• Nusantara
  • Keputusan Mahkamah Konstitusi Soal Uji Materi UU Minerba Membahayakan Lingkungan dan Masyarakat

Keputusan Mahkamah Konstitusi Soal Uji Materi UU Minerba Membahayakan Lingkungan dan Masyarakat

UU Minerba akan mempersempit ruang partisipasi masyarakat karena seluruh proses penetapan wilayah pertambangan tidak lagi melibatkan masyarakat.

Tim Advokasi UU Minerba membentangkan spanduk di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (3/6/2022). Mereka menuntut agar MK mengabulkan uji materi UU Minerba. (Foto: Tim Advokasi UU Minerba)*

Penulis Iman Herdiana30 September 2022


BandungBergerak.idMasa depan lingkungan di Indonesia tambah suram dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi (judicial review) UU Minerba. Putusan MK Nomor 37/PUU-XIX/2022 ini dinilai memperkokoh kepentingan oligarki tambang sekaligus menghancurkan keselamatan rakyat.

Tim Advokasi UU Minerba yang menjadi kuasa para pemohon uji materi menyatakan, hakim Mahkamah Konstitusi hanya menjadi corong pemerintah dan mengabaikan hak konstitusi rakyat atas keselamatan hidup dan lingkungan yang sehat. 

Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Kamis, 29 September 2022, majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak tiga dari empat pokok permohonan uji materi UU Minerba, yaitu: menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat; potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba; dan jaminan perpanjangan otomatis bagi KK dan PKP2B.

Selain itu, majelis hakim mengabulkan sebagian dari pokok perkara terkait jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan pada pemegang WIUP, WIUPK, dan WPR, dengan memberikan penafsiran “sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 

Tim Advokasi UU Minerba menyatakan, Mahkamah Konstitusi lebih banyak menggunakan dalil yang diajukan oleh pemerintah sebagai pembelaan, termasuk pada dalil yang dikabulkan sebagian. Sebaliknya, majelis hakim justru mengabaikan argumentasi pemenuhan hak partisipasi masyarakat dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Keputusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan komitmen iklim negara untuk transisi energi dan sebaliknya memberikan ruang pada oligarki perusak lingkungan untuk mengeruk lebih banyak cuan dan menyebabkan kerusakan. 

Dalam permohonan terhadap Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba yang menyebabkan menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat, pertimbangan Mahkamah Konstitusi berfokus pada pembagian urusan pemerintahan pusat dan daerah yang bukan menjadi inti permohonan.

Mahkamah Konstitusi justru tidak mempertimbangkan argumentasi akses masyarakat atas layanan publik dan gagal melihat kenyataan yang sudah terjadi di masyarakat pascaberlakunya UU  Minerba. Saat ini, masyarakat kesulitan mengadukan perusahaan tambang yang merusak wilayah mereka karena harus mengadu ke pemerintah pusat.

“Keputusan Mahkamah Konstitusi ini mengkhianati agenda reformasi karena salah satu hal penting yang dihasilkan reformasi yakni mendekatkan warga dengan pemerintah melalui pemerintah daerah,” tutur Ali Akbar, juru bicara #BersihkanIndonesia dari Kanopi Bengkulu, dikutip dalam siaran pers, Jumat (30/9/2022).

“Ketika kewenangan daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, ini kemunduran karena mengabaikan prinsip otonomi daerah. Akibatnya nasib masyarakat di sekitar industri ekstraktif pertambangan yang dikorbankan,” lanjutnya.

Ia mengacu pada kasus pertambangan emas di Trenggalek yang izinnya dicabut bupati, lalu dikuatkan oleh Wakil Gubernur Jawa Timur. Dua pejabat daerah sudah berkirim surat untuk pencabutan izin, tapi pemerintah pusat justru tidak membatalkan izin tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi juga dinilai gagal untuk melihat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat secara holistik. Ini tampak dari putusan Mahkamah Konstitusi yang sama sekali tidak mempertimbangkan argumen Pemohon bahwa “jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang” pada wilayah pertambangan menihilkan semua saran dan masukan masyarakat yang menolak tambang akibat kerusakan lingkungan di sekitar ruang hidup mereka. 

Baca Juga: Judicial Review UU Minerba, Mahkamah Konstitusi Seharusnya Berpihak kepada Rakyat
Pemerintah Mengabaikan Masyarakat Terdampak Pertambangan
Tim Advokasi: Mahkamah Konstitusi Seharusnya Mengabulkan Uji Materi UU Minerba

Lasma Natalia, tim Advokasi UU Minerba dari LBH Bandung menyatakan Mahkamah Konstitusi gagal untuk melihat bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terdiri dari hak substansial dan hak prosedural. Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan sama sekali pemenuhan aspek prosedural hak atas lingkungan (layanan publik, partisipasi, keadilan), dengan demikian akan berdampak pada pemenuhan substansi hak atas lingkungan masyarakat sekitar tambang nantinya.

“Mahkamah Konstitusi justru mengulangi kekacauan berpikir pihak pemerintah dengan mengamini argumen bahwa evaluasi dan revisi rencana tata ruang menyesuaikan izin usaha pertambangan yang sudah ada, meskipun terdapat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,” kata Lasma.

Mareta Sari dari JATAM Kaltim juga menyatakan bahwa UU Minerba akan mempersempit ruang partisipasi masyarakat karena seluruh proses penetapan wilayah pertambangan tidak lagi melibatkan masyarakat.

“Kami takut, lahan pertambangan di Kalimantan Timur yang luasnya mencapai 5,2 juta hektar itu bisa meluas dan beban masyarakat semakin berat untuk melindungi kawasan dan aturan yang ada tidak bisa melindungi mereka ketika ada konflik,” kata Mareta Sari.

Hasil dari uji materi UU Minerba merupakan pukulan bagi masyarakat karena Mahkamah Konstitusi turut serta mempersempit ruang partisipasi masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebut bahwa Pasal 162 merupakan pasal prematur berbeda dengan kenyataan di masyarakat yang selama ini justru dikriminalisasi menggunakan pasal tersebut.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//