Indonesia Dihadapkan pada Krisis Air Bersih
Sebanyak 10 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia memiliki indeks kualitas air yang buruk karena berbagai kontaminasi. Akses air bersih tidak merata.
Penulis Iman Herdiana17 Februari 2022
BandungBergerak.id - Krisis air bersih tidak hanya mengancam mengancam kota-kota besar seperti Bandung, melainkan juga menjadi masalah umum di Indonesia. Hasil riset Seafast Center IPB University mengatakan bahwa 10 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia masih memiliki indeks kualitas air yang buruk karena berbagai kontaminasi.
Tidak hanya itu, 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi air dari infrastruktur yang terkontaminasi oleh bakteri E-coli, dan hanya 11,9 persen rumah tangga yang memiliki akses air yang aman dikonsumsi, kata Ratih Dewanti Hariyadi, peneliti senior di Southeast Asian Food and Agriculture and Technoloogy (Seafast) Center IPB University, mengutip laman resmi IPB University, Kamis (17/2/2022).
Maka dari itu, upaya menjaga keberlanjutan air yang aman untuk kualitas hidup sangat penting. Menurut data Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, terdapat adanya ketidakmerataan ketersediaan air di seluruh Indonesia. Sebagai contoh, pulau Jawa memiliki ketersediaan air hanya 5,9 persen untuk mencukupi populasi 56,5 persen.
Sementara itu, Hardinsyah, peneliti senior IPB University yang juga Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (Pergizi Pangan) mengungkapkan peran penting air pada kehidupan manusia. Ia menyampaikan bahwa air paling banyak dibutuhkan tubuh.
“Kebutuhan air terkandung dalam tubuh 50-70 persen berat badan. Air juga dapat mencegah dahaga, sebagai pengatur suhu tubuh, pembentuk sel dan cairan tubuh dan sebagai pelarut,” terangnya.
Baca Juga: Menilik Akses Air Bersih di Kota Bandung
Perkembangan Indeks Kualitas Air di Kota Bandung 2016-2021
Hari Bumi dan Krisis Air Bersih yang Mengancam Kota Bandung
Alat Pemantau Kualitas Air Berbasis IoT
Sudah banyak peneliti yang khawatir dengan kualitas air di Indonesia. Selain IPB University, keprihatinan ini juga muncul dari peneliti Universitas Pasundan (Unpas), Bandung, di mana salah seorang penelitinya, Yonik Meilawati Yustiani, membuat alat penantau kualitas air (Atair) berbasis Internet of Things (IoT), bersama dosen Teknik Mesin Djoko Widodo, serta alumni prodi Teknik Lingkungan Fachruzia, dan Ilham Maulana Yusuf.
Atair dirancang guna membantu memantau kualitas air dan menjaga kelangsungan hidup biota air. Saat ini, sebagian besar sungai di Indonesia dikategorikan tercemar berat akibat banyaknya aktivitas rumah tangga dan industri.
Hal tersebut sesuai dengan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada pertengahan 2021 lalu. KLHK mengungkapkan, 59 persen sungai di Indonesia terdeteksi dalam kondisi tercemar berat.
Limbah yang mencemari air sungai menyebabkan biota perairan tidak dapat hidup karena kekurangan oksigen. Sementara Atair sendiri sudah diaplikasikan di Sungai Cimahi dan Sungai Cikijing. Lokasi ini dipilih karena aliran sungainya berdekatan dengan industri tekstil.
Disebutkan bahwa penggunaan Atair terbukti efektif untuk menganalisis perubahan kualitas air sungai. Pemantauan kualitas air selama ini masih dilakukan secara konvensional, yaitu dengan survei lapangan, mengambil sampel air, lalu diuji di laboratorium dan dicatat manual. Di samping membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya, pemantauan konvensional hanya dapat mengetahui kualitas air sesaat dan hasilnya belum tentu mewakili kondisi sebenarnya.
Atair dirancang untuk memantau kualitas air secara real time menggunakan sistem IoT, sehingga hasil pemantauan air bisa diakses kapan pun melalui gadget atau komputer. Parameter kualitas air yang diukur yaitu dissolved oxygen (DO), pH, total suspended solid (TSS), dan temperatur.
“Atair juga didukung microcontroller Arduino untuk mempermudah proses pemantauan hanya dengan menempatkan alat di lokasi yang akan dipantau,” tutur Yonik Meilawati Yustiani, dari laman resmi Unpas.
Yonik mengatakan, alat pantau kualitas air pertama kali dicetuskan sekitar 2017, namun belum dilabeli Atair. Tahun berikutnya, alat ini mengajukan proposal hibah Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT) dan lolos untuk didanai.
“Setelah itu, berjalanlah penelitian dan pengembangan alat yang akhirnya harus diberi merek, maka dipilihlah Atair. Kami mendaftarkan merek dagangnya pada 2018,” ujarnya.
Sejak awal dirancang hingga sekarang, bentuk Atair terus berevolusi. Semula, komponen-komponen Atair dimasukkan ke dalam wadah kedap air dengan probe sensor berada di luar.
Agar mampu bekerja maksimal di perairan, kini Atair dilengkapi pelampung dan sensor untuk mengidentifikasi kualitas air. Nantinya, air akan dianalisis dan dikirim dalam bentuk grafik dengan perantara modem WiFi yang tertanam di dalam microcontroller.
Mengenai akurasi, Atair telah terkalibrasi di laboratorium menggunakan larutan buffer. Sensor yang disertakan seperti sensor pH, sensor suhu, sensor turbiditas (kekeruhan) analog, dan sensor DO juga dikalibrasi agar dapat digunakan di sungai dan menunjukkan hasil akurat.
“Selain mengukur kualitas air sungai, Atair juga memungkinkan untuk dipakai di tambak, danau, waduk, bendungan, instalasi pengolahan air, dan medan perairan lainnya,” jelasnya.
Dibanding produk serupa di pasaran, Atair menawarkan kelebihan fitur oksigen terlarut (DO) yang bisa mendeteksi kadar oksigen di perairan. Semakin banyak kadar oksigen, maka akan semakin baik untuk biota.
“Dari segi Teknik Lingkungan, saya rasa cara kerja Atair sudah optimal, hanya tinggal ditingkatkan di aspek electrical dan mechanical. Untuk pengembangan keduanya, kami menyerahkan kepada Pusat Inovasi dan Inkubator Bisnis (PIIB),” terangnya.
Pengembangan Atair diharapkan dapat menjaga kualitas lingkungan, terutama perairan agar sesuai baku mutu dan tidak menjadi sumber waterborne desease.
Dengan terpantaunya kualitas lingkungan perairan, maka daerah pertanian, perkebunan, dan sawah terjamin mendapat air yang baik lewat sistem irigasinya. Atair juga dapat membantu industri-industri tertentu yang memerlukan data kontinu kualitas air sebagai kendali produksi dan pemantauan lingkungan.