Risiko Besar di Balik Praktik Membakar Sampah di TPA Cicabe
Darurat sampah masih berlanjut di Kota Bandung. Pemkot Bandung menempuh berbagai cara termasuk cara paling berisiko, yaitu membakar sampah.
Penulis Iman Herdiana15 Mei 2023
BandungBergerak.id - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terlihat kewalahan menghadapi lonjakan sampah akibat terhambatnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat. Berbagai cara dilakukan agar sampah tak menggunung, termasuk pembakaran. Jika gerakan pemilahan sampah seperti kurangi, pisahkan, manfaatkan (Kang Pisman) sejak awal gencar dilakukan, maka lonjakan sampah di TPS-TPS Kota Bandung seperti yang terjadi sekarang ini mungkin tidak akan terjadi.
Para pegiat lingkungan sudah lama mengingatkan pentingnya menjalankan gerakan pemilahan sampah dengan konsep nol sampah (zero waste). Namun pemerintah tampaknya ingin mengambil cara-cara instan dan lebih tergiur dengan teknologi insinerator limbah ke energi (waste to energy) yang bahayanya jauh lebih besar.
Di Kota Bandung pun demikian. Banyak insinerator atau tungku bakar sampah yang dijalankan di TPS-TPS. Insinerator ini diklaim berteknologi tinggi. Meski demikian, setinggi apa pun teknologinya, insinerator tetap menghasilkan gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Metode pembakaran sampah juga diterapkan di TPA Cicabe, TPA Darurat yang menampung sampah Kota Bandung selama krisis sampah sekarang ini. Plh Wali Kota Bandung Ema Sumarna mengatakan TPA Cicabe akan didorong untuk mengunakan sistem pembakaran seperti di TPS Ciwastra. Dengan sistem tersebut, ia mengklaim satu unit alat pembakar bisa mengolah 4-8 ton sampah per hari.
"Kalau di sana dipasang 2-3 unit artinya mulai tereduksi 24-30 ton per hari. Kemudian sisanya baru dengan sanitary landfill, tapi lifetimenya pendek. Memang pembakaran itu yang paling efektif asal suhunya 1.000 derajat celcius," ujar Ema, dikutip dari siaran pers.
Ema juga mengklaim bahwa metode pembakaran di TPS Ciwastra sudah tersertifikasi. Meski demikian, tidak dijelaskan secara spesifik soal sertifikat yang dimaksud.
Yang jelas, berbagai metode pembakaran akan menyumbangkan polusi yang memicu pemanasan global, selain mencemari udara dan lingkungan. Penolakan terhadap pembakaran sampah melahirkan Aliansi Global untuk Alternatif Insinerator (GAIA) yang getol menyuarakan gerakan pengelolaan sampah berkelanjutan tanpa insinerator.
GAIA menyatakan bahwa pengelolaan dengan metode pengomposan, daur ulang, dan program pengurangan limbah merupakan solusi dalam menghadapi krisis sampah global saat ini. Solusi ini tidak hanya mengurangi jumlah limbah yang dikirim ke TPA atau insinerator, tetapi juga menciptakan lapangan kerja lokal dengan hadirnya komunitas pemulung dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Selanjutnya, pengelolaan sampah mesti memberdayakan masyarakat untuk mengelola sampah mereka.
“Insinerator WtE bukanlah solusi untuk permasalahan mendesak terkait limbah dan energi. Mereka melepaskan hampir 1,1 ton karbon dioksida (CO2) ke atmosfer untuk setiap ton sampah yang dibakar. Dalam banyak penelitian, insinerator mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca daripada pembangkit listrik tenaga batu bara,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Bersih GAIA Asia Pasifik Yobel Novian Putra, dikutip dari keterangan resmi.
Baca Juga: Pengangkutan Sampah di TPS Kota Bandung Terkendala Alat Berat
Darurat Sampah, Pemkot Bandung Seharusnya Menjalankan TPS Terpilah
Bandung Darurat Sampah, Reaktivasi TPA Cicabe Kurang Sosialisasi kepada Warga Setempat
Emisi akibat pembakaran sampah juga menimbulkan risiko kesehatan yang serius bagi masyarakat sekitar, memancarkan polutan berbahaya seperti dioksin, furan, dan logam berat, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan, kanker, dan gangguan perkembangan.
Tak hanya itu, metode pembakaran sampah menimbulkan biaya finansial. Pakar sampah ITB Enri Damanhuri (alm) pernah membandingkan biaya operasional insinerator dengan ongkos membuang sampah ke TPA Sarimukti.
Menurutnya, biaya operasional insinerator yang sederhana bisa di atas 150.000-200.000 rupiah per ton (meliputi solar sebagai bahan bakar dan lainnya). Dalam sehari, Kota Bandung menghasilkan sampah antara 1.000 hingga 1.500 ton (BPS Kota Bandung). Dengan pengadaan solar 200.000 rupiah, maka untuk membakar 1.500 ton sampah tersebut memerlukan sekitar 300.000 juta per hari. Biaya ini belum termasuk dengan pengadaan mesin insineratornya.
Sementara itu, biaya pembuangan sampah ke TPA Sarimukti sekitar 70.000 – 80.000 rupiah per ton. Jika dikalikan 1.500 ton sampah Kota Bandung per harinya, maka hasilnya 120 juta rupiah. Ongkos ini belum termasuk biaya transportasi untuk truk-truk pengakut sampah yang berkapasitas 4 ton yang ongkos angkutnya bisa mencapai lebih dari 100.000 rupiah per ton. Sehingga jika dikalikan dengan 1.500 ton sampah Kota Bandung per hari, maka biaya ongkos truk ini Rp 150 juta.
Dari hitung-hitungan kasar itu bisa dilihat bahwa biaya menggunakan insinerator tetap lebih mahal. Hitung-hitungan ini belum termasuk dengan dampak pencemaran udara dan pemanasan global yang tak ternilai harganya.