• Ruang Terbuka Hijau
  • Judicial Review UU Minerba, Mahkamah Konstitusi Seharusnya Berpihak kepada Rakyat

Judicial Review UU Minerba, Mahkamah Konstitusi Seharusnya Berpihak kepada Rakyat

Tim advokasi UU Minerba sudah dua bulan lalu menyerahkan dokumen kesimpulan terkait Judicial Review UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. Bola ada di tangan MK.

Gerakan Bersihkan Indonesia menggelar protes berupa Instalasi Seni bertema Terpenjara dalam UU Minerba, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Maka pada Kamis (4/8/2022). MK dituntut berpihak kepada rakyat. (Tim advokasi UU Minerba)*

Penulis Iman Herdiana6 Agustus 2022


BandungBergerak.idDua orang warga menjadi korban kriminalisasi Pasal 162 UU Minerba. Mereka bersama organisasi pembela lingkungan, oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Indonesia) dan Jatam Kaltim, kemudian mengajukan Judicial Review UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi. Namun Mahkamah Konstitusi belum juga melirik permohonan Judicial Review UU Minerba tersebut.

Dua orang warga korban kriminalisasi Pasal 162 UU Minerba adalah Nurul Aini, seorang ibu rumah tangga dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi yang dilaporkan ke polisi karena memprotes keberadaan tambang emas Tumpang Pitu. Kehadiran tambang emas ini telah mengakibatkan banjir lumpur dan mengakibatkan krisis air bersih di desanya.

Seorang lagi, Yaman, merupakan nelayan dari Desa Matras, Kabupaten Bangka Belitung yang dikriminalisasi bersama 12 nelayan lainnya ketika melindungi wilayah tangkapnya dari operasi tambang timah.

Yaman dan para nelayan yang protes karena mengalami penurunan hasil tangkap justru dituduh merintangi dan mengganggu kapal isap pasir Indosiam Phuket 1 dan Sor Chokedee.

Dikutip dari siaran pers Tim advokasi UU Minerba, Sabtu (6/8/2022), bahwa tim sudah dua bulan lalu menyerahkan dokumen kesimpulan [sejak Jumat, 3 Juni 2022] ke Mahkamah Konstitusi. Namun hingga kini belum diproses.

Di sisi lain, perusahaan tambang yang merusak justru terus dimanjakan oleh kemudahan perizinan dan fasilitas pasal karet untuk kriminalisasi warga.

Maka pada Kamis 4 Agustus 2022 lalu, Gerakan #Bersihkan Indonesia menggelar protes berupa Instalasi Seni bertema Terpenjara dalam UU Minerba, yang merupakan gambaran betapa kejamnya UU Minerba bagi masyarakat.

Aturan ini membuat warga tak bisa leluasa menyuarakan penolakan mereka atas kehadiran tambang di kampungnya. Instalasi ini menghadirkan sel penjara yang berdiri dengan sembilan pilar besi. Instalasi ini mengirimkan pesan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah harapan terakhir bagi perjuangan warga untuk mendapatkan keadilan hukum.

“Mengabaikan urgensi dari JR Minerba ini hanya akan menjadi penjara dan derita bagi warga serta kematian keadilan di negeri ini,” demikian pernyataan Tim advokasi UU Minerba.

“Instalasi ini menggambarkan kondisi hari ini terkait UU Minerba. UU Minerba yang sudah ditetapkan 2 tahun yang lalu telah mengkriminalisasi 19 warga sipil yang mempertahankan lingkungan dan ruang hidupnya. Kami sudah menunggu Mahkamah Konstitusi 2 bulan lamanya terkait hasil putusan Judicial Review undang-undang karet ini. Instalasi ini menggambarkan bahwa siapapun bisa menjadi korban dari perusahaan yang mendapatkan kemudahan dan kepastian dari hukum dari pemerintah,” ujar Azka Wafi, juru bicara #Bersihkan Indonesia dari Enter Nusantara.

Baca Juga: Pemerintah Mengabaikan Masyarakat Terdampak Pertambangan
Tim Advokasi: Mahkamah Konstitusi Seharusnya Mengabulkan Uji Materi UU Minerba
Kode Merah Dampak Pemanasan Global di Indonesia dan Dunia

Ujian bagi Presiden Jokowi

Proses Judicial Review UU Minerba ini diajukan oleh masyarakat sebagai batu uji terakhir atas pemerintahan Jokowi yang dikuasai oleh oligarki. Hasil putusan judicial review UU Minerba sangat dinanti masyarakat karena akan menjadi tolok ukur independensi Mahkamah Konstitusi terhadap pemerintahan Jokowi.

Apalagi saat ini, potensi terjadinya konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi semakin tinggi setelah Ketua Mahkamah Konstitusi resmi menjadi ipar Jokowi, yang merupakan salah satu tergugat pada permohonan Judicial Review UU Minerba ini.

“Masih dipertahankannya pasal kriminalisasi warga dalam UU Minerba 3/2020 pasal 162 semakin menegaskan bahwa UU ini memang dibuat hanya untuk memfasilitasi korporasi pertambangan melakukan perampasan ruang hidup warga. Sehingga setiap warga negara yang mempertahankan ruang hidupnya dari industri tambang hanya dihadapkan pada kriminalisasi, tanpa ada perlindungan dari negara untuk mempertahankan ruang hidupnya. Jika memang negara masih berpihak pada keselamatan dan ruang hidup warga, maka MK harus membatalkan atau menghilangkan pasal kriminalisasi dari UU Minerba ini,” ujar Ki Bagus Hadikusuma, juru bicara #Bersihkan Indonesia dari JATAM Nasional.

Selain menggugat Pasal 162, para pemohon juga menggugat Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba yang mempersulit masyarakat untuk menyuarakan aspirasi mereka karena penarikan kewenangan yang tak lagi di daerah, namun hanya di pusat.

Pasal ini akan membuat masyarakat yang hidup di sekitar tambang menghabiskan banyak biaya dan waktu tempuh yang lebih lama apabila hendak menyuarakan aspirasinya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//