• Kampus
  • Anak Muda Dituntut Aktif Kurangi Pemanasan Global

Anak Muda Dituntut Aktif Kurangi Pemanasan Global

Plastik ketika dibakar akan menghasilkan zat yang terperangkap di atmosfer dan memicu pemanasan global.

Warga menjaring sampah yang punya nilai jual di tumpukan sampah yang menutupi muara Sungai Citepus ke Citarum pasca-hujan lebat di Desa Cangkuang Wetan, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (21/6/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana2 Juli 2021


BandungBergerak.idDampak perubahan iklim akan sangat jelas terlihat di Indonesia. Secara geografis Indonesia terletak di wilayah paling banyak mendapatkan energi matahari. Sehingga peningkatan suhu, meningkatnya muka air laut, hingga penurunan tinggi tanah akan terlihat mencolok.

“Perubahan iklim adalah sebuah fakta dan harus menjadi prioritas karena dampaknya yang perlahan namun pasti,” kata Inlim Ravijai Rumahorbo, Ketua Divisi Pengabdian Masyarakat, Himpunan Taruna Meteorologi dan Klimatologi, Sekolah Tinggi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (STMKG), dikutip dari laman resmi IPB University, Jumat (2/7/2021).

Inlim Ravijai berbicara dalam Podcast GIMICK (Gimana Cara Kita?) yang digelar Pusat Studi Bencana, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PSB - LPPM) IPB University bekerja sama dengan Piarea Institute. Tema yang dibahas adalah “Pemuda Mengenal Loss and Damage Akibat Perubahan Iklim”.

Disebutkan bahwa peningkatan intensitas bencana alam akhir-akhi ini membuktikan bahwa perubahan iklim adalah fakta yang tak dapat dibantah. Penyadaran masyarakat terkait dampak bencana dan perubahan iklim perlu terus digencarkan. Di sinilah pentingnya peran generasi muda sebagai agen perubahan yang peduli risiko iklim.

Podcast dibuka oleh Ikrom Mustofa, Kepala Divisi Kebijakan Bencana dan Iklim PSB IPB University sekaligus Direktur Piarea Institute. Menurutnya, loss and damage mengacu pada dampak perubahan iklim yang tidak dapat dihindari baik dengan kegiatan mitigasi ataupun adaptasi. Namun, dampak tersebut dapat diminimalisir malalui manajemen risiko yang baik.

Hal yang sama juga disampaikan Zafira Puan Adelin, Wakil Ketua Forum Anak Nasional, yang saat ini sedang sekolah di Korea Selatan. Menurutnya, dampak yang paling dirasakan anak-anak adalah suhu lingkungan yang semakin panas. “Tidak hanya di Indonesia, di Korea, musim panas juga terasa lebih panas dari biasanya,” ujarnya.

Anak-anak dan pemuda adalah salah satu kelompok yang paling rentan mengalami dampak dari perubahan iklim. Untuk itu, penting bagi anak-anak mendapatkan literasi yang cukup untuk menghadapi perubahan kondisi lingkungan akibat perubahan iklim.

“Anak-anak sebagai salah satu kelompok rentan sudah diajarkan dari kecil untuk melakukan aksi bahkan yang sangat sederhana. Seperti memilah sampah berdasarkan jenisnya dan membuang pada tempatnya. Namun, seringkali terjadi ironi saat orang tua malah tidak menerapkan aksi tersebut,” imbuhnya.

Saat ini Indonesia memang sudah memiliki banyak kebijakan untuk pengendalian perubahan iklim, termasuk untuk pemuda dan anak-anak. Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana meningkatkan literasi masyarakatnya.

Menurut Zafira, upaya pengendalian perubahan iklim harus dilakukan bersama secara kolaboratif berbagai pihak agar lebih banyak tangan tergapai dan no one left behind.

A Hilmi Rafiiq, Ketua Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi, IPB University, mengatakan perguruan tinggi dapat turun tangan dengan mengerahkan mahasiswa melalui pengabdian masyarakat dan atau Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk menyebarluaskan informasi perubahan iklim.

“Di sinilah peran perguruan tinggi dalam menyadartahukan pemuda terkait dampak perubahan iklim. Contohnya melalui mata kuliah interdept klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB University yang memungkinkan mahasiswa program studi lain juga belajar dan memahami dampak perubahan iklim,” tuturnya.

Baca Juga: Dampak Bencana Perubahan Iklim Diperkirakan Lebih Dahsyat dari Pandemi Covid-19
Walhi Jabar Ingatkan Pentingnya Dialog dalam Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu

Tidak Ada Satu pun Sudut di Dunia Kebal terhadap Perubahan iklim

Guru Besar Laboratorium Ekologi dan Konservasi Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Tjut Sugandawaty Djohan, menuturkan saat ini perubahan iklim adalah krisis yang menentukan keadaan global.

Menurutnya, perubahan atau krisis ini terjadi lebih cepat dari yang ditakutkan. Tidak ada sudut dunia yang kebal dari konsekuensi perubahan iklim yang menghancurkan. Dampaknya beragam mulai dari meningkatnya suhu memicu degradasi lingkungan, bencana alam, cuaca ekstrem, kerawanan pangan dan air, gangguan ekonomi, konflik.

Selain itu, permukaan laut naik, kutub mencair, criosfer mencair, terumbu karang mati, lautan menjadi asam dan hutan terbakar. “Oleh karena itu, dunia harus bertindak,” Tjut Sugandawaty Djohan, dikutip dari laman resmi UGM, Jumat (2/7/2021).

Ia menuturkan, ilmuwan dunia telah lama mewanti-wanti dan prihatin terkait perubahan iklim. Pada 1997, sebanyak 166 negara bertemu di Kyoto membuat janji untuk mereduksi emisi karbon dioksida (CO2) atau disebut gas rumah kaca.

Pada pertemuan tersebut disepakatilah Kyoto Protocol. Selain itu, UN (United Nation) juga tidak tinggal diam dan membentuk badan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam menghadapi bahaya perubahan iklim akibat pemanasan global.

Tjut Sugandawaty menyatakan, Indonesia merupakan bagian dari IPCC. Negara-negara yang masuk IPCC dituntut membuat kebijakan mengurangi CO2 demi mengerem pemanasan global yang saat ini berlangsung.

Tjut Sugandawaty menyebutkan terdapat beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah krisis iklim. “Secara sederhana, hal-hal yang bisa kita lakukan adalah dengan 3R (Reuse, Reduce dan Recyle) untuk berusaha tidak menggunakan plastik. Bawa botol minum sendiri, bawa piring sendiri ketika mau makan,” katanya.

Apa hubungannya plastik dengan perubahan iklim (climate change)? Plastik diproduksi dari proses pembakaran, lalu tidak jarang sampah plastik juga dibakar. “Ini menimbulkan masalah baru karena menghasilkan senyawa kimia yang dinamakan zat karsinogenik (salah satu pemicu pemanasan global). Kyoto Protocol sudah mengatur tentang itu,” ujarnya.

Thalia V. Tamahagana, pemerhati lingkungan, mengajak anak muda untuk turut mengedukasi diri dan berkontribusi mengenai perubahan iklim yang terjadi. Contoh aksi yang bisa dilakukan adalah memakai produk lokal atau bisnis kecil, beralih ke zero waste living dan bergabung dengan komunitas pemerhati lingkungan.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//