• Berita
  • Energi Listrik Rasa Kopi Gununghalu, Mengolah Alam Tanpa Harus Merusak Lingkungan

Energi Listrik Rasa Kopi Gununghalu, Mengolah Alam Tanpa Harus Merusak Lingkungan

Warga kampung Tangsi Jaya, Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat menikmati listrik dari aliran sungai. Bukti bahwa listrik bisa dikelola secara komunal.

Produk kopi yang dipasarkan oleh koperasi Rimba Lestari, Kampung Tangsi Jaya, Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Rabu, 24 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul29 Januari 2024


BandungBergerak.id - Kemandirian energi bukan mustahil diciptakan secara komunal. Warga kampung Tangsi Jaya, Desa Gununghalu, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat menikmati listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sejak 2007. Pemanfaatan PLTA mini yang memanfaatkan aliran sungai ini dikelola koperasi pengolahan kopi. Mereka mampu mengatasi kebutuhan listrik masyarakat setempat tanpa tergantung PLN.

Pada rentang tahun 1990-an, Kampung Tangsi Jaya ini belum dialiri listrik. Masyarakat yang mayoritasnya petani pun memanfaatkan teknologi sederhana untuk mendapatkan listrik melalui kincir air. Rumah-rumah masyarakat memang kebanyakan berada di sepanjang sungai Ciputri.

Imas Wiwi (48 tahun) bercerita, ayahnya dulu yang mengelola kincir air berbahan kayu sebagai sumber listrik di rumah. Namun listrik dari kincir angin tak sanggup menghidupkan alat-alat elektronik, hanya mampu sebatas penerangan rumah saja.

“Sedikit, terus mati wae. Pakai (masak) nasi gak kuat, setrika gak kuat. Cuma penerangan aja. Penerangan juga gak normal,” cerita Imas Wiwi (48), warga kampung Tangsi Jaya saat ditemui BandungBergerak.id, Rabu, 24 Januari 2024.

Debit air Sungai Ciputri sangat memadai untuk dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hidro. Masyarakat kemudian meminta dana hibah kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. Anggaran pun cair dan pembangunan PLTMH dimulai pada 2007.

Imas menerangkan, sejak 2007 warga Tangsi Jaya bisa menikmati listrik dan melakukan pekerjaan rumah lebih efisien dengan penggunaan alat-alat elektronik. Imas menyebut, memang listrik PLN juga sudah mengalir ke kampungnya. Namun mayoritas warga lebih memilih listrik dari PLMTH karena biaya yang murah dan tegangan listrik yang lebih stabil.

“Ya seneng. Masak bisa pakai listrik, terus setrika pakai listrik, mesin cuci pakai listrik. Sangat terbantu. Biaya juga hemat. Iya (kalau dibanding sama PLN). Listrik yang masuk dari PLN juga kecil, tegangannya kecil. Mesin cuci gak kuat. Muter sih muter tapi pelan muternya,” ungkap ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai petani kopi.

Setiap warga yang menggunakan listrik dari PLMTH di Tangsi Jaya membayar iuran 25.000 rupiah per bulan ke Koperasi Rimba Lestari Gununghalu. Iuran ini untuk biaya perawatan peralatan dan insentif operator PLTMH.

Plang Tempat Pengolahan Kopi Koperasi Rimba Lestari yang menggunakan energi terbarukan PLTMH, Kampung Tangsi Jaya, Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Rabu, 24 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Plang Tempat Pengolahan Kopi Koperasi Rimba Lestari yang menggunakan energi terbarukan PLTMH, Kampung Tangsi Jaya, Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Rabu, 24 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Menjelma Koperasi dan Mensejahterakan

Setelah setahun dikelola oleh Kelompok Pengelola PLTMH, kelompok ini kemudian berubah menjadi Koperasi Rimba Lestari Gununghalu pada 2008. Kini, dari 100 keluarga (KK) di Kampung Tangsi Jaya, 80 KK menggunakan listrik PLTMH dengan daya sebesar 450 watt di masing-masing rumah.

Sekretaris Koperasi Rimba Lestari Gununghalu Toto Sutanto menyebutkan, PLTMH ini menjadi percontohan di Jawa Barat dan kerap menjadi tujuan kunjungan dan pelatihan. PLTMH ini memiliki turbin untuk debit air 400 liter per detik. Adapun listrik yang dihasilkan dari turbin sebesar 20 KW, sedangkan yang dialirkan oleh generator ke rumah-rumah sebesar 18 KW.

“Manfaatnya sangat banyak. Kan dulu itu tidak ada penerangan sebelum ada PLTMH dan sekarang warga punya penerangan, terus di sini pun dulu tidak ada kayak magic com, kulkas, pesawat TV juga tidak ada, sekarang sudah ada. Terus murid-murid di sini itu belajar kalau malam jadi enak, karena penerangan sudah ada,” terang Toto.

Sebelum ke masyarakat, listrik dari PLTMH dialirkan terlebih dulu ke Koperasi Rimba Lestari yang bergerak di bidang pengolahan kopi. Meski kebutuhan listrik untuk peralatan pengolahan kopi cukup tinggi (12 KW), tetapi beban puncak penggunaannya hanya pada rentang Maret dan April saat sedang panen raya. Sehingga, masyarakat tetap bisa menikmati listrik secara optimal.

Tidak semua masyarakat dikenai tarif biaya listrik. Fasilitas umum seperti sekolah dan masjid tidak dikenai biaya. Masyarakat lansia pun demikian. Hal itu ditengarai karena PLMTH merupakan hibah pemerintah, maka sebenarnya merupakan milik masyarakat. Koperasi hanya mengelola aset yang dihibahkan oleh pemerintah.

Selain aset PLTMH, pada tahun 2018 Koperasi Rimba Lestari Gununghalu mendapatkan hibah aset peralatan lengkap pengolahan kopi dari Mitsui & Co, sebuah perusahaan Jepang. Koperasi ini memiliki mesin pemecah cangkang kopi, grinder, rosting, dan lainnya. Toto menyebut, hibah itu bisa didapatkan berkat kerja sama dengan salah satu universitas. Koperasi pun mendapat pendampingan selama dua tahun.

Koperasi Rimba Lestari Gununghalu memasarkan kopi dengan nama brand “Tangsi Wangi”. Adapun kopi yang diolah merupakan kopi petani para anggota koperasi yang berjumlah sekitar 89 orang. Petani kopi di luar koperasi diperkenankan juga menjual dan mengolah kopinya di koperasi ini.

“Jadi enaknya juga sih dengan ada koperasi. Dulu kan kalau jual kopi itu susah, harus ke tengkulak. Ke tengkulak mainnya harus banyak. Kalau ke koperasi misalnya petani punya satu-dua kilo kita tampung di sini bisa,” ungkap Toto saat ditemui di Koperasi Rimba Lestari.

Operasional PLTMH erat kaitannya dengan kelestarian alam. PLTMH sangat bergantung dengan air. Makanya Toto mewanti-wanti kepada masyarakat agar menjaga kelestarian hutan dan mata air, yaitu kawasan hulu yang mengalir ke Sungai Ciputri.

“Nah, kita jadi punya modal ke warga untuk lingkungan sekitarnya pun dijaga. Kalau misalkan hutannya rusak atau gundul otomatis air kan kering, otomatis PLTMH tidak beroperasi. Itu buat modal kita juga,” ungkap Toto.

Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi untuk Transisi Energi
Ridwan Kamil ke Amerika Serikat Membahas Energi Terbarukan, Ini Catatan Miris Lingkungan Jawa Barat
Guru Besar ITB: Indonesia Perlu Segera Mengurangi Penggunaan Energi Kotor

Aliran Sungai Ciputri yang dimanfaatkan PLTMH untuk mengkonversi listrik,  Kampung Tangsi Jaya, Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Rabu, 24 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Aliran Sungai Ciputri yang dimanfaatkan PLTMH untuk mengkonversi listrik, Kampung Tangsi Jaya, Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Rabu, 24 Januari 2024. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Bergantung pada Alam dan Paling Mudah Direplikasi

Transisi energi dari energi berbahan bakar fosil ke energi berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan menjadi isu krusial dewasa ini. Bumi semakin panas, suhu atmosfer melebihi 1,5 derajat dan memicu perubahan iklim yang mengancam kehidupan. Penggunaan energi fosil (BBM dan batu bara) menjadi pangkal persoalan peningkatan gas rumah kaca. Namun, penggunaan energi terbarukan pun sangat bergantung dengan lingkungan yang terjaga dan seimbang.

Dosen Teknik Kimia Swiss German University Bidang Energi dan Lingkugan Irvan Kartawiria menyebutkan, keberlanjutan Pembangkit Listrik Tenaga Micro Hidro (PLTMH) sangat mengandalkan mata air dari hutan. Maka, aspek penjagaan lingkungan menjadi keniscayaan. Jika pembangunan dilakukan secara serampangan dengan membuka lahan baru dan membabat hutan, maka akan berpengaruh pada sediaan air sebagai nyawa PLTMH.

Pembangunan yang membabat hutan juga menghilangkan daerah resapan air. Kalaupun terjadi hujan, tidak akan ada resapan air lagi.

“Mereka sangat tergantung dengan itu karena meskipun hujannya tinggi dia mengalirnya tidak menghasilkan mata air, malah dia akan mengalirkan di atas permukaan tanah, dan itu tidak masuk ke sungai dengan benar gitu. Jadi lari airnya ke mana-mana. Itu kan air tidak tertampung dan tidak menjadi energi untuk dikonversi,” terang Irvan saat ditemui BandungBergerak.id di Bandung.

Di samping itu, Irvan juga berpendapat, PLTMH merupakan energi terbarukan yang paling mudah direplikasi dan tidak membutuhkan biaya yang besar. Banyak bengkel-bengkel lokal yang sudah mampu membuat dan memfabrikasi turbin. Mesinnya pun sederhana, bisa menggunakan generator dengan fanbelt.

“Jadi sebetulnya secara biaya dia juga gak gede-gede amat. Kita mungkin gak liatnya sebagai investasi ya, tapi lebih ke pembiayaan awal saja. Karena kalau di desa atau di daerah dengan Bumdes, oke dia akan ngecharge untuk warganya, tapi kan biayanya lebih untuk perawatan daripada untuk “balik modal” gitu. Tidak komersial, tidak dijadikan sarana untuk pendapatan desa,” menurut Irvan.

Diperkirakan modal kontruksi PLTMH untuk kebutuhan listrik satu kampung berkisar 100 hingga 200 juta rupiah. Keunggulan lain PLMTH adalah sistem operasional yang cukup sederhana.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Energi dan Proyek Strategis Nasional

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//