• Berita
  • Putusan 90 Kontroversial Mahkamah Konstitusi Merugikan Orang Muda, Kecuali Anaknya Presiden

Putusan 90 Kontroversial Mahkamah Konstitusi Merugikan Orang Muda, Kecuali Anaknya Presiden

Putusan Mahkamah Konstitusi hanya untuk orang muda yang punya privilese dan pernah atau menjabat kepala daerah. Bukan untuk semua orang muda.

Mahasiswa mengecam kepemimpinan Presiden Joko Widodo di penghujung masa kekuasaannya, termasuk soal putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi, di depan gedung DPRD Jabar, Bandung, 20 Oktober 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul18 November 2023


BandungBergerak.idPutusan ‘90’ kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi “lampu hijau” bagi Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai wakil presiden (cawapres) “dinilai” berdampak baik menciptakan kesempatan bagi politisi muda. Padahal putusan tersebut perlu ditelaah lebih cermat dan sama sekali tidak mengakomodir anak muda.

Hal tersebut terungkap dalam Diskusi Publik “Quo Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi” yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar), di Ruang Audio Visual Fakultas Teknik Unpar, Bandung, Kamis, 16 November 2023.

Dosen FH Unpar Valerianus B. Jehanu menyampaikan, tiga permohonan uji materiil di MK mengenai batasan usia diputuskan oleh MK berada di wilayah kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Namun putusan Anwar Usman pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 atau disebut putusan 90 menunjukkan perubahan pendirian MK dalam waktu singkat. Putusan ini menyatakan, “berusia paling rendah 40 (empat puluh tahun) atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

Valeri menilai, putusan tersebut tidak mengubah batas usia capres/cawapres sebab jika diubah menjadi 35 tahun maka tidak adil untuk usia dibawahnya dan seterusnya. Batas usia 40 bagi capres/cawapres dianggap menghambat kiprah politisi muda di nasional.

“Secara materi, sebetulnya terhadap kebutuhan untuk mengakomodasi politisi muda saya kira itu perlu bagi konteks quo vadis demokrasi. Saya kira memang perlu diberikan panggung, tapi caranya gak gitu, caranya tidak seperti yang kita saksikan bersama,” terang Valeri saat menyampaikan materi pembuka diskusi publik tersebut.

Selain Valeri, hadir pula pembicara lainnya, yaitu Titi Anggraini Anggota Dewan Pembina Perludem dan Bivitri Susanti Dosen STH Jentera melalui Zoom, Lasma Natalia Direktur LBH Bandung, Julius Ibrani Ketua BPN PBHI, Al Araf Ketua CENTRA Initiative. Diskusi ini dimoderatori oleh Eric Cihanes, alumni FH Unpar

Valeri mengakui memang penting mendorong partisipasi orang muda dalam politik. Sebagian orang muda menilai praktik politik “kotor” sehingga semakin tidak mau bergabung. Ia menyinggung, salah satu ketua partai yang menyebut bahwa 2019 adalah momen orang muda untuk tampil di panggung politik. Namun yang tidak dipersiapkan oleh partai adalah bagaimana mendorong partisipasi orang muda di kancah nasional dengan cara organik dan bermartabat.

“Kalau prosesnya betul-betul organik, bertahap, maka kita bisa terima bahwa pencalonan orang presiden kemarin, misalnya, akibatnya itu tidak seperti yang kita rasakan seperti ini. Itu begitu terasa bahwa prosesnya tidak organik,” lanjut Valeri.

Ia menyinggung hal tersebut sebab sebelum pencalonannya yang kontroversial menjadi cawapres, Gibran juga tidak melewati proses kandidasi di internal partai secara organik. Sebab waktu itu, sudah ada calon yang akan diusung oleh PDIP menjadi Walikota Sola. Di tengah jalan Gibran ingin mencalonkan diri, sayangnya partai bersedia mengakomodasi hal tersebut.

“Kalau cara tampilnya kayak gitu ya, membajak di tengah jalan saya kira itu juga tidak cukup sehat. Kita perlu mendorong partisipasi pemuda dalam politik, tapi caranya tentu dengan cara-cara yang baik,” tegasnya lagi.

Dosen Hukum Tata Negara ini menyebut, merujuk pada Survei Litbang Kompas, bahwa referensi usia muda dianggap efektif untuk mendulang suara. Sayangnya survei tersebut menyebut berkebalikan. Angkanya hanya 1,1 persen terkait alasan orang muda memilih karena usia. Artinya, jika pencalonan Gibran dinilai sebagai sosok representatif orang muda, tidak signifikan.

“Tidak signifikan. Anak muda itu rasional. Apa yang dipertontonkan sekarang justru menampilkan wajah sosoknya muda, packaging-nya muda, tapi mendukung politik status quo dengan cara-cara tidak organik tadi,” terangnya lagi. 

Suasana Diskusi Publik tentang Quo Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi di FH Unpar, Bandung, Kamis, 16 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Suasana Diskusi Publik tentang Quo Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi di FH Unpar, Bandung, Kamis, 16 November 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penambahan Klausa “Sedang”

Julius Ibrani dari PBHI mengungkap, pihaknya menduga banyak tindakan yang melanggar dari putusan “90” dimulai dari proses administrasi, pelanggaran etik seperti membocorkan perkara, konflik kepentingan, penambahan klausa “sedang” pada putusan, hingga intervensi. Alur ini yang dinilai seharusnya dinyatakan legal errors, sebab proses yang tidak sah akan melahirkan putusan yang tidak sah pula.

Julius mencatat pelanggaran Anwar Usman seperti adanya konflik kepentingan sebab ia merupakan paman dari Gibran, ia juga mempengaruhi dan mengintervensi hakim lain untuk setuju dan menjamin bahwa Gibran tidak akan menggunakan putusan sebagai tiket menjadi cawapres. Namun yang juga penting adalah adanya dugaan penambahan klausa “sedang” padahal tidak ada pada permohonan, tidak dibahas dalam persidangan, dan tidak disetujui dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Klausa “sedang” pada putusan ‘90’ demikian penting sebab dimaknai siapa pun yang baru saja disumpah menduduki jabatan sebagai kepala daerah, saat masa pemilu bisa dan sah menjadi capres/cawapres. Makanya ia menyebut seharusnya persoalan substantif penambahan klausa “sedang” ini dinyatakan legal errors.

Hal ini bukan untuk membatalkan putusan, tapi menyatakan bahwa ada proses yang tidak sah sehingga mengharuskan putusan tersebut tidak sah. Dengan demikian bisa dilakukan rejudicial review, pemeriksaan ulang bukan terhadap putusan – sebab tidak ada mekanismenya – tapi terhadap klausa yang dikabulkan MK.

“Hal yang substantif ini harus kalian kejar, kenapa? Ini yang jadi titik bangkitnya nepotisme. Makanya kalau kita baca amar putusannya, jangan terbalik. Jadi bacanya bukan minimal berusia 40 tahun atau pernah/sedang, bukan. Karena 40 tahunnya gak berubah. Jadi amar ini harus dibaca kepala daerah yang belum 40 tahun boleh. Jadi premis utamanya itu kepala daerahnya, bukan usianya,” terang salah satu pelapor Anwar Usman di MKMK ini.

Julius juga menegaskan bahwa putusan ‘90’ bukan soal orang muda. Ornag muda jangan mau dikomodifikasikan untuk kepentingan sebuah keluarga. Putusan itu soal kepala daerah yang muda, yang pada konteks ini kebetulan merupakan anak presiden. Persoalan usia tidak pernah berubah. Ia menegaskan, persoalan ini menjadi titik nepotisme dan dinasti politik.

Baca Juga: Kontroversi Anwar Usman Meruntuhkan Kepercayaan Publik pada Mahkamah Konstitusi
Membaca Kerapuhan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2024
Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Gugatan UU Cipta Kerja Membahayakan Demokrasi dan Konstitusi

Putusan yang Merugikan Orang Muda

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti menyebutkan keprihatinan dan kegeramannya soal kondisi demokrasi dan negara hukum Indonesia yang mundur. Hal ini disebabkan oleh keinginan dan nafsu kekuasaan dari orang-orang yang sedang berkuasa. Senada dengan Julius, Bivitri juga menyebutkan bahwa putusan 90 tidak menguntungkan anak muda.

“Kalau misalnya ada suara-suara kalau putusan ini bagus untuk anak muda, salah. Karena putusan 90 tidak menurunkan batas usia, tetap 40 tahun. Jadi hanya anak muda yang pernah terpilih dalam pemilu yang bisa maju,” ungkapnya.

Ia menegaskan, hanya orang muda yang punya privilese yang bisa menjadi capres/cawapres, yang pernah menang dalam kontestasi pemilu. Ia juga menyinggung, bahwa Gibran yang dapat maju menjadi cawapres, saat mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo pun dipaksakan.

Ia menyebut, akibat nepotisme ini, bukan menjadi keuntungan bagi orang muda, tapi merugikan. Putusan ini dinilai melahirkan normal baru dan seakan-akan mengafirmasi bahwa orang muda adalah generasi yang “instan”.

Pascaputusan itu, MK dinilai telah rusak, tidak independen, dan merusak bangunan negara hukum. Sebab MK seharusnya adalah penjaga konstitusi. Publik pun berkurang kepercayaannya pada MK. Padahal, waktu-waktu sibuk MK adalah saat pemilu dan pascapemilu ketika adanya sengketa-sengketa pemilu dan harus diputuskan oleh MK. Secara tegas juga ia menyebut bahwa putusan itu telah melegalkan nepotisme dan politik dinasti.

Direktur LBH Bandung Lasma Natalia menambahkan bahwa sebenarnya persoalan demokrasi yang semakin mundur di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. Lahir produk-produk hukum yang berpihak pada oligarki untuk melanggengkan kekuasaan.

Sayangnya saat pengajuan uji materi UU yang merugikan masyarakat, seperti Cipta Kerja, Minerba, dan lainnya selalu tidak dimenangkan oleh masyarakat. Makanya Lasma menduga MK tidak lagi independen dan imparsial. Ia mempertanyakan lalu bagaimana nasib demokrasi di masa yang akan datang saat pengajuan review UU maupun sengketa pemilu dengan keadaan “penjaga konstitusi” yang seperti ini. 

“Konteks yang harus kita catat ini bukan satu hal yang begitu saja terjadi, tapi sudah dibangun dan akan membangun apa yang terjadi di lima sampai 10 tahun ke depan,” terang Lasma.

Lasma menyebut bahwa masyarakat perlu mencari gagasan alternatif tentang sistem demokrasi masyarakat sipil. Sebuah sistem yang tidak mengikuti oligarki, melainkan sebuah sistem yang muncul dari rakyat, versi rakyat. Ia juga menegaskan bahwa masyarakat sipil perlu memperkuat partisipasi publik.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain Mahkamah Konstitusi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//