Kode Merah Dampak Pemanasan Global di Indonesia dan Dunia
Walhi jauh-jauh hari telah memperingatkan bahwa dampak pemanasan global semakin nyata baik di dunia maupun di Indonesia. Tetapi pengrusakan lingkungan terus terjadi.
Penulis Iman Herdiana22 Juli 2022
BandungBergerak.id - Peringatan kode merah bencana akibat pemanasan global telah disampaikan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC, yang disampaikan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres setelah diterbitkannya hasil laporan kelompok kerja ilmuwan IPCC pada tanggal 9 Agustus 2021. Peringatan ini bukan hanya ditujukan untuk beberapa negara saja, melainkan untuk seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Umat manusia belum lepas dari bencana yang jauh lebih besar dari pandemi Covid-19, yaitu pemanasan global yang mengubah iklim dunia. Dari pandemi Covid-19, seharusnya manusia belajar bahwa manusia bisa beradaptasi terhadap bencana yang dibuatnya sendiri. Salah satu adaptasi itu dengan menghentikan perilaku merusak lingkungan.
Rektor IPB University, Arif Satria, mengatakan kita telah banyak belajar bahwa pandemi Covid-19 sejak tahun 2020 telah mengubah dunia termasuk kehidupan manusia sehari-hari yang dikenal dengan tatanan new normal. Para lmuwan, peneliti, mahasiswa, praktisi, pembuat kebijakan, dan pelaku bisnis telah berhasil beradaptasi dengan kondisi new normal ini.
Namun ke depan dibutuhkan manajemen bencana dan lingkungan untuk mengantisipasi kembalinya bencana yang langsung maupun tidak langsung dibikin oleh manusia itu sendiri.
“Pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana dan pengelolaan lingkungan jangka panjang harus dimanfaatkan untuk mendidik masyarakat terutama untuk masa depan dalam pengelolaan bencana alam akibat ulah manusia,” kata Arif Satria, dalam Simposium Internasional University Network for Disaster Risk Reduction (UN4DRR) IPB University, dikutip dari laman resmi, Jumat (22/7/2022).
Widiatmaka selaku ketua tim UN4DRR-IPB University, mengatakan topik pengurangan risiko bencana sangat penting dan relevan mengingat potensi bencana di Indonesia sangat tinggi. Letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik geologi menyebabkan secara geografis Indonesia merupakan wilayah dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi.
“Di Indonesia, merupakan negara supermarket bencana artinya cukup banyak bencana yang ada di Indonesia, mulai dari bencana geologi, bencana hidrometerologi sampai bencana akibat ulah manusia seperti kebakaran hutan dan lahan,” ujar Widiatmaka.
Dampak Pemanasan Global Semakin Nyata
Organisasi di Indonesia yang sering menyuarakan daruratnya dampak pemanasan global adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi Indonesia). Dampak pemanasan global tidak mengenal negara maju dan berkembang, menjamah negara-negara lintasbenua.
Peringatan kode merah bencana akibat pemanasan global telah disampaikan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC, yang disampaikan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres setelah diterbitkannya hasil laporan kelompok kerja ilmuwan IPCC pada tanggal 9 Agustus 2021. Peringatan ini bukan hanya ditujukan untuk beberapa negara saja, melainkan untuk seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Menurut prediksi ilmuwan yang tergabung dalam IPCC, pemanasan global yang menjadi penyebab bencana cuaca ekstrim di seluruh dunia ini, dalam 20 tahun kedepan berisiko tidak lagi dapat dikendalikan. Namun dengan catatan apabila kita masih melakukan aktifitas seperti biasa dan tidak mengurangi emisi karbon dioksida secara ekstrim.
Dari analisis yang sudah dilakukan, ternyata sebanyak 14 ribu studi yang berkaitan dengan perubahan iklim menunjukkan bahwa penyebab kenaikan suhu bumi sebesar 1,1 derajat Celsius, yakni akibat pembakaran bahan bakar fossil (BBM). Salah satunya industri pembangkit listrik yang mayoritas bahan bakarnya masih menggunakan batubara.
Peningkatan suhu bumi sebesar 1,1 derajat Celsiuskelihatannya angka yang kecil. Namun kalau berkaitan dengan suhu bumi, efek yang ditimbulkan sangatlah besar dan destruktif. Sebut saja hujan dengan intensitas tinggi, siklon tropis, banjir, dan musim kemarau yang semakin panjang dan menjadi penyebab kebakaran skala besar.
Salah satu efek perubahan iklim yang sangat mengkhawatirkan yakni kejadian gelombang panas ekstrim dalam beberap bulan terakhir ini, di mana sebagian besar wilayah Eropa dan Amerika mengalami kebakaran hingga ratusan titik.
Juga termasuk melelehnya daratan beku permanen atau permafrost, serta kebakaran skala besar sepanjang sejarah yang baru saja terjadi di Siberia, padahal Siberia merupakan wilayah berpenghuni paling dingin di dunia.
Bagi sektor yang menggantungkan kondisi cuaca tahunan seperti pertanian, maka ke depannya apabila suhu bumi terus memanas, perubahan iklim akan merubah ritme musiman yang bisa mengakibatkan penurunan produktifitas hasil pertanian secara signifikan, risiko gagal panen akan semakin sering terjadi.
Di samping itu, ketika turun hujan, maka intensitasnya bisa berlangsung selama berhari-hari tanpa henti sampai terjadi bencana banjir bandang. Seperti yang baru saja terjadi di negara Eropa Barat mulai dari Jerman, Belanda dan Belgia. Hujan yang berlangsung selama berhari-hari ini setidaknya memakan korban jiwa sebanyak 120 orang dan 1.300 orang lainnya masih dalam pencarian.
Baca Juga: Banjir Bandung Selatan di Tengah Ketidaknormalan Musim
Guru Besar ITB: Indonesia Perlu Segera Mengurangi Penggunaan Energi Kotor
Tim Advokasi: Mahkamah Konstitusi Seharusnya Mengabulkan Uji Materi UU Minerba
Kerusakan Lingkungan di Indonesia
Namun Walhi Indonesia dalam laporannya menyatakan kondisi lingkungan hidup di Indonesia dalam keadaan yang sangat tidak baik-baik saja. Hutan di Kalimantan hingga Papua masih terus mengalami eksploitasi dan penghancuran oleh korporasi, yakni berupa penggundulan hutan untuk dialihkan menjadi industri ekstraktif (seperti sawit).
Aktifitas industri ekstraktif yang mengeksploitasi alam ini bukan hanya berdampak pada menyusutnya hutan yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon dioksida, namun sekaligus ikut memperparah laju pemanasan global dan mengancam sumber penghidupan puluhan juta masyarakat adat.
Menurut Walhi, terdapat lahan seluas 159 juta hektar sudah terkapling dalam izin investasi industri ekstraktif. Luas wilayah daratan yang secara legal sudah dikuasai oleh korporasi yakni sebesar 82,91 persen, sedangkan untuk wilayah laut sebesar 29,75 persen.
Data IPBES 2018 juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar, yang mana merupakan terbesar di region Asia Tenggara. Sedangkan data kerusakan sungai yang dihimpun oleh KLHK tercatat bahwa, dari 105 sungai yang ada, 101 sungai di antaranya dalam kondisi tercemar sedang hingga berat.
Penelusuran Walhi Indonesia pada tahun 2013 hingga 2019 didapatkan data bahwa penguasaan lahan sawit di Indonesia ternyata selama ini hanya dikendalikan oleh 25 orang taipan. Total luasan hutan yang dikuasai oleh konglomerat sawit ini sebesar 12,3 juta hektar. Dari total luas hutan yang sudah mendapat lampu hijau dan mengantongi izin tersebut, 5,8 juta hektar di antaranya sekarang ini sudah menjadi perkebunan sawit.
Padahal di Indonesia terdapat 50-70 juta masyarakat adat yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan. Ketika hutan dirusak dan dikuasai oleh korporasi, selain akan memperparah laju pemanasan global, kasus konflik di daerah juga bakal semakin meningkat.
Laporan dari Auriga Nusantara juga tidak kalah mengkhawatirkan. Dalam 20 tahun terakhir ini terjadi deforestasi di Papua seluas 663.443 hektar. Di mana 71 persen di antaranya terjadi sepanjang tahun 2011 sampai 2019.
Penyumbang deforestasi terbesar yakni ditujukan untuk pembukaan perkebunan sawit seluas 339.247 hektar. Namun dari hasil penelusuran ternyata hanya 194 ribu hektar saja yang sudah ditanami sawit, selebihnya dalam kondisi rusak.
Dampak pengalihfungsian hutan menjadi wilayah industri ekstraktif, baik itu perkebunan, properti, pertanian, kehutanan, tambang, infrastruktur dan kelautan, ternyata juga syarat akan beragam masalah.
Dari laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2018 saja terjadi 410 konflik agraria dengan luas wilayah konflik 807.177 hektar, dengan melibatkan 87.568 KK.
Dengan kerusakan hutan yang seluas itu, tidak mengherankan jika kemudian sepanjang tahun 2020, BNPB mencatat terdapat 2.925 kejadian bencana alam di Indonesia, mulai dari banjir, putting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, serta gelombang panas.
Praktik ekosida penghancuran lingkungan yang mengabaikan tata ruang dan lingkungan hidup ini menjadi fakta bahwa praktik buruk segelintir korporasi yang menguasai jutaan hektar lahan terbukti memperparah intensitas bencana di Indonesia.
Menurut Walhi, jumlah korban jiwa pun juga naik hampir tiga kali lipat, yakni pada periode 2017 hingga 2018 terjadi peningkatan jumlah korban bencana, dari yang sebelumnya sebanyak 3,49 juta orang menjadi 9,88 juta orang.
Data ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk mengkaji ulang arah kebijakan yang sudah dibentuk. Karena baru-baru ini aturan yang dibuat oleh pemerintah maupun DPR justru menguntungkan segelintir pengusaha dan korporasi ekstraktif dengan menggadaikan nasib jutaan masyarakat marjinal.