• Opini
  • Di Balik Selubung Pendidikan Sekolah Yayasan

Di Balik Selubung Pendidikan Sekolah Yayasan

Keberadaan sekolah yang berbasis yayasan sangat dominan pada taraf sekolah SMP dan SMA. Sementara taraf sekolah dasar (SD) lebih banyak yang berbasis negeri.

Andrian Maldini Yudha

Pegiat Literasi di RBM Kali Atas

Guru sedang menerangkan di SD negeri di Bandung, Jawa Barat, 2 September 2022. Pendidikan menjadi barang mahal. (Foto Ilustrasi dan desain: Prima Mulia dan Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

10 Januari 2023


BandungBergerak.idSudah barang tentu bilamana kita membicarakan tentang sekolah, maka dengan sendirinya pandangan kita akan terorientasi pada manisnya bangku pendidikan. Maka dari itu, untuk menggapai semacam predikat “orang yang berpendidikan” maka seseorang harus bersekolah.

Bersekolah merupakan sebuah keharusan nan kewajiban bagi setiap anak untuk meniti masa depannya. Karena dengan bersekolah, selain nantinya disebut sebagai orang yang berpendidikan, dengan bersekolah juga diniscayakan menuju awal sebuah gerbang kesuksesaan.

Maka dari itu, sekolah merupakan bagian yang sentral dalam masyarakat. Karena, andilnya begitu besar untuk masyarakat.

Kita tahu pula bahwa setiap instansi sekolah yang ada di negeri kita dibelah ke dalam dua basis: ada yang basisnya negeri dan ada pula yang basisnya yayasan. Perbedaan dari kedua hal ini tentu sangat kontras sekali. Basis dari sebuah sekolah negeri adalah sebuah sekolah yang berada di bawah naungan pemerintah langsung, sementara yang basisnya yayasan adalah sebuah sekolah yang tidak berada di bawah naungan pemerintah langsung, melainkan ia didirikan oleh yayasan baik individu atau pun kelompok.

Keberadaan sekolah yang berbasis yayasan sangat dominan pada taraf sekolah SMP dan SMA. Sementara taraf sekolah dasar (SD) lebih banyak yang berbasis negeri.

Hal yang memantik dan menarik untuk dibicarakan adalah keberadaan sekolah yang basisnya ialah yayasan. Entah sekolah mana pun itu, jika kita membicarakan sebuah sekolah yang basisnya yayasan tentu akan sangat berbeda dengan sebuah sekolah yang basisnya negeri.

Karena sekolah yayasan didirikan oleh individu atau pun kelompok tertentu, maka dari segi regulasinya pun cenderung berbeda dengan sekolah negeri. Hal yang paling kontras ada pada sekolah yayasan, ialah banyak sekali iuran-iuran atau pun pembayaran-pembayaran yang berkedok, seperti uang untuk ujian, bangunan, atau pun uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP).

Oleh karena itu, tidak mengherankan dan mencengangkan apabila kita berbicara sekolah yayasan maka akan banyak sekali pungutan-pungutan pembayaran ini dan itu, yang mengharuskan siswa mengoceh pada orangtuanya untuk membayar biaya ini dan itu.

Tak jarang, kadang ada beberapa orangtua atau pun siswa yang merasa jengkel dengan regulasi semacam ini. Karena, sekolah yang tadinya adalah sebuah indikator utama untuk menuju cakrawala ilmu pengetahuan, justru malah berubah menjadi sebuah ladang pemerasan yang berkedok pendidikan.

Bisnis Berkedok Pendidikan

Seharusnya sekolah merupakan sebuah tempat di mana generasi-generasi muda ditempa untuk menjadi seorang cendikiawan. Namun apa jadinya bila sekolah menjadi sebuah ladang arena bisnis? Tentu hal ini sangat tidak etis.

Alih-alih bersembunyi di balik nama pendidikan, nyatanya masih banyak sekolah yayasan di negeri kita yang mengeksploitasi untuk memerasi uang dari siswa-siswanya. Dimulai dari uang bangunan, uang ujian, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), dan seterusnya.

Hal ini menjadi sangat lucu, karena setiap sekolah yayasan yang telah terverifikasi oleh pemerintah maka akan mendapatkan uang tunjangan yang diperuntukkan untuk sekolah itu, yang tentunya itu diperuntukkan untuk kepentingan baik mengajar atau pun segala fasilitas yang menunjang pendidikan. Namun, mengapa masih mengisap uang kepada para siswa-siswanya?

Hal semacam inilah yang membuat kebanyakkan orangtua atau pun siswa meringkih ketika ditekan oleh situasi-situasi seperti ini. Seperti contohnya: Di antara siswa yang belum membayar iuran pembayaran ujian, maka dengan sendirinya dia tidak boleh diperkenankan mengikuti ujian. Hal semacam ini sungguh tidak manusiawi.

Sekolah yang seharusnya menjadi arena pendidikan yang menyenangkan kini jadi berubah menjadi arena pemerasan. Sungguh sangat mengerikan dan miris bilamana kita mengetahui realita yang sebenarnya.

Kadang-kadang, ada sebuah sekolah pula yang masih menahan ijazah dari seorang muridnya yang telah lulus, hal ini dikarenakan siswa tersebut menunggak uang SPP, hal ini menjadikan siswa tersebut tidak bisa mengambil ijazahnya sebelum tunggakannya dilunasi terlebih dahulu.

Bukankah hal ini telah menjadi seperti arena bisnis? Di mana setiap murid yang ada di sekolah yayasan menjadi aset tersendiri bagi sekolah itu.

Namun kebanyakan masyarakat kita tidak mengetahui selubung yang terpatri pada permainan sekolah yayasan, sehingga kebanyakkan dari orangtua para siswa hanya mengangguk dan menuruti saja segala regulasi pada sekolah yayasan.

Pelbagai dalih bisa mereka pergunakan untuk meredam dan menutup-nutupi segala kebusukan dalam permainan pemerasaan uang pada sekolah yayasan, permainannya sangat rapi sekali yang membuat masyarakat dan para orangtua percaya saja dengan apa yang dikatakan mereka.

Jelas ini merupakan sebuah kebusukkan yang ada pada sekolah yayasan. Mereka memakai kata pendidikan untuk memproteksi diri dari perbuatan kejinya yaitu, memeras uang pada setiap murid-muridnya.

Baca Juga: Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?
Melestarikan Sungai Cikapundung Lewat Kesenian Tarawangsa di Kampung Cibarani
Warga Sukabumi Dipingpong Mengkses Informasi di Saat Indeks KIP Jabar Dinyatakan Tertinggi secara Nasional

Akhir Pendidikan

Akhirnya, lazim bagi kita menilai bahwa sekolah yayasan adalah arena bisnis yang berkedok di bawah nama panji pendidikan. Seharusnya akhir dari sebuah pendidikan: ialah membuat dan mencetak cendikiawan-cendikiawan bangsa.

Namun, dengan dalih mencetak cendikiawan-cendikiawan bangsa, kebanyakkan sekolah yayasan justru dalam prakteknya mengambil kesempatan untuk terus mengisap uang dari murid-muridnya.

Sekolah yang seharusnya menjadi sebuah tempat yang mengasyikkan sebagai arena pendidikan untuk menimba ilmu, justru berubah menjadi ladang pemerasan yang semu.

Tentu hal ini berbeda dengan sekolah yang bertaraf negeri yang kebanyakan segala tindak-tanduknya dinaungi oleh pemerintah secara langsung baik dari segi fasilitas atau pun dari aspek operasionalitas pendidikannya.

Akhirnya, dengan kebanyakan sekolah yayasan dengan praktiknya seperti ini justru malah mencoreng dan mengkontaminasi nama pendidikan itu sendiri. Karena sejatinya, pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan di mana setiap orang bisa bebas mereguk sumur ilmu pengetahuan, bukan malah tenggelam dalam masalah pembiayaan yang berkedok pendidikan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//