• Opini
  • Menuju Mahkamah Kebijaksanaan dan Mahkamah Konsistensi

Menuju Mahkamah Kebijaksanaan dan Mahkamah Konsistensi

Pekerjaan Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan yang paling menggoda iman mungkin adalah terkait dengan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden.

Sidik Permana

Freelancer, pemilik akun Instagram si.per_multiverse

Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tempat melakukan uji materi peraturan perundang-undangan. (Sumber: MKRI)

27 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Pasca reformasi, wajah ketatanegaraan dan pemerintahan Republik Indonesia mengalami perubahan drastis. Salah satu wujud dari perubahan tersebut adalah lahirnya lembaga baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) atau dikenal juga sebagai the guardian of constitution. Melalui instruksi konstitusi Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, amendemen ketiga, yang berbunyi, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Meskipun begitu, MK tidak luput dari permasalahan dan kontroversi. Beberapa yang menyita perhatian publik di antaranya pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi oleh M. Guntur Hamzah dalam penerapan prinsip integritas, penolakan permohonan Rizal Ramli terkait penghapusan presidential threshold atau ambang batas presiden, putusan MK terkait dengan uji materi UU KPK, lalu persoalan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK yang dinilai inkonstitusional menurut Korupsi Watch Indonesia yang berakhir dengan penolakan permohonan karena tidak beralasan hukum, pengoreksian UU No. 2 Tahun 2020 atau dikenal dengan Perppu Corona, dan putusan MK terkait UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional bersyarat sehingga memaksa peraturan ini diperbaiki dalam kurun waktu 2 tahun sejak putusan dibacakan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenal dan mengkritisi sosok MK ini demi menjaga fungsionalitas dan muruahnya sebagai lembaga peradilan di Indonesia.

Baca Juga: Keputusan Mahkamah Konstitusi Soal Uji Materi UU Minerba Membahayakan Lingkungan dan Masyarakat
Penolakan PTUN Bandung terhadap Gugatan SK UMK Jabar Bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi
Menelaah Makna Kemerdekaan, Kecerdasan, dan Kekuatan

Kewenangan dan Tanggung Jawab Mahkamah Konstitusi

Berbicara mengenai peran Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kita mesti melihat kembali kewenangan yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, yang kemudian turun ke Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, kewenangan MK ialah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutuskan pembubaran partai politik; dan, d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pada Pasal 10 ayat (2), MK juga berperan untuk memberi keputusan yang didasarkan pada pendapat DPR mengenai keberlanjutan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap, dan pidana lainnya, termasuk perbuatan tercela, dan/atau juga tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai instruksi UUD NRI Tahun 1945.

Tidak hanya itu, MK memiliki tanggung jawab dan akuntabilitas yang mesti dilaksanakan secara konsekuen. Dalam Pasal 12 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa MK bertanggung jawab untuk mengatur organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih. Bentuk tanggung jawab lainnya, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13, adalah mengumumkan laporan secara berkala kepada masyarakat secara terbuka terkait dengan permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus; dan, pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.

Harga Sebuah Sinergitas

Sebagai pembukaan, ingatlah bahwa MK sama dengan lembaga tinggi lainnya di Indonesia secara kekuasaan, karena dilandaskan pada kewenangan yang diberikan oleh konstitusi. Kewenangan dasar itu telah disebutkan dalam Pasal 24C UUD NRI dan telah disinggung juga dalam UU MK di pembahasan sebelumnya. Hanya saja, MK tergolong ke dalam ranah peradilan atau yudikatif. Tetapi, ada sebuah catatan menarik terkait kewenangan MK dalam pengujian UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, yang merupakan salah satu kewenangan yang dimilikinya. Catatan tersebut adalah terkait dengan persinggungan antara putusan sebagai dampak wewenang MK dengan implementasi putusan oleh Mahkamah Agung (MA). Persinggungan tersebut memunculkan kekhawatiran adanya disharmoni wewenang antar lembaga negara.

Sebagai contoh, putusan MK terkait eksistensi pidana mati, sifat melawan hukum materiel pada tindak pidana korupsi, dan lainnya, yang menjadi persoalan adanya putusan MK yang tidak diikuti oleh MA. Suhariyanto (2016) menjelaskan bahwa fenomena praktik peradilan di mana tidak terlaksanakannya atau tidak diikutinya putusan MK oleh MA ini menimbulkan sebuah asumsi bahwa meskipun sifat putusan MK yang final dan mengikat secara umum (erga omnes) serta setara dengan undang-undang (negatif legislator), ternyata tidak serta merta dapat mengikat atau dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Hal ini menjadi persoalan eksekutabilitas yang menarik untuk dicerna karena berhubungan dengan peran dan kedudukan MK.

Ketika melihat MK berwenang untuk menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945, sedangkan MA menguji peraturan di bawah UU, rasanya muncul kesan bahwa MK berada di atas MA secara struktural. Pandangan ini tentu saja terbantahkan dengan fakta bahwa semua lembaga tinggi negara setara secara kekuasaan di mata konstitusi yang mana kewenangannya sudah ditetapkan. Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay (2006) menyebutkan jika mengacu kepada ajaran Pemisahan/Pembagian kekuasaan, konsep tersebut dinilai kurang tepat karena pada prinsipnya ajaran ini justru lebih memandang bahwa tiap-tiap kekuasaan telah ditentukan dalam ruang lingkup kekuasaannya masing-masing sebagaimana diatur dalam konstitusi. Persinggungan ini nyatanya sudah usai ketika konstitusi menyatakan demikian, bahkan dipertegas dalam Pasal 26 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.

Semua penjelasan tadi memberikan kita gambaran terkait komitmen hukum dan ekosistem peradilan yang mendukung satu sama lain, serta membangun kerja sama antar lembaga negara, sehingga mampu menghasilkan dan menjalankan putusan hukum tanpa hambatan. Kendati muncul perbincangan dan perdebatan merupakan hal yang wajar dalam bernegara, namun semua mesti diselesaikan dengan segera melalui instrumen yang ada, dalam hal ini hukum. Dengan demikian, peran MK dan MA ini bisa menjadi sebuah percontohan bagi lembaga tinggi lainnya dalam membangun sebuah sinergitas dan ekosistem peradilan sehat di Indonesia. Tetapi, apakah sinergitas dan independensi MK ini punya respons yang sama di depan persoalan politis.

Mahkamah Konstitusi dan Perang Politis

Berbicara mengenai isu-isu politik yang berusaha menyerang, dalam artian infiltrasi independensi MK, menjadi salah satu topik yang cukup menimbulkan rasa waswas bagi segelintir orang, mungkin Post Traumatic Syndrome Disorder (PTSD) bagi alumni “98” dan pemerhati hukum. Kita mulai membukanya dengan persoalan pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto. Polemik ini dimulai ketika Aswanto, selaku Hakim Konstitusi, diganti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun pada saat yang bersamaan anggota dewan menyepakati Guntur Hamzah, Sekretaris Jenderal MK, untuk menggantikan posisinya sebagai Hakim Konstitusi. Hal ini jelas menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan, salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan, dengan keras ICW, sebagaimana dikutip dari laman antikorupsi.org (2022), menyebutkan jika langkah DPR terhadap MK ini semakin memperlihatkan sikap otoritarianisme dan pembangkangan hukum. Secara garis besar, upaya ini dinilai menggerus independensi MK.

Tidak tanggung-tanggung, ICW mengutarakan enam poin kekeliruan DPR ketika merombak komposisi majelis hakim konstitusi, di antaranya: 1) Kekeliruan dalam menafsirkan surat dari ketua MK yang secara substansial merupakan konfirmasi atau pemberitahuan dampak Putusan Nomor 96/PUU-XIII/2020 tentang periodisasi jabatan hakim MK; 2) Menabrak ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman; 3) Pemberhentian dinilai ahistoris, imateriel, dan cacat formal; 4) Keputusan syarat akan politik yang ditujukan kepada lembaga kekuasaan kehakiman; 5) Dasar pemikiran atas pemberhentian Aswanto bermuatan konflik kepentingan dan seolah hendak menundukkan mahkamah; dan, 6) Inkonstitusionalnya keputusan DPR akan menjadi preseden buruk bagi masa depan MK.

Melalui reaksi dan kritik keras ini, kita menyadari bahwa MK memiliki dua misi dalam menjalankan tugasnya, yaitu selain mewujudkan kewenangan dan tanggung jawabnya juga menjaga independensi MK agar tetap konsisten. Bagaimana pun, MK memiliki peran vital dan fatal bila dipandang dalam sudut pandang politik. Tidak heran, bila segelintir oknum dalam kekuasaan berusaha mengintervensi MK. Kita mungkin sulit menyadari akan intervensi itu akan berdampak buruk di masa depan yang sangat acak, karena itu “too good to be true”. Tapi, insting para akademisi dan praktisi di bidang hukum, dan pemerhati lainnya, mungkin bisa dijadikan sebuah eksperimen berpikir.

Dari Reformasi Hingga Konsistensi

Pekerjaan MK dalam ketatanegaraan yang paling menggoda iman, mungkin adalah terkait dengan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Setelah serangkaian sejarah berdarah bangsa Indonesia di akhir abad ke-20, hingga transit di Mei 1998, reformasi adalah buah ranum yang sekalipun busuk pasti akan dipilih ketimbang kembali ke masa di mana presiden dan wakil presiden dapat dipilih kembali tanpa batasan periode. Demi sebuah revisi (amendemen) dalam Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 tentang periodisasi kekuasaan presiden dan wakil presiden, banyak nyawa anak bangsa yang dikorbankan. Entah baik atau buruk, peristiwa itu penanda akan demokratisasi yang semakin nyata, walau masih perlu penyempurnaan.

Akan tetapi, upaya-upaya untuk mengubah landasan periodisasi itu kembali hidup akhir-akhir ini. Ternyata, kecemasan publik tidak hanya pada permainan politik yang rapi dan elegan, namun juga menyorot (kembali) MK sebagai the guardian of constitution. Walau permohonan pengujian dari berbagai kelompok kepentingan itu tidak bisa ditolak, seperti dari Partai Berkarya, namun apresiasi perlu diberikan kepada MK yang secara konsisten menolak konsep perpanjangan periode kekuasaan. Direktur Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN), Oce Madril, dikutip dari laman news.detik.com (2023), menyebutkan bahwa MK sangat tegas dan konsisten dalam putusannya terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden sesuai dengan konstitusi, termasuk di dalamnya batasan kekuasaan. Semoga konsistensi itu tetap bertahan.

Harapan Bagi Mahkamah Konstitusi      

Pada akhirnya, catatan-catatan di atas mengindikasikan perlu penegasan atas peran dan kedudukannya sebagai kekuasaan kehakiman yang nirintervensi dan politis, juga menjaga nuansa  konsistensi dalam berkonstitusi dan menjalankan peraturan perundang-undangan. Tidak hanya itu, diharapkan MK senantiasa bersikap bijak dalam penanganan berbagai kasus, terlebih 2024 menanti, apakah akan kembali menyelesaikan sengketa hasil pemilu? Namun, di lain waktu, mungkin, masyarakat masih menunggu sebuah dewan besar yang menjadi pengawas dan pengevaluasi dari seluruh lembaga di Indonesia, karena rakyat umumnya tidak bisa melakukan semua pekerjaan ini semata. Dan satu lagi, tetaplah menjaga sinergitas.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//