• Berita
  • Mengukur Racun di Udara Kota Bandung

Mengukur Racun di Udara Kota Bandung

Pencemaran udara Kota Bandung diperkirakan melonjak seiring turunnya level PPKM. Kesehatan pun kembali terancam.

Kendaraan di Tol Pasteur, Bandung, Jumat (6/7/2021). Tingginya volume kendaraan membuat konsumsi BBM pun meningkat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki24 September 2021


BandungBergerak.idKoalisi bernama Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) menggugat Pemda DKI dan Pemerintah Indonesia. Gugatan dilayangkan karena tingginya polusi Jakarta yang sudah bertahun-tahun jadi keluhan mereka. Namun Jakarta bukan satu-satunya kota yang punya masalah polusi udara. Masalah pencemaran udara ini dihadapi juga oleh warga Bandung.

Kota Bandung selalu masuk dalam daftar kota besar di Indonesia yang udaranya paling berpolusi, walaupun sejauh ini tidak ada warga yang menggugat. Tiap tahunnya bahkan racun di udara Kota Bandung disinyalir meningkat seiring bertambahnya jumlah kendaraan.

Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat, Meiki W Paendong, faktor terbesar terjadinya polusi udara di Kota Bandung karena tingginya penggunaan kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi atau gas buang beracun. Apalagi Bandung sebagai destinasi wisata bagi warga luar Bandung. Kedatangan wisatawan sekalgus meningkatkan produksi polusi udara.

Belum lagi dengan sumbangan polusi dari industri dan pembakaran-pembakaran lainnya yang menghasilkan karbon dioksida.

“Transportasi kendaraan bermotor dan perindustrian punya korelasi dengan kualitas udara. Semakin tinggi aktivitasnya, semakin tinggi juga pencemarannya,” ungkap Meiki W Paendong, ketika dihubungi, Jumat (24/9/2021).

Senada dengan Miki, Alvin Pratama dan Asep Sofyan dalam Jurnal Teknik Lingkungan Volume 26 Nomor 1, ITB, April 2020, menjelaskan pencemaran udara berasal dari berbagai sumber seperti pembakaran batu bara, pembakaran BBM pada sarana transportasi (darat, laut dan udara), pembakaran pada proses industri, pengolahan limbah domestik, serta zat kimia yang langsung diemisikan ke udara oleh kegiatan manusia (misalnya membakar sampah).

Penelitian tersebut mencatat, lebih dari 70 persen sumber pencemar di Indonesia berasal dari kendaraan bermotor, terutama di kota-kota besar di Indonesia.

Riset Asian Development Bank (ADB) pada 2019 melansir bahwa Kota Bandung menjadi kota paling macet di Indonesia hingga menduduki peringkat 14 di Asia. Survei ini juga menunjukkan bahwa udara sehat di Kota Bandung hanya berlangsung rata-rata 55 hari saja setiap tahunnya.

Survei pakar lingkungan dari ITB, Puji Lestari, pada tahun 2020 juga menunjukkan terdapat lima jenis polutan yang meracuni udara Kota Bandung, yaitu partikulat atau debu (PM10), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), dan ozone (O3) yang mayoritas muncul dari penggunaan kendaraan bermotor.

Meiki pun menegaskan, tingginya polusi udara Kota Bandung diperparah dengan aktivitas industri di sekitar Bandung. Hal tersebut membuat ukuran particulate matter (PM) 2,5 dan PM 10 di kota ini sangat tinggi.

PM adalah zat beracun hasil pembakaran tidak sempurna. PM 10 berukuran 2,5-10 mikron, sedangkan PM 2,5 berukuran di bawah 2,5 mikron. Semakin kecil ukuran PM semakin berbahaya bagi kesehatan karena bisa masuk  atau menyerang pernapasan tubuh yang ujungnya akan menimbulkan berbagai macam penyakit.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) punya regulasi yang ketat dalam membatasi ukuran PM 2,5 dan PM 10, yaitu di angka 5 mikrometer per gram setiap hari di suatu wilayah.

“Regulasi kita lemah, standar sebaran PM 10 dan 2,5 kita (Indonesia) sampai 65 mikrometer per gram setiap harinya. Catatan kami (di Kota Bandung) rata-rata 40,55 dan maksimum 213 dalam kurun waktu sebulan di tahun 2019, malah pernah 223. Dan terus meningkat (per tahun),” tutur Meiki.

Pemkot Bandung diminta segera membuat kebijakan yang lebih ketat untuk membersihkan udara Kota Bandung. Salah satunya, memperketat sektor industri dan penggunaan bahan bakar fosil (bensin). Penggunaan berlebihan atas bahan bakar tersebut bahkan tidak hanya berdampak pada polusi udara, tapi juga terhadap kualitas air tanah di permukaan sehingga warga Kota Bandung sering menghadapi kesulitan mendapatkan air bersih.

Ada beberapa langkah yang dilakukan Pemkot Bandung dalam menghadapi udara beracun yang dihasilkan kesibukan industri dan lalu lintas Kota Bandung, antara lain, dengan menggalakkan sepeda.

"Kota Bandung konsen membangun budaya bersepeda. Kami (Pemkot) akan buktikan. Sehingga menghasilkan keuntungan, mengurangi kemacetan sampai polusi," tutur Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana pada acara Seminar Membangun Gerakan Budaya Bersepeda, dalam siaran pers, Rabu (21/4/2021).

Akan tetapi melihat seriusnya pencemaran udara Kota Bandung, kampanye penggunaan sepeda tampaknya tidak akan cukup. Sebagaimana yang disampaikan para pakar lingkungan, Bandung memerlukan kebijakan agresif untuk mengurangi pembakaran BBM.

Baca Juga: Tiga Tahun Oded-Yana: Ada tidak Ada Pandemi, Kebutuhan Warga Bandung yang Utama
Tiga Tahun Oded-Yana, Berkutat dengan Bom Waktu Sampah

Antrean warga mengular, tetap dalam disiplin protokol kesehatan, menunggu giliran bisa membeli nasi kota yang disediakan di Warung Sidqah.
Antrean warga mengular, tetap dalam disiplin protokol kesehatan, menunggu giliran bisa membeli nasi kota yang disediakan di Warung Sidqah.

Polusi Udara Membahayakan Kesehatan

Hasil pengukuran udara IQAir menunjukkan, pencemaran udara Kota Bandung berada di kategori sedang dengan nilai indeks kualitas udara atau air quality index (AQI) sebesar 71, Jumat (24/9/2021). Tetapi kondisi ini diperkirakan bakal terus melonjak seiring turunnya level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diikuti dengan tingginya penggunaan kendaraan bermotor.

Padahal selama PPKM berlangsung sejak Juli 2021 lalu, AQI di Kota Bandung berada di kisaran angka 50 yang berarti baik. AQI merupakan ukuran yang digunakan untuk menilai pencemaran udara di suatu daerah. Indeks ini berfokus pada dampak kesehatan yang dialami dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah udara tercemar. Semakin tinggi nilai AQI, semakin tinggi pula tingkat polusi udara dan risiko kesehatan.

Pada kesempatan yang sama, Meiki mengimbau agar masyarakat bisa mereduksi mobilitas transportasi dan kegiatan industri. Untuk mengatasinya perlu kesadaran dan pemahaman masyarakat. Sebab, pembatasan sektor industri dan transportasi akan berpengaruh pada sektor perekonomian.

Situasi ini mirip dengan Covid-19 di mana kita dihadapkan pada pilihan sulit: mengedepankan kesehatan atau ekonomi.

“Seperti laporan tadi (nilai AQI), berarti memang udaranya sudah tidak sehat. Menjelang PPKM turun level, mobilitas warga, transportasi, dan industri mulai kembali. Mau gak mau masyarakat harus menurunkan kegiatan yang menghasilkan emisi, tapi bakal memengaruhi kegiatan ekonomi. Tidak ada cara lain,” imbuh Meiki W Paendong.

Peningkatan AQI di Kota Bandung saat ini juga didukung oleh cuaca dan iklim yang mulai memasuki musim hujan dengan indeks kecepatan angin sebesar 7,2 kilometer per jam dan bakal meningkat hingga 10,8 kilometer per jam pada akhir bulan September 2021.

Bahkan, menjelang akhir bulan ini angka AQI bakal mencapai 120 yang berarti tidak sehat untuk kelompok masyarakat sensitif. Warga Kota Bandung dengan penyakit tertentu, khususnya penyakit pada organ pernapasan atau paru-paru diharapkan bersiaga.

Pencemaran Udara telah Berlangsung Lama

Pencemaran udara Kota Bandung telah berlangsung lama. Apabila dibiarkan, dan jumlah polutan yang dihasilkan akan melebihi ambang batas (threshold) yang telah ditetapkan, maka dapat mempengaruhi kesehatan manusia, kesuburan daerah pertanian dan perkebunan, bahkan dapat mempengaruhi kerusakan infrastruktur untuk jangka waktu yang lebih lama.

Alvin Pratama dan Asep Sofyan memaparkan temuan CAI-Asia (2009) yang menyatakan hasil pemantauan kualitas udara yang dilakukan di 10 kota besar di Indonesia pada tahun 2008 menunjukan kualitas udara yang tidak sehat dengan masing-masing selama 18 hari, 9 hari, 1 hari dan 6 hari berturut-turut untuk Jakarta, Medan, Surabaya, Bandung dan Pontianak.

Hasil penelitian lain, selama 10 tahun partikulat halus berukuran 10 mikrom (PM10) di Kota Bandung mempunyai porsi yang cukup tinggi. Studi ini menyatakan bahwa konsentrasi partikulat halus di kota Bandung sudah termasuk kategori membahayakan karena melebihi ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu 20 μg/m3.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//