Banjir Bandung Selatan di Tengah Ketidaknormalan Musim
Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, dilanda banjir pada musim yang biasanya kering atau kemarau. Daerah resapan di Bandung Raya semakin berkurang.
Penulis Luqy Lukman Anugrah16 Juli 2022
BandungBergerak.id - Alam telah berubah. Perubahan iklim akibat pemanasan global semakin nyata. Bulan Juli yang biasanya musim kering kini justru banjir, seperti yang dialami warga Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung.
Daerah terendah di Cekungan Bandung itu kebanjiran akibat hujan yang turun sejak Jumat (15/7/2022) sore. Menurut Yayah (45), warga Kampung Muara RT 05 RW 7 Kelurahan Andir, air mulai merendam rumahnya sejak pukul 5 subuh tadi, Sabtu (16/7/2022), saat ia akan pergi ke pasar.
Ibu yang sehari-hari membuka warung ini menambahkan, setiap musim hujan banjir selalu melanda daerah kediamannya, terutama wilayah RT 4,5,6,7 dan 8.
"Sekarang cuma wilayah RW 7 saja terus cuma 5 RT, semuanya kan ada 12 RT, kalau banjirnya gede sudah pasti semua kebanjiran," terang Yayah, saat ditemui BandungBergerak.id di kediamannya.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, baik hujan dengan intensitas tinggi atau rendah, lama atau sebentar, banjir merupakan mimpi buruk.
"Hujan turun sejak kemarin, memang gak besar tapi waktunya lama, hasilnya ya kaya gini banjir," tambahnya.
BMKG merilis bahwa suhu rata-rata di Indonesia sebulan terakhir mengalami anomali, yakni lebih dingin dari biasanya. Normalnya, suhu udara bulan Juni periode 1991-2020 di Indonesia adalah sebesar 26.79 derajat Celsius (dalam range normal 21.4 - 28.7 derajat Celsius). Ketidaknormalan suhu di Indonesia pada Juni 2022 ini merupakan salah satu anomali tertinggi sejak 1981.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tentang Kondisi Lingkungan Hidup di Tengah Perubahan Iklim, Sekjen PBB Antonio Guterres memberikan peringatan kode merah bagi umat manusia akibat terus bertambahnya emisi karbon dioksida. Apabila masih melakukan aktifitas seperti biasa dan tidak mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, maka 20 tahun ke depan bencana akibat perubahan iklim tidak dapat dikendalikan.
Suhu bumi saat ini mengalami peningkatan sebesar 1,1 derajat celsius. Sayangnya, hutan di Indonesia terus berkurang menjadi wilayah tambang dan perkebunan sawit. Menurut data IPBES 2018, setiap tahun Indonesia kehilangan 650 ribu hektar hutan.
Dengan kerusakan hutan yang seluas itu, tidak mengherankan jika kemudian sepanjang tahun 2020, BNPB mencatat terdapat 2.925 kejadian bencana alam di Indonesia, mulai dari banjir, puting beliung, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, serta gelombang panas.
Banjir di Bandung selatan sendiri bertambah luas setiap musim hujannya, yang disinyalir tidak lepas dari semakin sedikitnya daerah tangkapan air, banyaknya hutan-hutan di kawasan Bandung Raya yang menjadi hunian atau bangunan beton. Kondisi ini bisa ditengok dari pesatnya pembangunan di Kota Bandung dan Bandung utara.
Sebagai bagian dari kawasan Bandung Raya, Kabupaten Bandung memiliki jumlah penduduk paling besar yang menghuni 31 kecamatan yang ada, yakni 3.623.790 jiwa dengan komposisi 1.848.018 jiwa laki-laki (51 persen) dan 1.775.772 jiwa perempuan (49 persen) (BPS Kabupaten Bandung 2021). Jumlah penduduk ini meningkat 7,09 persen dari sensus penduduk 2010 dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun (2010-2020) sebesar 1,28 persen.
Kecamatan Baleendah merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak, yaitu 263.724 jiwa atau 7,28 peren dari total penduduk Kabupaten Bandung. Namun, Baleendah – kampungnya Yayah – bersama Dayeuhkolot sekaligus menjadi daerah dataran paling rendah di Cekungan Bandung, yakni 664 mdpl (daerah dataran tertinggi Kertasari, 1.512 mdpl).
Rata-rata daerah yang kerap dilanda banjir di Bandung selatan memiliki jumlah penduduk paling padat. Selain Baleendah, Dyeuhkolot 107.186 jiwa dan Bojongsoang 112.671 jiwa. Bisa dibilang posisi daerah-daerah ini sejajar dengan Sungai Citarum.
Baca Juga: Pembangunan di Jawa Barat tidak Ramah Lingkungan
Walhi Jabar: Selamatkan Lingkungan dan Rakyat, bukan Proyek Kereta Cepat
Walhi Jabar Ingatkan Pentingnya Dialog dalam Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu
Hidup Berdampingan dengan Banjir
Yayah mengaku sudah 17 tahun berdampingan dengan banjir. Ia mulai tinggal di kawasan Bandung selatan sejak 2005, ketika bencana banjir lagi besar-besarnya.
“Sudah 17 tahun hidup dengan banjir, mau gimana lagi dipaksa untuk biasa," katanya.
Masih jelas di ingatannya, lima tahun yang lalu, ia dan keluarga serta warga Kampung Muara yang lain dilanda banjir besar hingga mengakibatkan ia dan warga lainnya mengungsi.
Kala itu, banjir yang hampir menutupi rumah tingkat dua. Banyak dari masyarakat yang harus mengungsi atau memutuskan bertahan di lantai dua rumahnya.
"Paling tinggi 2 meter, saya ngalamin yang tingginya sampai segitu. Kalau sekarang paling 40 cm sampai 1 meter," terangnya
Ibu yang mengandalkan hidup sehari-hari dari berdagang rokok, mie instan, dan kopi siap seduh di depan rumahnya, mengaku tak ada kesempatan menyelamatkan barang berharga ketika banjir tiba.
"Kadang, kalau banjir gede datang sering langsung membuang pakaian, kalaupun mau dicuci, harus gimana nyucinya? Terus di mana?" kata dia.
Tak ada sesuatu yang bisa ia anggap berharga ketika banjir datang, kecuali nyawa. Air sungai Cisangkuy (anak sungai Citarum) yang biasa meluap daerahnya, akan membawa sampah serta bau busuk bangkai hewan.
"Banjir bukan hanya membawa air saja tapi juga sampah, kalau banjir datang sampah itu bisa memanjang hampir 5 meter dari jembatan. Gak maju karena tersendat jembatan," terang dia.
Banjir yang sudah menahun menghampiri kampungnya, kata Yayah merupakan air kiriman dari hulu atau daerah yang lebih tinggi.
Selain musibah banjir yang kerap ia alami tiap tahun, Yayah bercerita bagaimana 3 tahun lalu rumahnya hangus dibakar si jago merah. Harta dan dokumen-dokumen penting milikinya hangus dilahap api.
Kolam Retensi tak Cukup Berpengaruh
Kendati ada kolam retensi yang dibangun pemerintah pusat melalui pemerintah provinsi (Pemprov), Yayah mengaku tak merasakan pengaruhnya dalam mengurangi banjir.
"Kolam retensi yang ada di wilayah sini tidak berpengaruh, berpengaruhnya hanya yang dekat kolam retensi, dekat Kampung Ciputat," kata dia.
Informasi yang ia ketahui, sejauh ini Kampung Muara belum dibuatkan saluran pembuangan air banjir yang menuju ke kolam retensi.
"Kalau terlalu sering mah ya saya juga bosen, kecuali sudah dibangunkan saluran pembuangan air ke kolam retensi mungkin kehidupan kita bisa berubah," pungkasnya.