Walhi Jabar: Selamatkan Lingkungan dan Rakyat, bukan Proyek Kereta Cepat

Tak ada penyelesaian atas rusaknya belasan hektare sawah dan rusaknya rumah-rumah warga yang terdampak proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.

Pemasangan rel pada proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) jarur Jakarta-Bandung di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 7 April 2021. Kebijakan pemerintah, termasuk dalam pembangunan infrastruktur, memerlukan data yang akurat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Endah Lismartini15 Oktober 2021


BandungBergerak -  Lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat meminta pemerintah untuk menuntaskan masalah dampak lingkungan dan sosial dari pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Menyelamatkan lingkungan dan kepentingan rakyat jauh lebih penting dibandingkan megaproyek kereta cepat itu.

Walhi Jabar menanggapi keputusan pemerintah baru-baru ini yangmembuka peluang penggunaan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) untuk menutupi pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang mencapai puluhan triliun rupiah. 

Dalam catatan Walhi Jabar, belasan hektare sawah dan saluran irigasi di Desa Depok, Kabupaten Purwakarta rusak akibat proyek tersebut. Sejak Agustus 2019, sawah milik 16 warga dijadikan area disposal atau pembuangan tanah kupasan proyek jalur kereta cepat. Akibatnya sawah yang tadinya produktif tidak lagi memberikan hasil hingga sekarang.

Kondisi warga yang bergantung pada lahan sawah itu menjadi lebih miris di saat dampak pandemi Covid-19 melanda. Jika sawah dan irigasi mereka tidak ditimbun tentu ketahanan pangan mereka terjamin karena dapat bertahan hidup dengan menanam padi.

Selain itu, sekitar 133 warga Bandung Barat juga mengalami kerugian akibat pembangungan kereta cepat. Rumah mereka mengalami rusak berat dan ringan akibat penggunaan metode ledak saat pembangunan terowongan 11. Berdasarkan hasil kajian Badan Geologi, retakan tanah memanjang juga terjadi di area sekitar. Hal tersebut menjadi kekhawatiran warga saat turun hujan, karena air akan masuk ke dalam retakan tanah dan berpotensi menimbulkan bencana longsor.

Direktur Eksektif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong, mendesak pemerintah untuk serius memperhatikan nasib rakyat yang menderita akibat proyek tersebut dan segera menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dan sosial yang dialami warga di sekitar Kabupaten Bandung Barat yang tak kunjung ada titik terang sejak dua tahun yang lalu. Walhi juga menuntut PT.KCIC untuk melaksanakan tanggungjawabnya dan patuh menghormati hak asasi warga yang terkena dampak proyek dalam kerangka bisnis dan HAM.

"Upaya mekanisme keluhan dan permohonan bantuan kepada pemerintah sudah dilakukan warga. Mulai dari tingkat Desa , Kabupaten, Provinsi, Dinas terkait, hingga KLHK. Namun tetap tidak ada tindak lanjut sampai saat ini," ujar Meiki seperti dikutip BandungBergerak.id dari rilis yang diterima, Kamis (14/10/2021).

Baca Juga: Walhi Jabar Ingatkan Pentingnya Dialog dalam Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu
Hari Bumi di Bandung Diperingati Walhi Jabar, Pemudi, dan Tarian

Kereta Cepat, Bentuk Layanan Pemerintah pada Kaum Oligarki Properti dan Kelompok Kaya

Meiki menuturkan, WALHI Jawa Barat mencatat ada 23 kasus terkait langsung dengan proyek kereta cepat yang mencakup kasus perizinan, lingkungan, sosial, hingga kecelakaan kerja. Namun persoalan lingkungan, sosial, dan HAM menjadi aspek yang paling diabaikan. Baik oleh pihak PT.KCIC dan juga Pemerintah sebagai pemberi proyek. Terbukti dengan tidak adanya niat baik penuntasan masalah hingga saat ini. Menurut Meiki, pemerintah hanya fokus pada permasalahan bengkaknya anggaran dan percepatan penyelamatan proyek agar bisa segera beroperasi. Di sisi lain rakyat terdampak proyek yang terancam hidupnya sama sekali tidak dipedulikan.

Proyek kereta cepat merupakan pintu masuk proyek properti lainnya. Perampasan ruang hidup rakyat, pemindahan paksa, dan alih fungsi lahan skala besar kelak dipastikan terjadi. Apalagi, kedepannya akan ada 4 stasiun Transit Oriented Development (TOD). Keempat TOD berada di Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar.

"Artinya tidak hanya pembangunan stasiun, tapi diarahkan juga pengembangan kawasan terbangun baru. Yang sudah tampak adalah TOD Walini berada di kawasan milik rakyat dan perkebunan PTPN VIII. Sedangkan TOD Tegalluar berada di kawasan pertanian padi produktif milik rakyat," ujar Meiki.

Walhi Jabar berpendapat, keberadaan kereta cepat dan TOD merupakan bentuk layanan pemerintah pada kelompok oligarki properti dan kaum kaya. Dengan begitu sebenarnya pemerintah malah membuka lebar jurang pemisah strata sosial di masyarakat. Kesenjangan sosial kelas miskin dan kaya akan semakin parah di saat pemerintah sendiri yang menciptakan dan membiarkan itu terjadi.

"Oleh karena itu WALHI Jawa Barat menuntut Pemerintah lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan perlindungan lingkungan hidup. Tindak tegas pelanggaran lingkungan dan HAM yang terjadi di proyek kereta cepat," Meiki menegaskan. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//