• Opini
  • Demokrasi, Kedaruratan, dan Perpu

Demokrasi, Kedaruratan, dan Perpu

Perpu Cipta Kerja memperjelas asumsi otoritarianisme yang bersemayam dalam sistem demokrasi di Indonesia.

Fajrin Sidek

Alumnus Jurusan Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung

Buruh dari serikat pekerja KASBI saat aksi unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat, 14 Oktober 2021. KASBI terus mendesak pemerintah untuk membatalkan omnibus law dan aturan-aturan yang merugikan buruh dalam aksi yang juga digelar sebagai bagian dari peringatan berdirinya Federasi Serikat Buruh Dunia atau World Federation of Trade Unions. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

12 Januari 2023


BandungBergerak.id—Apa yang membuat suatu kondisi dianggap darurat dalam sebuah negara yang menggunakan sistem demokrasi? Apakah dengan keadaan darurat tersebut tindakan yang tidak demokratis perlu dilakukan? Suatu tindakan yang tidak demokratis di negara demokratis. Ini Paradoks.

Indonesia bukan kali pertama berhadapan dengan status kedaruratan. Pasca Peristiwa tahun 1965, Negara (melalui Militer) membunyikan alarm kedaruratan terhadap ideologi komunisme. Secara politik (dalam narasi Orde Baru) berdasar pada TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, komunisme dianggap sebagai ancaman yang berpotensi merusak dan menghancurkan negara. Di sisi lain, Komunisme merupakan antitesa agama. Ia adalah sebuah pikiran bagi orang-orang tak bertuhan. Hingga apapun yang bersinggungan dengan komunisme, pantas untuk raib. Ia adalah musuh bagi masyarakat yang bernegara dan beragama.

Peristiwa Genosida 65-66 —pembantaian tanpa peradilan, pemenjaraan dan penghukuman orang-orang di Pulau Buru, anak cicit keturunan komunisme yang dibedakan perlakuannya, hingga persekusi lainnya yang tak berujung sepanjang masa itu adalah dampak dari alarm kedaruratan yang dinyalakan oleh Negara. Suatu tindakan di luar nalar demokratis di negara dengan sistem demokrasi. Dampaknya juga tak hanya itu, kedaruratan atas komunisme tidak hanya tertuju kepada mereka-mereka yang dianggap kader partai komunis, simpatisan, atau afiliasi lainnya. Namun, Kedaruratan itu juga bahkan sempat menyasar jenderal-jenderal Orde Baru. Ali Moertopo, Soedharmono, R.H. Sugandhi tak luput dari tuduhan itu. Kedaruratan menjadi senjata politik yang ampuh menyerang siapa pun.

Alarm kedaruratan tak hanya hadir di masa Orde Baru. Di era ini, agama menjadi sasaran kedaruratan. Agama dengan tindak tanduk yang radikal. Agama yang mengarah pada aksi-aksi teror. agama yang menganut paham ekstremisme. Sontak organisasi-organisasi yang dianggap mempromosikan paham tersebut dibubarkan. HTI Bubar melalui Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. FPI Bubar melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 6 menteri Kementerian/Lembaga sejak 30 Desember 2020.

Lalu, krisis kesehatan akibat merebaknya Covid-19 ke Indonesia pun ditanggapi secara darurat. Kondisi kedaruratan tersebut memaksa setiap warga negara untuk membatasi dan sebagian menghentikan aktivitas interaksi langsung. Suatu kondisi yang memaksa ruang pendidikan, ruang ibadah, pasar hingga tempat kerja dibatasi. Hal tersebut diupayakan untuk mencegah penularan virus semakin menyebar. Maka untuk itu Pemerintah menetapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM. Namun, sialnya kedaruratan tersebut malah menjadi aji mumpung pemerintah untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang problematik itu.

Baru-baru ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu yang digunakan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebuah undang-undang yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, dan mesti diperbaiki. Undang-undang ini sejak awal kontroversial, sebab dianggap mengancam hak asasi para buruh di Indonesia.

Meski demikian, gairah politik pemerintah untuk mengesahkan Undang-undang Cipta Kerja tak pernah surut. Berdalih dengan menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 yang memperbolehkan Presiden mengeluarkan Perppu akibat adanya status kegentingan yang memaksa, Undang-Undang Cipta Kerja yang inkonstitusional itu berubah menjadi konstitusional.

Bagaimana tanggapan Publik? Banyak kritik yang disampaikan atas tindakan pemerintah tersebut. Salah satunya, Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam artikel yang dimuat di Kompas pada tanggal 5 Januari 2023 berjudul “Otoriterianisme Berbungkus Hukum”, mengkritik langkah pemerintah yang dinilai melakukan tindakan autocratic legalism yakni penggunaan hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis.

Atas dasar situasi yang genting serta suatu keadaan darurat itu direduksi oleh kekuasaan dengan cara tindakan yang justru menyalahi nilai-nilai demokrasi. Kegentingan dan kedaruratan menjadi alasan penting bagi kekuasaan untuk menetapkan hukum sekaligus menangguhkan hukum.

Baca Juga: Tenda Pengungsian yang Efektif untuk Korban Bencana Alam
Bahasa Prokem dan Eksistensi Bahasa Indonesia
Di Balik Selubung Pendidikan Sekolah Yayasan
Taman Vertikal Solusi Rumah Minim Lahan dan Ramah Lingkungan

Produk Hukum yang Darurat

Status kedaruratan tersebut hadir dengan menggunakan legitimasi hukum. Kedaruratan diterapkan yang kemudian dipaksakan disebabkan adanya faktor kegentingan yang memerlukan tindakan sesegera. Meski tindakan tersebut menyalahi aturan hukum yang berlaku. Tindakan hukum yang mengangkangi hukum itu sendiri. Drama politik ini, sesungguhnya telah menyeret nalar publik ke ruang pikiran yang kontradiktif.

Saya akan memulai ini dengan disertasi Agus Sudibyo yang meneliti tentang filsafat politik Giorgio Agamben, yang kemudian dibukukan  dengan judul “Demokrasi dan Kedaruratan; Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben". Agus Sudibyo menuliskan, “Hukum dalam negara demokrasi selalu tampil membawa janji tentang kesetaraan, keadilan dan absennya kekerasan dalam kehidupan bersama. Namun faktanya, dalam negara demokrasi kepastian hukum sering ditangguhkan, prinsip kekuasaan diabaikan dan hak-hak  sipil dilanggar ketika negara tersebut mengalami apa yang disebut dengan Keadaan Darurat”.

Indikator dari munculnya status Keadaan-Darurat dalam suatu negara ialah dengan hadirnya “Suspension Of Law” atau Penangguhan Hukum, yang orientasinya ditunjukkan untuk melindungi masyarakat dari praktik kekerasan yang mungkin terjadi. Hal tersebut mengharuskan lenyapnya bentuk separasi kekuasaan, sejurus dengan praktik militerisasi yang diperluas dengan hampir menjangkau urusan-urusan publik. Agamben lalu menyebutnya sebagai State of Exception yakni suatu Penyelenggaraan Keadaan-Darurat atau Keadaaan-Pengecualian.

Dalam Bukunya Agamben yang berjudul “Democacy in What State?” sebagaimana dikutip oleh Agus Sudibyo, menjelaskan bahwa demokrasi sedari awal merupakan kekaburan antara Kekuatan-pembentuk-konstitusi (constituting power) dan Kekuatan-pelaksana-konstitusi (constituted power). Yaitu kekaburan antara kekuatan yang melahirkan kekuasaan politik dengan kekuatan yang menjalankan kekuasaan politik.

Di sejarah politik Yunani, keduanya juga dimaknai dengan sebutan Politeia dengan pengertian kekuatan-pembentuk-konstitusi serta Politeuma yang berarti kekuatan-pelaksana-konstitusi. Yang keduanya itu melebur dan terintegrasi kedalam satu sosok, Kyrion, dimana Agamben menyebutnya dengan istilah The Sovereign Power atau Kekuasaan Berdaulat.

Penjelasan teoritis di atas, digunakan sebagai bahan analisis yang hendak saya sampaikan, khususnya berkaitan dengan pertautan antara pembentukan produk hukum yang dipaksakan terbit akibat dari suatu keadaan darurat yang genting dengan konteks negara yang berjalan dalam suatu sistem demokrasi, namun mengandaikan cara-cara di luar praktik demokrasi itu sendiri.

Spesifikasi apa yang membuat suatu negara tengah mengalami kegentingan atau keadaan darurat? Ancaman yang paling nyata atas keadaan darurat tersebut bisa terjadi akibat peperangan, pemberontakan, hingga bencana alam besar yang harus diselesaikan dengan tindakan segera. Namun persoalannya adalah term keadaan genting atau keadaan darurat tersebut dimaknai oleh kehendak politik penguasa, yang berada di tangan The Sovereign Power. Keadaan darurat bermakna secara luas.

Legitimasi atas pelarangan ideologi komunisme, pembubaran HTI sebab mengancam Pancasila, FPI yang dianggap sebagai aktualisasi dari paham radikalisme agama, pembatasan ruang publik atas krisis kesehatan yang mengarah pada tindakan arbiter aparatur negara, hingga terbitnya Perpu Cipta Kerja memperjelas asumsi otoritarianisme yang bersemayam dalam sistem demokrasi.

Hal ini merupakan praktik peleburan Kekuatan Pelaksana dan Pembentuk Konstitusi yang tergabung dalam suatu kekuasaan negara, di mana kemudian mengarah pada konsepsi otoritarianisme. Maka wajar jika praktik-praktik politik hukum yang tidak berdasar pada hukum dijalankan, meski mengangkangi nilai-nilai demokrasi. Itulah mengapa, banyaknya produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah khususnya yang berupa Perpu dapat dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh Kekuasaan Berdaulat dengan dalih keadaan darurat.

Sebab menurut Giorgio Agamben penyelenggaraan Keadaan Darurat bukan hanya pada konteks penyelenggaraan rezim totaliter atau transisi revolusioner untuk menumbangkan rezim totaliter, tetapi utama sekali dalam konteks normal negara demokrasi.

Hukum yang Demokratis

Lahirnya suatu produk hukum, tidak lepas dari tindakan-tindakan politis atau konfigurasi politik dari suatu negara. Di sini saya ingin mengutip tulisan Mahfud MD dalam bukunya berjudul, “Politik Hukum di Indonesia”, yang terbit pertama kali pada tahun 2009, jauh sebelum dia sekarang menjabat sebagai Menkopolhukam.

Mahfud MD mencatat jika dalam sebuah negara terdapat konfigurasi politik yang demokratis, maka negara tersebut akan melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif/populistik. Sebaliknya, jika suatu negara konfigurasi politiknya otoriter maka akan melahirkan produk hukum yang berkarakter elitis/konservatif/ortodoks.

Konfigurasi politik yang demokratis dicirikan dengan adanya keterbukaan partisipasi masyarakat sehingga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk ikut aktif dalam menentukan kebijakan. Sedangkan ciri dari konfigurasi politik yang otoriter memungkinkan negara berperan secara dominan hingga hegemonik atas segala pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh elite-elite politik.

Partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan misalnya, telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, di mana masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan dan tulisan pada setiap tahap pembentukan peraturan perundangan-undangan.

Namun, sangat disayangkan masukan dari masyarakat ini jarang dilibatkan dalam proses pembentukan undang-undang terutama kelompok buruh yang sangat terdampak atas berlakunya Undang-undang Cipta Kerja. Beragam elemen serikat buruh yang menolak Undang-undang Cipta Kerja baik melalui jalur demonstrasi hingga pengajuan Judicial Review yang konon dianggap lebih konstitusional, tak pernah menjadi perhatian utama dalam pembentukan undang-undang tersebut. Dalam hal ini kita patut untuk menduga bahwa dengan hilangnya hak partisipasi publik dalam pembentukan produk hukum, maka konfigurasi politik kita telah mengarah pada bentuk otoriter yang hanya mengakomodir kepentingan elite-elite politik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//