• Opini
  • Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi

Saatnya Menjalankan Konsep Kehidupan Berkelanjutan di Bidang Makanan, Transportasi, Komunitas, dan Energi

Pengrusakan terhadap alam terus berlanjut di tengah massifnya aktivitas manusia di muka bumi. Konsep kehidupan berkelanjutan mau tak mau mesti dijalankan manusia.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Pesan protes pengemudi ojek online di masa penerapan PPKM darurat di Bandung, 16 Juli 2021. Mereka mempertanyakan solusi dari pemerintah jika satu-satu-satunya sumber pendapatan mereka harus tutup selama PPKM. (Foto: Prima Mulia)

15 Mei 2023


BandungBergerak.idPandemi Covid-19 mengubah sebagian besar pola kehidupan manusia. Kendati Covid-19 berhasil dikendalikan, nyatanya perubahan di masyarakat masih terus terjadi dan sepertinya hal itu merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Perubahan itu tidak hanya menuju ke arah yang positif tetapi juga negatif, salah satunya perubahan terhadap wajah dan kondisi alam. Kondisi itu bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup, tidak hanya manusia tetapi juga alam.

Oleh karena itu, banyak negara berupaya mencegah kemungkinan terburuk sebagai akibat dari kerusakan alam yang dapat melanda sewaktu-waktu. Pada saat yang bersamaan, negara-negara tersebut berupaya membangun kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakatnya agar terlepas dari keterbelakangan dan kemunduran peradaban. Hal inilah yang kemudian menjadi cetak biru bagi proses pembangunan dunia yang kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat program yang dikenal sebagai “The 17 Sustainable Development Goals (SDGs)”, dimana program ini dijadikan role model bagi beberapa negara yang mengadopsinya untuk diwujudkan di negaranya.

Program The 17 Sustainable Development Goals (SDGs) yang dikeluarkan PBB ini, sebagaimana dikutip dari laman sdgs.un.org (2023), bisa dikatakan sebagai: “Which are an urgent call for action by all countries—developed and developing—in a global partnership. They recognize that ending poverty and other deprivations must go hand-in-hand with strategies that improve health and education, reduce inequality, and spur economic growth—all while tackling climate change and working to preserve our oceans and forests.” Semua ini merupakan rencana jangka panjang guna mencegah masalah perubahan iklim, meskipun sebenarnya SDGs lebih dari sekadar itu, yaitu mendorong kolaborasi antarnegara dalam pengembangan potensinya melalui berbagai programnya.

Ketujuh belas program SDGs itu meliputi: 1) No poverty; 2) Zero hunger; 3) Good health and well-being; 4) Quality education; 5) Gender equality; 6) Clean water and sanitation; 7) Affordable and clean energy; 8) Decent work and economic growth; 9) Industry, innovation and infrastructure; 10) Reduce inequalities; 11) Sustainable cities and communities; 12) Responsible consumption and production; 13) Climate action; 14) Life below water; 15) Life on land; 16) Peace, justice and strong institutions; dan, 17) Partnerships for the goals.

Sekilas program-program tersebut dapat berhubungan erat dengan gerakan sustainable living atau kehidupan berkelanjutan. Bila dikaitkan, umpan balik keduanya bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat yang berbarengan dengan keberlangsungan hidup ekosistem alam. Mekanisme ini berdampak pada kemajuan negara di sektor pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dan pelestarian alam. Namun, apakah kehidupan berkelanjutan ini mesti dijalankan, khususnya di Indonesia?

Indonesia Harus Sustainable Living

Kita harus sedikit memaparkan kondisi yang melatarbelakangi pentingnya penerapan konsep kehidupan berkelanjutan di Indonesia. Walaupun hanya sekilas, setidaknya ini mendorong penerapan sustainable living di Indonesia agar terlaksana secara konsisten di setiap lini massa. The Eco Hub (2022) pernah menjelaskan bahwa lebih dari setengah emisi industri global sejak tahun 1988, yang dapat dilacak dari 25 korporasi dan entitas yang diproduksi negara, menghasilkan 500 giga ton CO2 selama kurun waktu 30 tahun. Di Indonesia sendiri, sebagaimana diungkapkan pada laman Dataindonesia.id (2022), diketahui bahwa emisi Gas Rumah Kaca (GRK) negeri ini mencapai 259,1 juta ton CO2 di tahun 2021 dan diprediksi akan terus meningkat sebesar 29,13 persen menjadi 334,6 juta ton CO2 pada 2030.

Sedangkan pada saat yang sama, berdasarkan keterangan Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM), sebagaimana dikutip dari laman Dataindonesia.id (2023), Indonesia berhasil merealisasikan penurunan emisi karbon (CO2) hingga di angka 91,5 juta ton di tahun 2022 atau 30,71 persen lebih banyak dibandingkan pada proyeksi tahun 2021 yang hanya 70 juta ton. Walaupun begitu, kebutuhan akan energi masih terus berlanjut, terutama energi kotor yang berdampak buruk pada lingkungan seperti batu bara untuk pembangkit, maka kemungkinan produksi emisi karbon akan terus meningkat.

Dalam suatu kesempatan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres mengumumkan “kode merah” bagi umat manusia akibat terus bertambahnya emisi karbon dioksida, sedangkan di saat yang bersamaan, hutan di Indonesia terus mengalami degradasi akibat meluasnya wilayah tambang dan perkebunan sawit. Berdasarkan data dari The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) 2018, Indonesia kehilangan 650 ribu hektare hutan. Di tahun berikutnya laju deforestasi semakin tinggi, pemerintah gagal dalam menghentikan deforestasi ini.

Belum lagi data kebencanaan Indonesia di tahun 2020, sebagaimana telah disebutkan oleh BNPB pada laman Walhi tersebut, diketahui terdapat 2.925 bencana mulai dari banjir, longsor, puting beliung, dan kebakaran hutan. Semua ini menandakan bahwa Indonesia tidak hanya menghadapi permasalahan perambahan hutan, tetapi juga bencana yang diakibatkan dari kegiatan ilegal tersebut. Hal berdampak besar, tidak hanya bagi negara tapi juga masyarakat setempat yang terutama.

Begitupun dengan sampah sebagai polutan khas abad modern, yang juga mesti Indonesia hadapi. Berdasarkan catatan dari laman Nationalgeographic.co.id (2020), diperkirakan bahwa 1,3 miliar ton sampah akan memenuhi Bumi di tahun 2040—baik lautan maupun daratan—apabila tidak adanya upaya pencegahan dari sekarang. Hal yang menyedihkan adalah, terdapat dua miliar penduduk hari ini yang notabene tidak memiliki akses ke pengelolaan sampah, yang berarti kontraproduktif dengan upaya pencegahan produksi sampah secara global.

Masalahnya produksi sampah di Indonesia pada tahun 2022 saja diketahui sebanyak 18,8 juta ton timbulan sampah diproduksi per tahun, sedangkan pengurangan sampah yang terjadi hanya sebesar 26,48 persen atau sekitar 5 juta ton per tahun, sebagaimana diungkap dalam data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) (2022) yang diambil dari 156 kota/kabupaten se-Indonesia. Sumber penghasil sampah terbesar di Indonesai didominasi oleh sektor rumah tangga yang mencapai 43,3 persen, diikuti pasar tradisional mencapai 24,1 persen, dan kawasan sebesar 10,5 persen, dll. Menurut Jambeck, dkk., (2015), Indonesia merupakan negara peringkat kedua dunia penghasil sampah plastik sebesar 187,2 juta ton setelah Cina (262,9 juta ton).

Tidak hanya persoalan alam, persoalan budaya hidup masyarakat Indonesia pun menjadi sorotan. Terlebih budaya ekspansionis yang mendorong meluasnya kerusakan, baik budaya masyarakat maupun alam, yaitu konsumtif atau konsumerisme. Perilaku ini mendorong gaya hidup boros dan menghabiskan modal (uang) tanpa pertimbangan matang atau kebutuhan dan secara membabi buta tergerak untuk membeli suatu barang yang sejatinya tidak begitu dibutuhkan. Kerugian yang bisa diperoleh akibat perilaku konsumtif, sebagaimana dikutip dari laman Kementerian Keuangan (2022), di antaranya: 1) Pengeluaran uang belanja yang membludak; 2) Nafsu belanja yang sulit dikontrol; 3) Perilaku boros dan hedonisme yang mulai timbul dan sulit dikontrol; 4) Adanya kecemburuan sosial dan dorongan meniru dan membelinya; 5) Mengurangi kesempatan menabung; 6) Cenderung tidak mampu menyiapkan kebutuhan mendatang; 7) Tidak memiliki dana darurat; dan, 8) Sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan.

Pada saat yang sama, tingkat konsumsi Indonesia di tahun 2021, sebagaimana dikutip dari laman Databoks.katadata.co.id (2022), bisa mencapai rata-rata 1,26 juta rupiah per bulan. Jika dirinci berdasarkan pos pengeluarannya, pada 2021 rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan 622,8 ribu rupiah per bulan untuk konsumsi makanan, kemudian 641,7 ribu rupiah untuk konsumsi nonmakanan. Sedangkan berdasarkan wilayah tempat tinggal, rata-rata pengeluaran konsumsi penduduk di perkotaan sebesar 1,48 juta rupiah per bulan dan perdesaan hanya 971,4 ribu rupiah per bulan. Penting bila hal itu diarahkan kepada kebutuhan krusial rumah tangga segala hal keperluan produktif, namun akan menjadi masalah bila hal itu digelontorkan hanya untuk keperluan konsumtif.

Dengan fakta ini, tantangan sustainable living di Indonesia begitu besar, sehingga persoalannya bukan lagi soal sustainable living melainkan jadi sustainable commit for living atau komitmen untuk (menjalani) kehidupan berkelanjutan. Ini adalah pekerja rumah, tidak hanya bagi pemerintah dan masyarakat semata, namun semua stakeholder yang tersedia.

Komitmen untuk Sustainable Living

Berbicara mengenai sustainable living, maka perlu sekiranya diketahui garis besar dari istilah ini. Secara sederhana, sustainable living adalah konsep hidup yang berkelanjutan dengan mempertahankan keserasian lingkungan (Dewi, dkk., 2018). Menurut Adityawan, dkk., sebagaimana dikutip dari laman Teens Go Green Indonesia (2020), dijelaskan bahwa, sustainable living itu sebagai tindakan dan perencanaan di mana seseorang merancang perilaku dalam mengkonsumsi produk didasari dengan aspek siklus produk yang digunakan, meliputi asal material produk, pengolahan, dan ketahanan produk. Artinya, sustainable living sebagai kemampuan untuk tetap hidup bekelanjutan (Matitaputty & Masinay, 2020).

Bisa dikatakan bahwa sustainable living atau kehidupan berkelanjutan ialah sebuah gerakan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip kehidupan berkelanjutan dalam rangka keharmonisan dan pelestarian alam. Dalam laman Sustaination.id (2019), sustainable living diasosiasikan dengan lifestyle dan philosophy. Gerakan ini berupaya untuk mendorong kehidupan manusia yang dapat selaras dengan perlindungan dan kesehatan alam.

Menurut Gale, sebagaimana disebutkan dalam laman Teens Go Green Indonesia (2020), bahwa tujuan dari gerakan sustanable living ialah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari diikuti dengan upaya meminimalisir dampak buruk bagi lingkungan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistemnya. Persoalan utama dari pengimplementasian model berkelanjutan seperti ini ialah untuk memastikan manakah yang dikenal sebagai kebutuhan maupun keinginan, termasuk didalamnya komitmen untuk menjalankan.

Artinya, gaya hidup berkelanjutan tidak selalu mudah untuk dibentuk bagi beberapa kalangan, bahkan mungkin konsep ini masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, terkadang nilai-nilai kearifan lokal, yang telah berkembang sejak lama di beberapa daerah di Indonesia, sudah sejak awal hidup berdampingan dengan alam dan saling menjaga satu sama lain. Mungkin, istilahnya saja yang terdengar asing, namun yang menarik adalah bila kita merujuk pada konsepsi ini, maka terjadi degradasi budaya yang sejak awal menempatkan masyarakat dengan alam beriringan.

Sejatinya, sustainable living memposisikan kehidupan masyarakat yang mesti harmonis dengan alam, dan menempatkan kehidupan masyarakat untuk senantiasa berkelanjutan tanpa memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Bila diartikan, maka proses eksploitasi sumber daya, arah investasi, pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan harus menjalankan prinsip berkelanjutan untuk kebutuhan dan keberlangsungan manusia di masa depan.

Menurut Sukamdi, dkk., (2022), program ini dilakukan dari segi pelestarian lingkungan untuk mempertahankan kondisi lingkungan yang sudah ada. Satu hal penting yang perlu dicatat di sini—begitu juga pada persoalan pada umumnya—sustainable living atau hidup berkelanjutan tidak dapat diartikan mengabaikan atau melepaskan semua hal. Namun, justru meminta seseorang yang menjalaninya untuk tetap hidup harmonis dengan kesadaran akan kehadiran alam di sekitarnya. Hal ini bisa digambarkan, seperti dikutip dari laman Sustaination.id (2019), dengan pandangan bahwa kita percaya dengan cara hidup yang kontinu di mana cara itu mesti didasarkan pada ragam tujuan. Hal ini mengindikasikan bahwa kehidupan manusia yang berkelanjutan mestilah aplikatif dan berkesadaran. Dan, yang terpenting dari semua pembicaraan ini adalah komitmen (konsisten) untuk menjalankannya.

Baca Juga: Risiko Besar di Balik Praktik Membakar Sampah di TPA Cicabe
Geopolimer sebagai Bahan Dasar Beton untuk Masa Depan yang Berkelanjutan
Aplikasi Arsitektur Hijau Berkelanjutan dalam Pembangunan Perkantoran

Memulai Sustainable Living

Sebagai pembukan, pertama-tama yang bisa dilakukan adalah sustainable food. Ketika mendengar hal ini, kita akan langsung terpikir untuk menghormati setiap makanan yang disantap, dan itu langkah sederhana “makanan berkelanjutan”.

Gerakan ini dimulai dengan membangun kesadaran atas apa yang dimakan dan bagaimana makanan ini bisa sampai ke meja makan kita. Di tengah maraknya konten-konten yang bertemakan “membuang makanan”, tentunya gerakan ini akan terasa sangat bertentangan dengan keinginan pasar (dunia maya). Terdapat prinsip yang umumnya dijadikan patokan dalam sistem pengembangan sustainable food di Indonesia.

Poin penting dari prinsip tersebut, maka didapatkan bahwasanya sustainable food di Indonesia bisa diwujudkan apabila: 1) Semua aktor terlibat untuk memenuhi tujuan pangan nasional; 2) Melibatkan banyak aktor untuk berkolaborasi dengan sehat (juga) untuk memenuhi kebutuhan pangan sehat bagi masyarakat; 3) Membangun jejaring sistem pangan antar stakeholders hingga konsumen; 4) Manajemen pangan secara akurat untuk menghindari produksi makanan berlebih dan terbuang sia-sia atau menjaga produksi tetap sesuai kebutuhan; 5) Seluruh pihak secara holistik bertanggung jawab atas persoalan pangan ini; 6) Mengedepankan produksi lokal guna membangun daya saing dan kesejahteraan para produsen pangan lokal; 7) Berbasis lingkungan dan sesuai dengan kapasitas sistem sumber daya alam; dan, 8) Optimalisasi pangan untuk menghindari pengorbanan berbagai unsur potensial yang berguna bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia di masa depan.

Meskipun prinsip di atas digunakan dalam program secara makro dalam mengatasi persoalan pangan nasional, setidaknya poin penting yang bisa diimplementasikan secara sederhana pada diri kita adalah bagaimana memanfaatkan makanan seoptimal mungkin dan sesuai dengan kebutuhan nutrisi tubuh, ketersediaan yang bermanfaat dan sesuai kapasitas, konsumsi pangan sehat dan bertanggung jawab, dan lainnya.

Persoalan sustainable living berikutnya adalah tentang sustainable transportation atau transportasi berkelanjutan. Menurut Center for Sustainable Development (1997), sistem transportasi yang berkelanjutan merupakan sistem yang menyediakan akses terhadap kebutuhan dasar berupa transportasi kepada individu atau masyarakat secara aman dan dalam cara yang tetap konsisten dengan kesehatan manusia dan ekosistem, dengan keadilan masyarakat saat ini dan masa datang.

Transportasi yang berkelanjutan (sustainable transportation) merupakan salah satu aspek keberlanjutan menyeluruh (global sustainability) yang memiliki tiga komponen yang saling berhubungan, yakni lingkungan, masyarakat, dan ekonomi (Tamin, 2007). Prinsip dalam sustainable transportation meliputi aksesibilitas bagi siapa saja, keadilan sosial bagi siapa saja, berkelanjutan dalam lingkungan, kesehatan dan keselamatan, partisipasi publik dan transparansi, ekonomis dan murah, informatif dan analisis, advokasi, capacity building, dan jejaring.

Pada era informasi seperti sekarang, sangat mustahil perkembangan suatu kawasan tanpa diimbangi dengan akses dan transportasi. Itulah sebabnya, sustainable transportation menjadi bagian penting yang perlu dikemukakan setelah sustainable food. Kunci utama dalam persoalan transportasi ini adalah aksesibilitas, kenyamanan, ekonomis, dan menopang mobilisasi yang cepat dan tepat. Walaupun skenario dari pembangunan moda transportasi publik di atas dirancang begitu kompleks sebagai kebutuhan pembangunan di daerah, tentunya prinsip-prinsipnya bisa digunakan oleh seseorang pada dasarnya.

Segitiga interaksi elemen dalam membangun transportasi berkelanjutan yang meliputi lingkungan, masyarakat dan ekonomi sejatinya menunjukan gambaran akan kebutuhan masyarakat akan moda transportasi yang tidaknya ramah bagi dirinya (kenyamanan), ekonomi, tapi juga pengembangan agar semakin ramah terhadap lingkungan. Dalam skala makro, hal itu bisa saja menjadi bagian dari perencanaan kebijakan publik yang seharusnya diwujudkan oleh pemerintah, namun secara pribadi hal itu bisa diwujudkan secara sederhana, misalnya dengan menggunakan transportasi publik untuk mobilisasi jarak jauh dan menggunakan sepeda atau jalan kaki untuk mobilisasi jarak dekat. Akan tetapi, kembali pada masalah transportasi, prinsip ini akan bekerja apabila semua stakeholder dapat bekerja sama membangun moda transportasi yang ramah bagi individu secara pribadi, ekonomi, dan lingkungan.

Berikutnya adalah pengembangan dari sisi komunitas yang berkelanjutan atau sustainable community. Dalam mewujudkan sustainable living, kehidupan pribadi seseorang saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar itu, karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial (homo socius) maka kebutuhan bersosial menjadi kebutuhan utama. Bagaimana pun, tidak ada manusia yang dapat mengembangkan kehidupannya seorang diri. Meskipun potensi manusia untuk hidup seorang diri ada, namun untuk pengembangannya tidak mungkin seorang diri. Apalagi, tema utama dalam sustainable community memposisikan partisipasi masyarakat sebagai poin utama dalam mengembangkan kehidupan sosial yang bermanfaat dan memberikan kontribusi tidak hanya bagi lingkungan masyarakat tetapi juga lingkup alam. Terlebih kehidupan komunal perdesaan yang masih bisa kita lihat di berbagai pelosok Indonesia, dan belum banyak mengalami pergeseran akibat kontak budaya dengan dunia luar, sangat menjaga keharmonisan dan kesadaran akan kehidupan masyarakat yang berdampingan dengan alam. Bahkan, untuk persoalan ini, sudah banyak berdiri komunitas-komunitas yang menghimpun masyarakat yang bergerak dalam kaitannya dengan alam, misalnya komunitas pecinta hewan, vegan, komunitas petani, komunitas pecinta alam, dan lainnya.

Kampanye soal konservasi alam pun kini banyak digalakan oleh berbagai pihak melalui berbagai media dan platform, dengan kegiatan fisik atau seruan tagar dan unggahan di media sosial. Partisipasi publik ini dapat menggairahkan kehidupan sosial masyarakat yang kian hari kian terasingkan oleh teknologi dan kenyataan bahwa manusia semakin individualistis. Livermore (2012) pernah menyebutkan bahwa, “If the production of these journals were implemented on a large scale, it would also be interesting to create an online community, where the finders of the journals could come together to start a dialogue about sustainable living in their community.” Semua itu menandakan bahwa banyak kemungkinan dan cara bagi para peselancar dunia maya untuk menciptakan suatu kampanye masif, dalam hal ini persoalan sustainable living, agar dapat menjadi gerakan bersama dalam membangun kualitas hidup yang lebih baik sembari ikut menjaga kualitas alam agar tetap memadai dalam keberlanjutan.

Terakhir adalah dalam penggunaan energi dalam rangka sustainable energy. Sudah tidak bisa dipungkiri bahwa energi menjadi kebutuhan mendasar manusia modern, mulai dari bahan bakar untuk menggerakan mesin transportasi, energi untuk menjalankan peralatan elektronik, pembangkit, produksi industrial, medis, dan lainnya. Energi di sini bisa diartikan sebagai segala bentuk materi yang digunakan dalam membantu menopang kehidupan masyarakat dan mengoptimalkan setiap peningkatan yang terjadi dalam usaha atau kerja. Akan tetapi, pemanfaat energi yang tidak berkesadaran lingkungan berpotensi buruk bagi kondisi lingkungan, mulai dari sejak penambangan/ekstraktif, hingga ke penggunaan di tingkat konsumen. Guna menangani hal itu, maka sustainable energy adalah jawabannya.

Pada saat yang bersamaan, sustainable energy kerap kali berbicara soal sumber daya yang “tidak dapat habis” atau “abadi”, hal itu senada dengan yang dikemukakan dalam laman blog Routledge: Taylor & Francis Group (2022) bahwa, “Sustainable energy includes any energy source that cannot be depleted and can remain viable forever. It does not need to be renewed or replenished; sustainable energy meets our demand for energy without any risk of going bad or running out. This is why sustainable energy is the answer to our energy needs.” Poin utama dalam sustainable energy adalah tidak membahayakan lingkungan, meningkatkan risiko perubahan iklim yang mengancam, mahal, dan merusak.

Adapun keuntungan dari keberhasilan menjalankan sustainable energy, di antaranya: 1) Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat (publik); 2) Menambah lowongan pekerjaan dalam menjalankan fasilitas dan instruktur energi berkelanjutan; 3) Mengurangi jejak emisi karbon; 4) Dalam jangka panjang, biaya akan lebih murah; dan, 5) Keamanan dalam pemanfaatan energi. Memang, pemerintah sedang gencar-gencarnya untuk mengkampanyekan penggunaan energi ramah lingkungan dengan mulai beralih untuk penggunaan energi ramah lingkungan, namun yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat menjalankan pola hidup yang mampu mendukung upaya energi berkelanjutan. Misalnya, dengan melakukan tindakan yang paling sederhana seperti bijak dalam menggunakan air, kesadaran dalam pemakaian listrik, hemat dalam penggunaan energi, hemat dan bijak dalam menggunakan kendaraan pribadi, dll.

Bagaimanapun, kembali kepada persoalan awal, persoalan sustainable energy pun harus ditopang oleh berbagai pihak, karena ini bukanlah persoalan sepihak. Barangkali masyarakat sudah melakukan yang terbaik untuk menjalankan sustainable energy, dengan atau tanpa sadar, namun bila pemerintah masih menjalankan dan memanfaatkan energi yang “kotor” maka percuma saja, begitu juga sebaliknya.

Simpulan

Pelaksanaan sustainable living sejatinya mesti dilaksanakan oleh semua orang, komunitas masyarakat, negara, bahkan antarnegara. Kendati begitu, masyarakat mendapatkan peranan penting dalam melaksanakan pola ini, khususnya bagi pribadi yang enggan terbebani dengan persoalan-persoalan dorongan psikis yang mengganggu akibat dari keinginan untuk hidup yang hanya berlandaskan kepada keinginan semata. Selain bermanfaat bagi dirinya agar tidak begitu terbebani oleh dorongan konsumerisme dan keinginan semata, juga setidaknya menumbuhkan kesadaran untuk menumbuhkan (kembali) keharmonisan hidup antar manusia dan alam. Kunci dari sustainable living ini adalah sustainable commit.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//