organisasi yang tidak ada kaitannya dengan KTT G20.

Kita tentu tidak bisa meneruskan tradisi buruk kebijakan energi di Indonesia yang tertutup dan tidak melibatkan publik. Transisi energi harus dimaknai bukan saja berpindah dari energi fosil ke energi terbarukan namun juga harus pula berubah pula cara pengelolaan energinya. Selama ini pengelolaan energi fosil jauh dari keterbukaan dan keterlibatan publik. Cara-cara pengelolaan energi yang tertutup seperti pada energi fosil tidak boleh terulang lagi.

Bila transisi energi masih mengulang cara-cara lama dalam pengelolaannya maka, rakyat yang membayar pajak yang akan menjadi korban pertama dan utamanya. Rakyat harus diajak bicara dalam pengelolaan energi terbarukan. Tanpa keterlibatan rakyat transisi energi rentan untuk dibajak para elite yang selama ini diuntungkan oleh bisnis energi fosil.

Demokratisasi Energi

Pembajakan agenda transisi energi itu sudah mulai nampak dengan munculnya wacana transisi ke gas dan juga penggunaan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) untuk memperpanjang penggunaan batu bara. Baik gas maupun batu bara, jelas merupakan energi fosil yang emisinya menyebabkan krisis iklim.

Potensi pembajakan transisi energi semakin besar di tahun politik 2023. Pengalaman di pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) sebelumnya, di setiap tahun politik para pemilik modal di sektor batu bara akan berlomba menjadi penyandang dana para kandidat legislatif dan presiden. Mereka akan mendanai kampanye caleg dan capres yang mampu menjaga kepentingan ekonomi dan politik mereka. Meskipun kepentingan ekonomi dan politik mereka membahayakan keselamatan ratusan juta warga karena krisis iklim.

Di tengah potensi pembajakan para pemilik modal di batu bara itu, demokratisasi energi pada JETP nampaknya masih akan menemui jalan yang berliku. Bagaimana tidak, pada saat diskusi di Jakarta pertengahan Desember 2022, perwakilan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tidak tahu ketika salah seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa keputusan-keputusan terkait dengan transisi energi di G20 dibuat di tengah terjadinya pembungkaman suara masyarakat sipil. Perwakilan Kementerian ESDM itu mengira sudah mengakomodasi suara masyarakat sipil, hanya karena sudah sering berdiskusi dengan C20 (Civil 20), sebuah kelompok koalisi masyarakat sipil yang dibentuk untuk merespons KTT G20.

Padahal di berbagai kesempatan aktivis masyarakat sipil yang ada di dalam C20 juga mengeluhkan keterbukaan pemerintah dalam berbagai perundingan tingkat menteri di KTT G20. Melihat realitas itu, muncul pertanyaan berikutnya, benarkah Kementerian ESDM tidak tahu telah terjadi pembungkaman suara masyarakat sipil selama KTT G20? Atau sejatinya mereka tidak mau tahu dan tidak peduli terhadap pembungkaman itu?

Di acara yang sama pula, perwakilan dari Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), berjanji akan membentuk Sekretariat JETP. Perwakilan Kemenko Marves memastikan akan memasukan perwakilan masyarakat sipil dalam struktur Sekretariat Nasional JETPI. Pertanyaannya kemudian adalah apakah dengan memasukan perwakilan masyarakat sipil dalam Sekretariat Nasional JETP, pemerintah sudah menjalankan demokrasi energi?

Jawabnya singkat, belum tentu. Kelompok masyarakat sipil di Indonesia tidaklah seragam. Bagaimana mekanisme pemerintah untuk mengakomodasi kelompok masyarakat sipil Indonesia yang beragam itu? Tanpa mekanisme yang jelas, pemerintah hanya akan mengulang demokrasi palsu di KTT G20, seolah-olah telah melibatkan masyarakat sipil hanya karena telah berdiskusi dengan perwakilan C20, sementara suara masyarakat sipil lainnya dibungkam. Jika ini yang terjadi, pemerintah bukan lagi memberikan ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil, namun sedang melakukan hegemoni.

Transisi energi bukan sekedar persoalan teknis. Transisi energi membawa konsekuensi perubahan dalam pengelolaan energi. Transisi harus diiringi dengan demokrasi  energi yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi rakyat untuk terlibat di dalamnya. Tanpa itu transisi energi hanya akan menjadi jargon kosong yang hanya menguntungkan segelintir orang. Sayangnya, di dalam JETP ini, persoalan mendasar dalam demokrasi energi, berupa transparansi den keterlibatan masyarakat justru tidak dipenuhi sejak dari awal.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//