Pembangunan di Jawa Barat tidak Ramah Lingkungan

Laju pembangunan tahun 2022 diperkirakan tidak sejalan dengan pelestarian lingkungan. Akan banyak alih fungsi lahan, hutan, dan konflik dengan warga.

Tol Cisumdawu seksi 1 yang menghubungkan Cileunyi, Rancakalong, Sumedang, resmi beroperasi, Senin (24/1/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau28 Januari 2022


BandungBergerak.idSepanjang tahun 2021 kemarin, catatan di bidang kelestarian lingkungan berwarna merah. Banyak rakyat yang dikriminalisasi karena mempertahankan hak dan membela lingkungannya. Tahun 2022 ini wajah lingkungan diprediksi masih akan suram seiring derap pembangunan yang meminggirkan kelestarian alam.

Laju pembangunan tersebut didukung Undang Undang (UU) Cipta Kerja yang kontroversial. Faktanya, terdapat pasal-pasal dan peraturan turunan UU ini yang hanya berpihak pada kepentingan pemodal. Sebaliknya, partisipasi rakyat dan pejuang lingkungan dipersempit dan diancam.

Wajah pembangunan semakin beringas manakala adanya perubahan atas peraturan penggantian lahan hutan yang terbangun dengan uang. Padahal hutan terbangun seharusnya diganti dengan hutan lagi.

Wajah garang pembangunan juga tampak di Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya kasus kriminalisasi terhadap warga pejuang lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mencatat sepanjang tahun 2021 terdapat 290 kasus kriminalisasi yang dialami warga dan aktivis lingkungan.

Angka tersebut tentu diharapkan berkurang atau bahkan tidak terjadi di tahun ini. Tetapi kecenderungan yang ada, melahirkan prediksi sebaliknya. Terlebih, lanjut catatan Walhi Jabar, proyek stragei nasional (PSN) terus berjalan. PSN berpotensi besar menyumbangkan eksplotasi dan esktraksi sumber daya alam. Sehingga tahun ini pun diprediksi bahwa kerusakan lingkuangan di Jawa Barat akan terus meningkat.

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jabar, Wahyudin, memaparkan bahwa faktor penyebab menurunnya kualitas lingkugan hidup di Jabar ke depan justru berasal dari PSN dan maupun pembangunan oleh pemerintah daerah.

Wahyudin merinci, pembangunan PSN oleh pemerintah pusat terdiri dari 12 jalan tol, 2 pelabuhan, 5 jalur kereta, 6 bendungan, dan 1 tangul pantai. Beragam bentuk pembangunan ini diduga kuat akan mengalihfungsikan lahan produktif, pertanian, dan hutan. Tak hanya itu, pembangunan tersebut berpotensi mengilangkan akses masyarakat terhadap ruang dan pencaharian.

“Tentu ini akan berdampak terhadap lingkungan, ketika terjadai alih fungsi akan berdampak terhadap global warming. Ini tidak seiring dengan komitmen Presiden di Paris (COP 26) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 25 persen,” ungkap Wahyudin, kepada Bandungbergerak.id, usai konferensi pers ‘Ketakutan dan Krisis Tahun Baru’ yang digelar di Sekretariat Walhi Jabar, Kota Bandung, Kamis (27/1/2022) lalu.

Catatan lain, konflik lingkungan yang terjadi tahun lalu masih akan berlanjut tahun ini. Antara lain, kata Wahyudin, konflik lingkungan di kawasan Punclut, Bandung utara, di mana warga berusaha memperjuangkan hak atas tanah mereka sampai mendapat kriminalisasi. Ada juga pembanguan Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) di Bandung Barat dan Gedebage yang masih berkonflik dengan warga terdampak.

Selanjutnya, di Bogor dan Sukabumi terdapat persoalan tambang, sementara di kawasan Pantura seperti Cirebon dan Indramayu, terdapat konflik dan kerusakan lingkungan akibat pembangunan PLTU.

Belum ke depan konflik dan masalah lingkungan berpotensi meluas dengan adanya rencana pembangunan kawasan industri di empat koridor utara, selatan, barat dan timur Jawa Barat. Pencemaran tanah, air, dan udara otomatis sulit dibendung. Luasan hutan di Jawa Barat pun terus menyusut dari posisi saat ini yang tinggal 18 persen dari luas wilayah.

“Upaya pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi sangat baik dan sangat luar biasa, tapi kami sayangkan tidak seiring dan berbanding lurus dengan upaya pemulihan lingkungan. Yang tentu paling penting harus dilakukan oleh pemerintah,” ungkapnya.

Di sisi lain, pembanguan infrastruktur yang dilakukan pemerintah dinilai tak mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Sehingga pembangunan yang terjadi terkesan barbar, seperti disampaikan Chepi Mara dari Media Tata Ruang yang juga hadir dalam konferensi pers di Walhi Jabar.

Chepi menyoroti proyek KCIC, pembangunan tol, kawasan Rebana di Majalengka dan sekitarnya, dan lainnya. Ia menilai semua pembangunan tersebut hanya mengikuti keinginan pemodal.

“Peraturan itu mengikuti keinginan, istilah kami, investor. Seperti Meikarta, cenderung dipaksakan, dan akhirnya tata ruang ini menjadi tata uang buat mereka,” ungkapnya. 

Baca Juga: Pemerintah Mengabaikan Masyarakat Terdampak Pertambangkan
Sistem Pangan dan Pertanian Indonesia Semakin Rentan, Akses Warga Kian Menciut
Sampah Mikroplastik tak Kasat Mata Banyak Ditemukan di Pantai Pangandaran

Proses pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung, di Kabupaten Bandung, Selasa (12/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Proses pembangunan kereta cepat Jakarta - Bandung, di Kabupaten Bandung, Selasa (12/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kriminalisasi dan Ruang Demokrasi Dipersempit

Hadirnya Undang-undang Cipta Kerja dinilai berdampak domino pada lingkungan hingga mempersempit ruang-ruang demokrasi. Sebagai contoh, Lembaha Bantuan Hukum (LBH) Bandung mencatat, UU undang Cipta Kerja telah mempersempit partisiwapi dalam memperjuangakn hak atas lingkungan.

Jika sebelum ada Undang-undang Cipta Kerja siapa pun bisa memperjuangkan hak atas lingkungan, kini ruang itu dipersempit menjadi hanya masyarakat terdampak saja yang boleh melakukan pembelaan.

“Kalau LBH melihat bahwa memang ruang demokrasi dan ruang masyarakat untuk memperjuangkan hak atas lingkungan semakin dipersempit,” ungkap Direktur LBH Bandung, Lasma Natalia.

Bahkan, ancaman terhadap kebebasan memperjuangkan hak kini dilanggengkan dengan ada pasal-pasal yang kerap dipakai untuk membungkam. “(Pasal-pasal tersebut) bukan lagi berpotensi, tapi sudah sering digunakan untuk mengancam, menghambat dan mengkriminalisasi warga,” kata Lasma.

Pasal yang sering digunakan misalnya ada pada UU Minerba (pasal 162). Pasal ini diperkuat dalam UU Cipta Kerja. Lalu, ada pasal karet dalam UU ITE tentang pencemaran nama baik yang kini semakin banyak memakan korban. Kabar buruknya, selama pasal-pasal tersebut masih ada maka kriminalisasi ke depan akan tetap marak.

Lasma menilai, pemerintah seharusnya tidak menerapkan UU Cipta Kerja yang jelas-jelas dinyatakan cacat hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Namun tidak ada kesadaran dari pemerintah untuk menghapus UU Cipta Kerja dan turunannya.

“Harusnya diberhentikan bahkan sampai PP-nya karena ini ada problem, dan harus kita pahami dalam demokrasi, partisipasi masyarakat itu adalah unsur yang penting. Ketika masyarakat sudah tidak dilibatkan jangan-jangan kehidupan demokrasinya sudah tidak ada,” ungkapnya.

Ia khawatir ruang-ruang partisipasi di Indonesia semakin lama kian dipersempit dan dihilangkan.

Hutan Ganti Hutan

Cacat Undang-undang Cipta Kerja juga menjadi sorotan Forum Komunikasi Kader Konservasi (FK3I) Jawa Barat, khususnya mengenai Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) tentang ganti kawasan.

Koordinator FK3I Jabar, Dedi Kurniawan, mengatakan sebelum hadir Undang-undang Cipta Kerja, ada peraturan bahwa hutan yang dipakai harus diganti dengan hutan kembali. Peraturan itu kini berubah, penggantian lahan hutan terbangun cukup dibayar uang saja.

“Sebelum UU Cipta Kerja muncul, banyak yang bermasalah. Hutan kita itu bukan hanya rusak, tapi sudah hilang,” ungkap Dedi Kurniawan.

Penggantian hutan dengan uang tidaklah sepadan. Sebab, hutan tidak bisa diukur dengan nilai ekonomi. Namun hal ini sepertinya tak disadari oleh rezim pemerintahan saat ini.

“Di sana ada macan, apakah tahu harga macan berapa? Di sana ada nilai tumbuhan eksotis yang memang dilindungi, di sana ada nilai ekonomis yang tidak langsung didapatkan, misalnya berapa kehilangan udaranya, sampai sejauh mana global warming, jika hal-hal seperti itu tidak diukur,” paparnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//