• Nusantara
  • Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Gugatan UU Cipta Kerja Membahayakan Demokrasi dan Konstitusi

Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Gugatan UU Cipta Kerja Membahayakan Demokrasi dan Konstitusi

Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku. Berpihak pada oligarki sekaligus menyengsarakan rakyat.

Buruh mendesak pencabutan UU Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi sudah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana3 Oktober 2023


BandungBergerak.idMahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan “menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya” dalam gugatan uji formil yang dilakukan serikat buruh terhadap Undang-undang (UU) Cipta Kerja. MK menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku, Senin, 2 Oktober 2023.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai putusan MK menunjukkan pengkhianatan nyata para hakim MK terhadap demokrasi dan konstitusi. Putusan ini dianggap memalukan mengingat MK mengingkari sendiri putusan sebelumnya yang mengatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional.

MK menilai bahwa dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. MK membenarkan alasan “kegentingan yang memaksa” dalam pembentukan Perppu Cipta Kerja yang akhirnya menjadi undang-undang ini dengan pertimbangan terdapat krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi perang Rusia-Ukrania dan krisis ekonomi akibat adanya Covid-19.

“Padahal dengan adanya UU Cipta Kerja, rakyatlah yang justru ditenggelamkan dalam situasi krisis. Peraturan mengenai pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel dan dihilangkannya hak-hak dasar semakin membuat buruh tidak memiliki jaminan kepastian kerjanya,” demikian dikutip dari keterangan resmi YLBHI, Selasa, 3 Oktober 2023.

Dalam catatan YLBHI, UU Cipta Kerja yang kurang lebih sudah berjalan dalam kurun 3 tahun ini juga telah memperparah krisis agraria dan ketimpangan penguasaan lahan. Tak luput pula, UU Cipta Kerja telah terbukti menjadi instrumen hukum yang ampuh untuk melegitimasi praktik-praktik bisnis yang merusak lingkungan.

Di saat yang bersamaan dengan adanya UU Cipta Kerja, kekayaan para oligarki politik dan bisnis meningkat drastis. Maka, lanjut YLBHI, dukungan MK terhadap alasan “kegentingan yang memaksa” secara langsung mendukung penindasan oligarki terhadap rakyat tertindas di negeri sendiri.

MK juga mengabaikan gugatan mengenai fakta diabaikannya prinsip “partisipasi bermakna” dalam pembentukan undang-undang atas alasan terminologi tersebut hanya berlaku pada pembentukan undang-undang bukan Perppu yang notabene membutuhkan waktu cepat. Pengabaian ini menurut YLBHI membenarkan praktik menginjak-injak nilai-nilai demokrasi.

“Putusan UU Cipta Kerja tersebut menunjukkan kegagalan MK menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi dan konstitusi. MK kini justru bertransformasi menjadi penjaga kepentingan kekuasaan dan oligarki,” kata YLBHI.

Dalam putusan tersebut terlihat komposisi Hakim MK yang sama dengan perkara sebelumnya, yaitu 4 hakim MK yang menyampaikan dissenting opinion menolak putusan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja. Mereka adalah Anwar Usman (Ipar Presiden Jokowi), Arif Hidayat, Daniel Yusmic, Manahan MP Sitompul ditambah dengan Hakim Guntur Hamzah. Nama terakhir ini diangkat menggantikan Hakim Aswanto yang direcall secara ilegal oleh DPR dan memulai karir hakimnya dengan pelanggaran etik karena kasus pemalsuan frasa putusan.

Kelima hakim tersebut unggul suara melawan 4 hakim MK yang sebelumnya mengabulkan permohonan uji formil dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Keempat orang hakim MK itu ialah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo. Nyatanya, keberpihakan 4 hakim MK terhadap UUD 1945 dan rakyat tersebut tak cukup kuat untuk membendung siasat licik para oligarki.

Berkaca dari situasi diatas YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Putusan MK yang mempertahankan UU Cipta Kerja adalah bukti nyata robohnya independensi Mahkamah Konstitusi dan bentuk kongkrit pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi dan konstitusi UUD 1945;

2. Putusan MK UU Cipta Kerja adalah hasil dari orkestrasi politik “campur tangan” rezim pemerintahan Jokowi terhadap independesi lembaga Yudikatif melalui upaya pelemahan independensi MK yang dilakukan dengan revisi UU MK, pemberian bintang jasa kepada para hakim MK aktif dan pemberhentian paksa Hakim Aswanto termasuk konflik kepentingan ketua MK yang kini menjadi ipar Presiden.

3. Menyerukan kepada masyarakat Indonesia untuk terus melakukan perlawanan konstitusional dan jalanan dengan aksi-aksi massa guna membatalkan UU Cipta Kerja maupun peraturan atau Kebijakan Negara yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, HAM dan Negara Hukum.

Baca Juga: UU Cipta Kerja Berdampak Buruk pada Sektor Pengupahan dan Lingkungan
Mahasiswa Bandung Menghadiahi Telur Busuk kepada DPRD Jabar sebagai Simbol Penolakan UU Cipta Kerja
Turun ke Jalan, Mahasiswa Bandung Menolak Perpu Cipta Kerja

Pengabaian Aspirasi Rakyat

Sejak awal, Perppu Cipta Kerja yang kemudian menjadi UU Cipta Kerja dirancang secara gegabah dan tergesa-gesa. Hal ini pernah diungkap Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena.

“Langkah DPR gegabah. Penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh pemerintah pada dasarnya sudah bermasalah. Kami melihat penerbitan Perppu ini tidak mengandung unsur kedaruratan sebagaimana klaim pemerintah. Dengan penerbitan dan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU, Pemerintah dan DPR dapat dianggap tidak menghargai dan mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi pada November 2021,” terang Wirya Adiwena, dikutip dari laman Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena, 22 Maret 2023.

Wirya mengacu pada putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional. Menurutnya, Perppu Cipta Kerja mendapatkan penolakan secara luas oleh berbagai kalangan masyarakat, mengingat luasnya dampak Perppu ini terhadap berbagai lini kehidupan. Dalam situasi ini DPR harusnya lebih berhati-hati dalam menyikapi Perppu Cipta Kerja dan tidak gegabah maupun terburu-buru dalam melakukan pengesahan.

“DPR sebagai wakil rakyat seharusnya mendengarkan aspirasi rakyat, bukan terang-terangan mengabaikannya,” kata Wirya.

Penerbitan Perppu Cipta Kerja yang dilakukan tanpa mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat jelas merenggut hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam urusan publik, seperti yang telah tertulis dalam Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005.

Dalam Penjelasan Umum UU nomor 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga ditegaskan bahwa proses pembentukan aturan perundang-undangan harus dilakukan dengan partisipasi bermakna, yang mensyaratkan adanya hak warga untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. 

* Simak tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, atau tulisan-tulisan lain tentang UU Cipta Kerja

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//