Nestapa Petani Padi Dikepung Banjir dan Industri
Musim hujan memaksa mereka memanen dini padi di sawah yang terendam banjir. Mereka juga tidak lagi memiliki sawah yang telah dikuasai industri.
Musim hujan memaksa mereka memanen dini padi di sawah yang terendam banjir. Mereka juga tidak lagi memiliki sawah yang telah dikuasai industri.
BandungBergerak.id - Awan mendung menggelayut di kaki langit Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (4/11/2021), ketika para petinggi dunia membicarakan krisis iklim di forum COP 26 nun jauh di Eropa. Konferensi internasional COP 26 yang dihadiri pula oleh Presiden Joko Widodo, antara lain membahas isu pemanasan global yang memicu cuaca ekstrem dan banjir. Di sawah Tegalluar yang dikepung pabrik industri, Ade justru tengah bergelut menarik rakit terbuat dari terpal plastik dan kayu. Di atas rakit penuh dengan padi dengan bulir-bulir menguning. Ia harus berpacu dengan waktu sebelum hujan ekstrem mengguyur dan banjir kembali merendam sawah garapannya.
Petani usia 70 tahun ini wirawiri memanen padi yang juga terendam air bah, memuatnya ke rakit, dan menariknya ke tepian yang kering. Ia hanya dibantu istrinya yang bernama Iar, wanita paruh baya usia 65 tahun.
"Kaki saya linu-linu, mungkin karena terendam air selama berjam-jam," kata Iar sambil memijat kakinya yang sakit kena rematik.
Pagi itu, bukan hanya Ade dan Iar yang dibuat sibuk, nyaris seluruh petani di sejumlah desa di Bojongsoang yang berada di area muara sungai-sungai di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum turun ke sawah lebih dini untuk segera memanen padi mereka. Saat banjir menggenangi permukiman di Baleendah, Dayeuhkolot, dan sebagian Bojongsoang, sawah-sawah pun ikut tenggelam.
DAS Citarum sendiri turut dibahas di konferensi COP 26 oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Banjir yang tiap tahun melanda di sekitar DAS Citarum tak lepas dari rusaknya hutan-hutan penyangga di sekitar DAS Citarum. Sehingga air hujan tak lagi bisa diserap tanah, tapi berlari menuju permukiman dan persawahan.
Di sawah Tegalluar, pematang-pematang sawah dan saluran irigasi berubah jadi kanal. Bulir-bulir padi yang merunduk terendam air sejak semalam. Petani harus berkubang di genangan air dengan kedalaman mulai selutut sampai paha orang dewasa.
Menurut para petani, seharusnya padi baru ideal dipanen dua pekan lagi, namun banjir membuat rencana panen buyar. Padi-padi yang sudah menguning harus segera dipanen. Tak boleh menunggu lama, jika telat dipanen, dipastikan bulir padinya akan busuk.
"Saat banjir pasti limbah dari pabrik-pabrik juga akan ikut limpas ke sawah, ini yang membuat padi rusak jika tak segera dipanen. Perkiraan padi hasil panen yang bisa dijual hanya 50 persen saja, sisanya yang warna hijau tak laku dijual, padi dengan bulir hijau kami konsumsi sendiri," kata salah seorang petani.
Dari guyonan mereka terucap kalau modal Rp 50 juta bakal habis hanya untuk menutup ongkos produksi dan biaya panen yang melonjak karena harus melibatkan banyak tenaga buruh tani agar padi bisa diangkat secepat mungkin dari banjir.
Mungkin itu bukan guyonan semata saat melihat bagaimana para petani seperti berpacu melawan waktu dan cuaca. Mereka memanfaatkan saluran irigasi yang meluap jadi jalur rakit untuk mempercepat proses panen. Padi ditumpuk di rakit yang agak besar, setelah penuh rakit ditarik oleh 2 atau 3 orang. Sementara hujan akan kembali turun.
Mesin-mesin perontok padi ini juga harus disewa. Biayanya Rp 15.000 per 100 kilogram padi.
Setelah padi ditumpuk di tepian, mesin-mesin perontok padi dinyalakan. Tak ada waktu untuk menjemurnya, bulir padi yang sudah rontok langsung masuk karung, dijemur nanti belakangan jika sudah sampai ke rumah petani pemodal atau bandar padi. Mesin-mesin perontok padi itu juga harus disewa. Biayanya Rp 15.000 per 100 kilogram padi.
Selain banjir, petani di Tegalluar menghadapi kenyataan pahit lainnya. Sebagian sawah-sawah yang berdekatan dengan kawasan pabrik ternyata sudah tak dimiliki oleh petani desa setempat. Banyak yang dimiliki oleh pemilik pabrik.
"Saya menyewa lahan sawah ini ke pemilik tanah. Dibayar saat panen, biayanya setara dengan 2 kilogram padi per tumbak lahan yang disewa," kata Iar.
Satu tumbak kira-kira luasnya 14 meter persegi. Iar juga menyisakan beberapa kilogram padi hasil panen untuk bibit musim tanam berikut. "Bisa untuk 2 kali pembibitan, setelah itu benih padi harus beli lagi yang baru, untung ada bantuan benih padi dari pemerintah saat ini, hanya belum tahu kapan dibagikan," katanya.
Ironis nasib petani di tanah kelahirannya sendiri. Saat musim hujan ancaman gagal panen terus menghantui akibat banjir. Dari mulai awal musim tanam sampai panen, petani juga harus menyisihkan sebagian pendapatannya untuk sewa tanah, sewa mesin, dan tembahan ekstra tenaga kerja saat banjir melanda.
Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS