• Indonesia
  • Sikap Presiden Jokowi Berpihak Dalam Pemilu Bisa Merusak Demokrasi

Sikap Presiden Jokowi Berpihak Dalam Pemilu Bisa Merusak Demokrasi

YLBHI menyatakan sikap presiden soal pemilu ini sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang. DPR, partai, dan Bawaslu jangan diam.

Presiden Jokowi meresmikan Tol Cisumdawu di Twin Tunnel Sumedang, Selasa (11/7/2023). Tol sepanjang 61,6 KM ini selesai dibangun dengan anggaran 18,3 triliun rupiah. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana26 Januari 2024


BandungBergerak.id - Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan konroversial terkait Pemilu 2024. Pada Rabu, 24 Januari 2024, Jokowi menyebut bahwa seorang presiden hingga para menteri ‘boleh kampanye dan boleh berpihak selama gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2024’.

Atas pernyataan tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan, klaim Presiden Jokowi jika presiden dan para menteri boleh berpihak dan berkampanye adalah sikap berbahaya dan menyesatkan yang akan merusak demokrasi dan negara hukum kita.

“Jika dibiarkan sikap ini akan melegitimasi praktik konflik kepentingan pejabat publik, penyalahgunaan wewenang, dan fasilitas negara yang tegas dilarang,” demikian keterangan resmi YLBHI, diakses Kamis, 25 Januari 2024.

Pernyataan Jokowi, lanjut pernyataan YLBI, bertentangan dengan Pasal 281 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu yang  menegaskan jika “Pejabat Negara, Pejabat Struktural, Pejabat Fungsional dalam Jabatan Negeri, serta Kepala Desa dilarang membuat Keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.

Termasuk ketentuan Pasal 283 yang menegaskan bahwa pejabat negara serta aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada peserta pemilu, sebelum, selama, dan sesudah kampanye.

Selain itu, YLBHI menyatakan sikap presiden juga bentuk pelanggaran terhadap TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Etika Politik dan Pemerintahan mengharuskan setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

“Etika ini harus diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya,” kata YLBHI.

YLBHI juga menyebut sikap presiden menunjukkan pengabaian presiden terhadap aturan main demokrasi khususnya aturan di dalam UU Pemilu, terkait pentingnya netralitas pejabat negara dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur adil.

Sikap tersebu menunjukkan konflik kepentingan presiden yang memperbolehkan dirinya, para menteri maupun pejabat publik di bawahnya melakukan pelanggaran prinsip pemilu dengan legitimasi praktik konflik kepentingan dirinya sendiri karena anaknya menjadi salah satu pasangan calon presiden maupun para pejabat publik lainnya yang memiliki kepentingan dalam Ppmilu 2024.

“Hal ini jelas bentuk penyalahgunaan wewenang oleh presiden sebagai kepala negara maupun kepala pemerintah yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu yang seharusnya jujur, netral, independen, dan adil,” kata YLBHI.

Menurut YLBHI, sikap yang presiden tunjukkan tidak boleh dibiarkan dan harus segera dikoreksi. Jika tidak, hal ini akan menjadi legitimasi praktik penyalahgunaan wewenang pejabat publik, korupsi program, anggaran, fasilitas negara yang mendorong adanya kecurangan pemilu, pengabaian prinsip netralitas aparat negaram dan konflik kepentingan. 

Baca Juga: Populisme Pragmatis pada Politik Indonesia dalam Rivalitas Jokowi-Prabowo
Bawa-bawa Jokowi, Alat Peraga Kampanye PSI Bertebaran di Tiang Listrik, PJU, dan Pohon di Kota Bandung
Putusan 90 Kontroversial Mahkamah Konstitusi Merugikan Orang Muda, Kecuali Anaknya Presiden

Lembaga pengawas pemilu maupun wakil-wakil partai politik yang berkuasa di DPR yang saat ini juga berkontestasi dalam pemilu juga tidak boleh diam dan membiarkan. Bawaslu maupun DPR mestinya menggunakan kewenangannya untuk mencegah dan menindak hal tersebut. YLBHI pun mendesak:

1. Presiden Joko Widodo untuk berhenti melakukan praktik buruk pelanggaran Konstitusi dan demokrasi serta etika kehidupan berbangsa dan bernegara;

2. DPR RI tidak diam saja dan segera menggunakan kewenangannya melakukan pengawasan melalui hak angket atau interpelasi atau menyatakan pendapat terhadap tindakan pPesiden yang semakin ngawur menyalahgunakan kewenangannya untuk berpihak pada salah satu pasangan capres cawapres yang mana hal tersebut melanggar prinsip netralitas pejabat publik dalam pemilu;

3. DPR RI untuk segera menindaklanjuti adanya laporan terkait pemakzulan Jokowi karena diduga telah melanggar konstitusi dan perbuatan tercela sebagai presiden;

4. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia untuk segera bekerja melakukan pengawasan dan menindak tegas secara independen dan bertanggung jawab terhadap tindakan presiden maupun pejabat publik yang diduga kuat melanggar UU Pemilu;

5. Menuntut kepada pejabat negara untuk tunduk patuh terhadap aturan main demokrasi dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemilu yang bersih, jujur dan adil.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut artikel-artikel tentang Pemilu 2024 atau Pilpres 204 dalam tautan ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//