Kontroversi Anwar Usman Meruntuhkan Kepercayaan Publik pada Mahkamah Konstitusi
Menelaah putusan MKMK yang memecat Anwar Usman dari jabatan Ketua MK. YLBHI mendesak agar Anwar Usman mundur sebagai hakim konstitusi.
Penulis Awla Rajul10 November 2023
BandungBergerak.id - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memecat Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK. Dia dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat etik atas putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang disebut-sebut menjadi “karpet merah” bagi putra Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka sekaligus keponakan sang hakim untuk dicalonkan sebagai calon wakil presiden.
Keputusan MKMK menuai kritik keras dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) dan 18 LBH Kantor. Organisasi pengacara publik ini menilai putusan MKMK bermasalah dan melukai rasa keadilan bagi warga yang melawan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
YLBHI menyatakan kecewa terhadap putusan MKMK yang semestinya memberikan putusan pemberhentian dengan tidak hormat. Selain itu, MKMK dinilai keliru karena membiarkan berlakunya putusan ‘90’ yang seharusnya dinyatakan tidak sah.
Kritik pedas YLBHI pada putusan MKMK berbeda dengan pendapat pakar hukum. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Valeri B. Jehanu menyatakan, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2023, sanksi terhadap pelanggaran etik berat adalah diberhentikan jabatannya sebagai hakim konstitusi.
Namun alih-alih memberhentikan Anwar Usman sebagai hakim konstitusi, MKMK hanya memberhentkan jabatannya dari ketua MK.
Valeri berpendapat, langkah itu diambil MKMK sebab jika Anwar Usman diberhentikan, sebagaimana tercantum dalam PMK 1/2023, dia berhak untuk mengajukan banding. Masalahnya, Majelis Kehormatan tingkat banding belum dibentuk dan belum ada peraturannya. Jika Anwar Usman mengajukan banding maka akan memunculkan ketidakpastian hukum.
“Jadi supaya tidak ada proses lebih lanjut dan selesai di situ, maka MKMK menganggap ya sudah cukup selesai di sini dengan sanksinya adalah hanya berhenti sebagai ketua MK dan tidak boleh terlibat dalam memutus perkara perselisihan soal pemilu,” terang Valeri, kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Rabu, 8 November 2023.
Valeri juga sepakat dengan langkah MKMK yang tidak masuk ke ranah menganulir putusan MK nomor 90. Sebab, MKMK adalah peradilan etik, bukan peradilan banding terhadap putusan MK. Putusan MK pun tidak bisa digugurkan oleh putusan MKMK.
Valeri memberikan pandangan berbeda terkait putusan nomor 90 MK yang digadang-gadang sebagai karpet merah bagi Gibran Rakabuming untuk menjadi cawapres. Ia membaca pertimbangan hukum para hakim dari putusan 90 dan memaknainya bukan sebagai karpet merah bagi sang anak presiden.
Pada putusan tersebut, ada lima hakim yang menyatakan setuju, namun dua di antaranya concurring opinion, yaitu setuju namun dengan alasan dan pertimbangan berbeda. Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Foekh menyatakan pertimbangannya bahwa syarat kepala daerah yang dimaksud bisa menjadi capres/cawapres adalah setingkat provinsi, yaitu gubernur.
Valeri menyimpulkan, titik temu dari lima hakim yang setuju ada pada syarat memimpin di provinsi.
“Kalau yang tiga itu kan gubernur dan walikota, tapi kalau kita akumulasi, tiga tambah dua itu ketemunya hanya sampai gubernur. Artinya harusnya KPU menyatakan bahwa pencalonan Gibran kemarin itu TMS (tidak memenuhi syarat). Tapi pertanyaannya, berani gak KPU untuk melakukan itu?” ungkap Valeri tegas.
Fakta lain, putusan nomor 90 MK mengingkari tiga keputusan-keputusan sebelumnya yang juga menguji batasan usia capres-cawapres. Barulah keputusan 90, sikap MK berubah dalam waktu sekejap. Untuk menganulir keputusan 90, menurut Valeri harus dilakukan uji materi kembali soal batas usia capres dan cawapers dengan argumentasi yang berbeda. Hal ini dilakukan agar tidak dianggap mengulangi apa yang sudah diputuskan. Langkah ini pula juga sedang ditempuh oleh salah satu mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Brahma Aryana.
Di sisi lain, dalam konteks waktu KPU akan menetapkan capres/cawapres pada 13 November mendatang. Uji materi batas usia capres/cawapres yang baru masuk tersebut akan sangat mungkin tertinggal dari putusan KPU.
“Jadi menurut saya keputusan mengenai pencalonan Gibran ini panglimanya KPU sekarang. Kalau KPU menggunakan penafsiran putusan MK 90 sebagai putusan yang plural, artinya tidak ada alasan yang sama sekali sepakat kecuali terkait gubernur tadi, harusnya dia mengeluarkan keputusan Gibran itu tidak memenuhi syarat, dengan demikian dia diganti dengan calon yang lain,” pungkas kepala LBH Pengayoman Unpar ini.
Pil Pahit buat Mahkamah Konstitusi
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran (Unpad) Susi Dwi Harijanti juga berpendapat MKMK tidak berwenang menganulir putusan 90. Keputusan MK adalah keputusan hukum. Jika ada ketidakpuasan pada putusan MK maka mekanisme yang harus ditempuh adalah dengan permohonan uji materi.
Susi juga menyebut sanksi terhadap pelanggaran etik berat adalah diberhentikan dari hakim konstitusi. Namun, sesuai PMK 1/2023 Anwar Usman wajib menyampaikan pembelaan di MKMK banding. Sedangkan MKMK banding belum dibentuk dan peraturannya belum ada.
“Oleh karena itu saya menduga, ini dugaan saya pribadi mengapa kemudian MKMK mengambil keputusan itu, jadi bukan pemberhentian tidak dengan hormat tapi diberhentikan sebagai ketua MK yaitu untuk memastikan agar putusannya bisa segera diberlakukan,” ungkap Guru Besar Hukum Tata Negara ini.
Susi menegaskan, momen ini merupakan pelajaran yang harus diambil MK. Susi merujuk pada piercil principal yang disampaikan oleh Titi Anggraini, salah seorang aktivis pemilu dan sempat menjabat sebagai Ketua Perludem. Dalam prinsip tersebut seharusnya pengadilan tidak memberikan putusan apalagi jika keputusan tersebut sudah dekat dengan proses tahapan pemilihan umum.
Keputusan ‘90’ MK melahirkan gonjang-ganjing dan kontroversial. Keputusan ini berdampak pada turunnya kepercayaan publik pada lembaga konstitusi negara. Sehingga menurutnya, salah satu keputusan MKMK yang menyatakan bahwa Anwar Usman tidak dapat lagi memeriksa dan memutuskan sengketa pemilu adalah benar.
“Itu clear menurut saya, untuk tidak memasukkan pak Anwar Usman. Jadi udah gak boleh memang, jadi beliau gak bisa itu pegang-pegang perkara seperti itu. Nah itu dilakukan dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik gitu, gimana hakim konstitusi yang sudah dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat tetapi tetap memeriksa perkara-perkara, terutama sengketa pemilihan umum,” tandas Susi.
Baca Juga: Membaca Kerapuhan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2024
Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Gugatan UU Cipta Kerja Membahayakan Demokrasi dan Konstitusi
Kritik Keras Mahasiswa Bandung atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Batas Usia Capres dan Cawapres
YLBHI Mendesak Anwar Usman Mundur
Selain mengkritik keputusan MKMK, YLBHI dan 18 LBH Kantor menyatakan status MKMK sebagai lembaga yang bersifat ad hoc dan komposisi MKMK yang diduga juga memiliki konflik kepentingan, dinilai semakin menguatkan keraguan publik pada penjaga marwah konstitusi itu.
YLBHI mengacu pada Pasal 41 huruf c jo Pasal 47 PMK No.1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dan sebagaimana fakta hukum bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat, seharusnya seluruh majelis hakim MKMK memutuskan memberhentikan Anwar Usman dari jabatannya sebagai hakim konstitusi dan Ketua MK.
Sayangnya, hanya hakim Bintan S Saragih yang konsisten dengan pandangan tersebut melalui dissenting opinion.
YLBHI juga memandang bahwa putusan MKMK gagal menjawa kebutuhan mendesak penyelamatan MK dari krisis kepercayaan publik. MKMK dianggap tidak berani mengambil momentum untuk melakukan koreksi terhadap putusan ‘90” MK yang bermasalah. Padahal MKMK dapat menyatakan putusan dianggap tidak sah jika diambil oleh hakim yang memiliki konflik kepentingan dan harus diperiksa kembali oleh hakim yang berbeda, sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (6) dan (7) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
YLBHI pun menyebut keberadaan Anwar Usman akan menjadi beban dan bom waktu bagi MK terkait isu integritas, independensi, dan imparsialitas MK untuk menjalankan tugas menjaga demokrasi dan konstitusi.
“Putusan etik ini menjadi preseden buruk dan menunjukkan bahwa MK sekarang adalah “MK yang masih bermasalah dan rusak,” demikian keterangan resmi YLBHI.
“Adalah tidak pantas dan tidak masuk akal mempertahankan orang yang terbukti tidak layak menjadi hakim Mahkamah Konstitusi,” lanjut YLBHI.
Selain itu, YLBHI dan 18 LBH Kantor mendesak Anwar Usman untuk segera mengundurkan diri sebagai hakim MK. YLBHI juga mendesak MK dan lembaga negara yang berwenang untuk melakukan evaluasi dan koreksi terhadap keberadaan MKMK yang ad hoc. Organisasi pengacara publik ini mengajak warga untuk terus berjuang menyelamatkan Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi dari kehancuran akibat skandal “Mahkamah Keluarga”.
*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain Mahkamah Konstitusi