• Berita
  • Turun ke Jalan, Mahasiswa Bandung Menolak Perpu Cipta Kerja

Turun ke Jalan, Mahasiswa Bandung Menolak Perpu Cipta Kerja

Mahasiswa Bandung turun ke jalan menuntut pencabutan Perpu Cipta Kerja. Disahkan tanpa urgensi dan berpotensi merampas banyak hak rakyat.

Mahasiswa berunjuk rasa menuntut pencabutan Perpu Cipta Kerja di depan Gedung Sate Kota Bandung, Selasa (28/2/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau28 Februari 2023


BandungBergerak.id – Gelombang penolakan terhadap Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Cipta Kerja terjadi di beberapa kota di Indonesia. Di Bandung, mahasiswa yang tergabung dalam Simpul Protes Rakyat Indonesia-Bandung menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate, Selasa (28/2/2023) siang. Mereka menuntut pemerintah mencabut Perpu tersebut.

Aksi unjuk rasa dilakukan unsur mahasiswa dari Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung, juga melibatkan para pegiat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung turut mendampingi para peserta aksi.

Dalam orasinya, mahasiswa meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menolak mengesahkan Perpu yang diterbitkan oleh Presiden pada 30 Desember 2022 lalu itu. Tidak ada urgensi yang melatari penerbitan peraturan tersebut.

“Ada urgensi apa Perpu disahkan? Yang terjadi, keadilan sosial bagi investor,” ungkap Andrian, salah satu mahasiswa.

Koordinator unjuk rasa Alwi menyebut Perpu Cipta Kerja merupakan akal-akalan rezim Jokowi dan Ma’ruf Amin untuk mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja yang sebelumnya sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.

Menurut Alwi, Perpu Cipta Kerja bukan solusi untuk krisis ekonomi dan politik Indonesia. Karena akar masalahnya adalah monopoli lahan, intervensi asing, serta pemerintah yang korup, yang harus dilakukan pemerintah adalah membebaskan tenaga produktif bangsa lewat land reform sejati. Bukan dengan mengundang investasi asing yang merusak.

“Dengan land reform sejati dan pembangunan industri nasional, bangsa kita mampu keluar dari krisis ekonomi yang hari ini dianggap Presiden Jokowi itu harus diselesaikan dengan Perpu Cipta kerja,” ungkapnya ditemui Bandungbergerak.id di lokasi.

Alwi berpendapat, kekosongan hukum bukan alasan tepat untuk Perpu Cipta Kerja karena masih ada undang-undang lain. Kengototan pemerintah mengesahkan peraturan ini dikhawatirkan menjadi kabar buruk bagi masa depan yang baik bagi rakyat Indonesia.

Sikap LBH Bandung dan Walhi Jabar

Heri Pramono dari LBH Bandung mengungkapkan bahwa Perpu yang diterbitkan tidak mengubah apapun dari UU Cipta Kerja yang sarat malasah. Dari segi formil, undang-undang ini tidak partisipatif. Dalam unsur materiil, undang-undang ini tidak demokratis sehingga sangat merugikan masyarakat. Tak hanya sektor perburuhan, tapi juga di sektor-sektor lain.

“Gentingnya dari segi mana? Apa yang membuat faktor genting pemerintah sehingga membuat peraturan perundang-undangan. Bagi kami, ini mungkin kegentingan untuk memberikan kepastian kepada aktor-aktor kapital atau oligarki. Mungkin itu penting bagi oligarki. Tapi bagi masyarakat ini kan genting untuk bisa ditolak,” ungkapnya.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W. Paendong menyoroti bagaimana pelibatan partisipasi publik dalam perumusan UU Cipta Kerja dihilangkan. Salah satunya adalah reduksi pelibatan masyarakat dalam konteks monitoring dampak-dampak lingkungan. Ada pasal yang terkait dengan Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) ada peluang dihapuskan.

Terkait amdal, selama ini dalam menilai amdal ada tim  khusus dan tim teknis penilai amdal, dalam peraturan Omnibus Law ini tim teknis dihapus, dan nanti akan digantikan oleh tim yang nanti ditentuka oleh pemerintah pusat. Selama ini tim teknis yang dibentuk berada di daerah-daerah kabupaten kota dan provinsi. Namun dalam peraturan ini dihapuskan.

Aspek lainnya yang juga disoroti Walhi Jawa Barat izin lingkungan dihapus. Sedangkan zjin lingkungan merupakan instrument bagi publik untuk memantau apa bila ada keberatan dapat digugat, namun ketika instrument ijin lingkunga ini dihapus artinya tak ada lagi instrument yang dapat digugat jika terjadi kesalahan. Atau ketika suatu usaha ada pelanggaran lingkungan tak bisa dipantau oleh masyarakat.

“Ini sorotan-sorotan yang penting kenapa secara organisasi kami secara tegas menolak,” ungkapnya.

Meiki juga mengecam pemerintah yang menyangkutpautkan isu perubahan iklim sebagai kegentingan dalam penerbitan Perpu. Tindakan ini adalah aksi membajak isu sebagai legitimasi karena sejatinya dua hal ini sangat kontradiktif.

“Substransinya (Perpu Cipta Kerja) tidak membahas masalah perubahan iklim dan kegentingan. Artinya ini menurut kami ini terjadi kecurangan dalam penerbitan Perpu ini,” tuturnya.

Baca Juga: Buruh Bandung Raya Desak Pencabutan UU Cipta Kerja
Demokrasi, Kedaruratan, dan Perpu

Suara dari Perempuan

Penolakan-penolakan terhadap Undang-undang Cipta Kerja juga datang dari mahasiswi-mahasiswi yang turut hadir mewakili suara perempuan dan buruh. Adinda Putri Chaniavatov, mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia UPI mengaku aneh dengan penerbitan Perpu Cipta Kerja.  Merujuk kajian yang dilakukan rekan-rekannya di UKSK UPI, tak ada keadaan yang mendesak atau urgen untuk menerbitkan Perpu. Secara khusus, Adinda menyoroti beberapa isu yang terkait langsung dengan hak-hak perempuan, seperti cuti haid, cuti melahirkan, dan gaji bagi buruh perempuan.

“Saya sendiri sebagai perempuan dari sektor mahasiswa yang nantinya akan menjadi buruh juga ya turun ke aksi kampanye ini untuk menolak adanya Cipta Kerja ini,” ungkapnya.

Rahma Husna, mahasiswi Pendidikan Tata Boga UPI, mengungkapkan keprihatinan tentang besarnya dampak peraturan ini bagi perempuan. Secara khusus dia menyoroti dampak buruk ke tata kelola pangan dan tanah di Indonesia.

Berkat UU Cipta Kerja yang memakai pendekatan domein verklaring, nantinya tanah-tanah yang sudah tidak digarap akan bisa dikelola oleh pemerintah dan didistribusikan untuk proyek-proyek strategis nasional yang tentu saja melibatkan para investor. Ini tidak adil bagi masyarakat, terutama petani penggarap, dan berpotensi memicu konflik-konflik agraria.

“Yang ada dalam pikiran saya, petani itu garda terdepan ketahanan pangan Indonesia,” kata Rahma. “Ketika petani sudah tidak mendapatkan akses terhadap tanahnya, sulit untuk menggarap.” 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//