• Opini
  • Budaya Suap yang Menjadi Konsumsi Publik di Indonesia

Budaya Suap yang Menjadi Konsumsi Publik di Indonesia

Walaupun secara sadar tahu akan ketidakbenaran tindak tersebut, suap-menyuap sudah menjadi konsumsi publik dan menjadi hal biasa bagi masyarakat.

Kanaya Febrianti Rachmantika

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Seorang warga berdiri di depan Pengadilan Negeri Bandung Kelas 1A Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jalan R.E. Martadinata, Citarum, Kota Bandung, Selasa (12/7/2022). (Foto Ilustrasi: Choerul Nurahman/BandungBergerak.id)

31 Januari 2023


BandungBergerak.id — Budaya merupakan suatu hal yang erat kaitannya dengan masyarakat, penduduk, maupun sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu. Masyarakat tersebut memiliki cara hidup yang diwariskan dari tiap generasi ke generasi berikutnya. Budaya masyarakat tidak hanya semata-mata terkait kebudayaan tradisional yang kita kenal, melainkan juga kebiasaan masyarakat yang tercipta di antara lingkungan menjadi suatu bentuk budaya masyarakat.

Kebiasaan masyarakat yang tidak selaras dengan aturan yang berlaku menjadi sesuatu yang perlu dibahas pada era milenial dalam dunia digital sekarang ini. Salah satu contoh kebiasaan masyarakat tersebut adalah bentuk dari tindak penyuapan yang sudah menjadi rahasia publik dan tidak mengherankan. Hal ini dapat dikatakan bahwa kebiasaan penyuapan yang terjadi di masyarakat menjadi suatu bentuk budaya suap berulang dan tidak terhindarkan. Setiap orang, sekiranya delapan dari sepuluh orang pernah melihat, melakukan, maupun mendengar dari sekitarnya terkait penyuapan.

Dunia digital menjadi tindak konsumtif publik yang secara sadar diakui dan dijadikan pedoman bagi hampir setiap orang pada generasi milenial ini. Tidak hanya itu, dunia digital juga menjadi sumber informasi utama berupa berita, edukasi, dan media hiburan yang bercampur sehingga hal ini menciptakan sesuatu yang sulit dipastikan kebenarannya dan menciptakan pernyataan yang salah dimengerti. Kesalahpahaman ini memicu konflik, perselisihan, bahkan contoh tidak baik pada generasi yang akan datang.

Salah satu contohnya adalah dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan berfokus pada generasi yang akan datang sebagai bibit unggul sumber daya manusia untuk memajukan kesatuan masyarakat dari suatu negara. Penyuapan dalam dunia pendidikan menjadi salah satu contoh budaya konsumtif masyarakat digital yang sudah menjadi rahasia publik. Maka dari itu, kita sebagai generasi penerus bangsa perlu berpikir kritis dan menghindari diri sendiri dari segala bentuk penyuapan. Bersikap kritis berarti berpikir rasional dan objektif tanpa memikirkan keuntungan diri sendiri melalui analisis yang adil tanpa melibatkan faktor emosional.

Baca Juga: Edukasi dan Masalah Kesehatan Mental pada Remaja
Menyigi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Menjaring Solusi dengan Berpikir Komputasional

Budaya Suap

Alih-alih berbicara penyuapan, baiknya terlebih dahulu kita membahas cikal bakal suap-menyuap itu tumbuh. Suap-menyuap terbentuk dengan adanya suatu keinginan dari pihak tertentu, di mana pihak tersebut ingin hasilnya sesuai dengan apa yang dia harapkan. Keinginan tersebut dapat menguntungkan pihak tersebut, tetapi secara tidak sadar dapat merugikan pihak lain dan dari sanalah muncul ketidakadilan sehingga tercipta peraturan dari hukum yang berlaku agar tercipta keadilan dan terhindar dari konflik antar beberapa pihak.

Namun tidak disangka suap-menyuap tetap berlangsung di antara masyarakat, walaupun secara sadar tahu akan ketidakbenaran tindak tersebut, suap-menyuap sudah menjadi konsumsi publik dan menjadi hal biasa bagi masyarakat.

Dalam dunia pendidikan, suap menjadi hal yang tidak pernah terlewat. Pada tingkat sekolah menengah pertama(SMP) maupun sekolah menengah atas(SMA) proses penerimaan yang dilalui membutuhkan syarat mutlak yang tidak bisa diubah juga keinginan bersekolah menengah di sekolah tertentu mendorong terciptanya syarat yang dianggap mampu dimanipulasikan lewat penyuapan. Tidak hanya pihak eksternal, dalam proses pembelajaran pihak internal juga mampu melakukan tindak penyuapan.

Menurut Tim Penyusunan Kompendium Pidana Suap (2006), suap dalam dunia pendidikan menjadi suatu tindak korupsi yang dapat dibagi menjadi pola dengan level tertentu; pertama, korupsi level pertama (guru) berupa menarik pungutan kepada siswa dan kerja sama dengan penerbit/suplier buku; kedua, korupsi level kedua (kepala sekolah/dibantu komite sekolah dan dinas pendidikan) berupa menarik pungutan kepada siswa, memanipulasi APBS: penyunatan program dan dana, anggaran ganda, aktivitas fiktif, kerja sama dengan penerbit/suplier buku, menarik pungutan untuk kenaikan pangkat/golongan guru, memberi upeti/suap kepada birokrasi di atasnya (penilik sekolah), dinas pendidikan (biaya koordinasi) maupun untuk “uang keamanan” bagi aparat keamanan, rekayasa subsidi/beasiswa: manipulasi penerima, penyunatan, penerima fiktif; ketiga, korupsi level ketiga (dinas pendidikan) berupa manipulasi tender: untuk pengadaan barang, dan proyek-proyek yang diperuntukkan bagi sekolah, kerja sama dengan penerbit/suplier buku, rekayasa subsidi/beasiswa: manipulasi penerima, penyunatan, penerima fiktif; keempat, korupsi level keempat (Depdiknas) berupa manipulasi tender: penunjukan langsung, tender arisan.

Pihak eksternal dan internal terlibat dalam tindak suap-menyuap ini. Walaupun dilakukan berdasarkan tindak perseorangan, bukankah hal ini tidak pantas dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjadi panutan dan contoh untuk anak bangsa sebagai pemeran utama dalam dunia pendidikan? Budaya suap menjadi tumpang tindih dengan suap lainnya dan terus terjadi akibat keserakahan dan egosentris pihak tidak bertanggung jawab. Tumpang tindih yang dimaksudkan ketika pihak penyuap menciptakan pihak penyuap lainnya (ditiru oleh pihak lain), hal ini terus berlanjut apabila tidak ditindak dengan tegas.

Tindak penyuapan yang terus berlangsung ini menjadi contoh berbagai pihak dan mempengaruhi kemajuan pendidikan di Indonesia. Usaha peningkatan kualitas pendidikan agar Indonesia maju dapat terhalang akibat tindakan suap yang diabaikan. Hal tersebut terjadi karena ketidakselarasan data yang didapat dengan fakta kualitas pendidikan yang ada.

Psikologis merupakan faktor penting dalam menjalani kehidupan. Psikologis yang disuap, penyuap, dan pihak yang dirugikan merupakan pengguna digital yang cenderung terpengaruh akibat digitalisasi. Kecenderungan kepribadian ini dapat berupa karakter seseorang yang tercipta akibat faktor tertentu.

Karakter individualis akibat digitalisasi menciptakan perilaku egosentris yang hanya mementingkan diri sendiri untuk menguntungkan dirinya dan tidak memikirkan pihak lain yang terdampak akibat keputusan tersebut. Sikap egosentris ini memicu tindak penyuapan agar hal yang diinginkan dapat terlaksana.

Sikap intuitif pengguna digital dalam media sosial jelas terlihat dari mudahnya menyimpulkan pendapat maupun meyakini informasi yang belum dipastikan kebenarannya. Jika diperhatikan dalam media digital berupa berita, kasus tindak penyuapan melalui tindak korupsi oleh pihak egosentris selalu terjadi setiap harinya. Hal ini mempengaruhi psikologis pengguna digital intuitif yang berasumsi bahwa suap-menyuap tidak akan lepas dari lapisan masyarakat tertentu dan akan terus terjadi.

Berpikir Kritis pada Suap

Anak Bangsa adalah kunci masa depan. Dalam dunia digital sekarang ini, salah satu peran yang menjadi penggunanya adalah anak bangsa. Cepatnya mobilitas informasi baik berupa ilmu pengetahuan, berita faktual, dan sebagainya yang tidak diragukan lagi membuat informasi mudah didapat, namun fakta menjadi sesuatu yang sulit dipastikan kebenarannya. Hal yang tidak masuk akal menjadi hal biasa dengan alasan menghibur, nyatanya hiburan tersebut dijadikan pedoman bagi publik dan dipercaya banyak orang. Pengguna digital ini tidak banyak yang berpikir realistis dan malah termakan konten tidak bertanggung jawab.

Pengguna digital tidak jarang menjadi terkontrol oleh media digital sehingga berpikir tidak kritis sebelum bertindak dan langsung menyimpulkan pendapat. Akibatnya tindak suap[1]menyuap di kalangan masyarakat digital yang menjadi hal biasa menciptakan pandangan tersendiri kepada generasi selanjutnya. Generasi selanjutnya sebagai anak bangsa berpikir bahwa tindak penyuapan adalah tindakan yang tidak bisa lepas dari masyarakat dan akan terus terulangi. Hal ini disebabkan karena sikap individualis yang terus berkembang dalam dunia digital dan gagasan bahwa suap adalah tindakan yang terpaksa dilakukan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan pasti atau solusi terakhir dari keinginan yang sudah pasti akan didapatkan. Jika anak bangsa memiliki pandangan yang salah, bagaimana masa depan di Indonesia?

Sebagai generasi penerus bangsa dalam dunia digital, ada baiknya menghindari keinginan penyuapan dengan bersikap kritis dan tidak bertindak tanpa berpikir panjang. Dengan begitu, tindak penyuapan dapat dikurangi melalui pandangan individualis yang tepat karena dibiasakan sejak dini, terutama pandangan anak bangsa yang menjadi penerus. Berkurangnya tindak penyuapan mengurangi adanya penyuap lain sehingga suap-menyuap tidak berkelanjutan.

Pola berpikir kritis adalah hal yang harus dilatih terus menerus bagi generasi muda saat ini. Generasi muda dalam digitalisasi sudah banyak yang tertinggal akibat informasi yang mudah didapat. Pola berpikir kritis inilah yang harus kita lestarikan. Generasi muda diharapkan mampu berpikir kritis dan mencari bentuk solusi, serta berbagai pertimbangan dalam membuat keputusan yang tepat dan bijak.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//