Pendidikan dan Politik Bahasa, Sekolah sebagai Mitos Juru Selamat?
Mengapa terjadi hegemoni makna pendidikan menjadi sekolah? Para murid disiapkan menjadi pekerja. Penggangguran justru meningkat.
Faudzil Adhiem
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi.
9 Januari 2023
BandungBergerak.id - Seluk beluk bentuk kata pendidikan berakar dari dua morfem pen dan an, dan yang menjadi kata dasarnya adalah didik. Sementara deretan morfologinya mencakup: pendidikan, mendidik, terdidik, dan didiklah. Empat deret morfologi itu telah melewati proses pembentukan kata atau proses morfologisnya masing-masing, sebab itu setiap kata memiliki makna, maksud, dan fungsinya masing-masing.
Pendidikan akan berbeda maksud dengan didiklah! Begitupun sebaliknya. Namun di sinilah kekacauan terjadi; menyerupakan makna pendidikan dengan sekolah, mendidik dengan menyekolahkan, dan terdidik sama halnya dengan orang yang nyakola, merupakan politik bahasa yang menyempitkan makna pendidikan yang holistik menjadi parsial.
Mengapa hegemoni makna pendidikan menjadi sekolah bisa terjadi? Karena kehadiran sekolah sebagai bentuk penyelenggara pendidikan berada pada dominasi karena diselenggarakan oleh rezim terpercaya. Selain sekolah, pendidikan diidentikan dengan pesantren, PKBM, dll.
Oleh karena itu, atas pengertian yang terhegemonik saya khawatir jika belajar dan menuntut ilmu disempitkan tafsirnya hanya 'dituntut' melalui sekolah. Kekhawatiran itu akan bertambah bila apa yang diucapkan Rasulullah tentang menunut ilmu sampai liang lahat juga diterjemahkan untuk terus belajar di bawah genting penyelenggara pendidikan: sekolah, pesantren, madrasah, dan lembaga sejenisnya.
Wajib Belajar
Dalam RUU Sisdiknas, perihal wajib belajar ditetapkan selama 13 tahun. Bila dicermati, kata wajib belajar selama 13 tahun maksudnya bermuara wajib sekolah selama 13 tahun. Karena sejak pendidikan di institusionalisasi, sekolah merupakan representasi tunggal dari penyelenggara pendidikan.
Di dalam RUU Sisdiknas pun terjadi penyempitan makna belajar menjadi sekolah. Baiklah. Mungkin bagi sebagian orang itu bukan masalah serius, sebab yang paling serius: apakah kewajiban belajar itu akan berjalan seiring dengan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan? Maksunya apakah kewajiban warga negara akan dibalas dengan kewajiban negara membiayai pendidikan seluruh warga negaranya? Bila iya, sekolah murah bahkan penggratisan sekolah merupakan rancangan yang juga mesti termaktub dalam poin tersebut.
Saya jadi terusik kembali keapada pertanyaan mengapa dan untuk apa kita bersekolah? Untuk menjawab pertanyaan itu, ada petuah bapak kepada anaknya dalam kehidupan sosio-kulural orang Sunda: “peperiheun bapak teu sakola, maneh mah kudu, jang! ambeh teu siga bapak. Maksudnya, karena bapak tidak sekolah, kamu jangan ikuti bapak; sekolahlah! Biar tidak bernasib sama.
Bila diringkas apa yang dilantangkan Eko Prasetyo mewakili mitos sekolah dalam petuah bapak kepada anaknya: sekolah dipercaya masyarakat sebagai jalan mengubah nasib nahas menjadi baik. Atau dalam bahasa Illich sebagai agama baru yang menjamin kesukesan bagi murid, padahal sejatinya tidak demikian. Oleh karena itu para orang tua akan banting-tulang, jungkir-balik membiayai anaknya. Demi nasib yang lebih baik. Demi kesejahteraan. Lalu setelah si anak lulus sekolah, para orang tua, baik di kota atau di desa akan bertanya: mau apa pascasekolah? Sebuah pertanyaan lanjutan dari hipotesa sekolah sebagi mitos keselamatan.
Saya kira, ada tiga pilihan agar bisa menjawab pertanyaan itu: kerja, kawin, dan kuliah. Mereka yang kerja, berarti ia yang sudah siap bertahan hidup dengan ijazah hasil sekolahnya. Mereka yang kawin, berarti ia yang sudah siap bertahan hidup dengan menafkahi dan melayani dengan ijazah sekolahnya. Mereka yang kuliah, berarti persiapan menuju dunia kerjanya perlu ditambah empat tahun lagi. Mereka minder, pesimis terhadap ijazah sekolahnya yang menurut hematnya belum bisa memberikan kenyamanan dan keamanan bagi hidupnya, karena dengan kuliah pula nasibnya akan lebih baik dari yang sekolah.
Sekolah dan kuliah yang diselubungi mitos keselamatan, dan semangat kerja, kerja, kerja, bukan belajar, belajar, belajar tidak selamanya memberikan timbal balik. Pasalnya banyak orang-orang menganggur pascasekolah dan kuliah. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), angkatan kerja lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) mencatatkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) paling tinggi pada Februari 2022, yaitu 10,38 persen. SMK yang memang benar-benar didesain setelah sekolahnya untuk kerja, ternyata setelah sekolah ya menganggur: sebuah paradox pragmatisme pendidikan sekolah yang amat kadung – mendesain sekolah sebagai pelatihan kerja, tetapi lulusannya menganggur.
Sungguh, kita berada pada kondisi sekolah = pelatihan kerja memberikan ilusi dan keprihatinan. Keprihatinan itu tergambar sangat kentara dalam puisi Ahmadun Yosef Hernanda yang berjudul: Anak-anak Indonesia.
kehilangan ladang di kampung mereka
anak-anak Indonesia merangkak
di lorong-lorong gelap kota
berjejal mereka di gerbong-gerbong
kereta api senja
terhimpit dalam bus-bus kota
menggelepar dalam gubuk-gubuk
tanpa jendela
anak-anak Indonesia, akan digiring kemanakah
mereka? bagai berjuta bebek mereka bersuara
bagai menyanyikan lagu tanpa syair dan nada
sebelum matahari terbit, anak-anak Indonesia
berderet di tepi-tepi jalan raya, menggapai-gapaikan
tangan mereka ke gedung-gedung berkaca
yang selalu tertutup pintu-pintunya
dari pagi hingga sore mereka antre lowongan kerja
tanpa diberi kondom dan pil kabe
lantas dibuang ke daerah-daerah transmigrasi
terusir dari tanah kelahiran (demi bendungan
dan lapanagan golf katanya) anak-anak Indonesia
tercecer di pasar-pasar kota, di kaki-kaki hotel
dan biro-biro ekspor tenaga kerja
anak-anak Indonesia akan dibawa kemanakah
ketika bangku-bangku sekolah bukan lagi dewa
yang bisa menolong nasib mereka?
Keprihatinan dalam puisi Ahmadun seperti ilustrasi atau saya menyebutnya mata rantai yang tergambar di dalam bukunya Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah. Sekolah-lulus-pengangguran-miskin-sekolah.
Baca Juga: FAUDZIL ADHIEM Komunitas Bebas Pentilasi menggelar lapakan buku di Kampus IKIP Siliwangi, Cimahi, Senin (14/11/2022). (Foto: Faudzil Ahiem/penulis, mahasiswa Jurusa
Merdeka Belajar, Merdeka dari Kekerasan Seksual?
Membumikan Syahadat dan Bismillah sebagai Spirit Pembebasan
Membeloknya Fungsi Ideal Pendidikan
Dalam status Fecebook, Prof Djoko Saryono memberikan pandangannya mengenai pendidikan kita, ia mengatakan bahwa rezim sekolah telah mengudeta tiga fungsi ideal pendidikan: liberasi, humanisasi, homonisasi, yang dibelokkan menjadi pabrikasi, korporatisasi, dan komodifikasi.
Apa-apa yang saya paparkan di atas juga bukti kecil, bagaimana idealitas pendidikan telah enyah. Pendidikan yang bagi Freire, Ki Hajar Dewantara, Henry Giroux, Tan Malaka, Illich memiliki irisan yang sama: praktik pembebasan dan pemanusiaan. Kenyataannya semua itu dikudeta!
Penyempitan makn pendidikan menjadi sekolah. Pendidikan sekolah yang mengalami disorientasi: hanya ke pabriklah/tempat kerjalah semua studi berlabuh. Semua itu merupakan satu akumulasi dari desain kapitalisme-neoliberal dari sistem pendidikan kita.
Oleh sebab itu, pendidikan sebagai tindakan politis dan produksi kesadaran kritis mesti masuk perlahan dalam tubuh sekolah yang terpapar virus mitos keselamatan, semangat kerja, dan kapitalistik. Dengan seumpamanya sekolah-sekolah di perkotaan memasukkan mata pelajaran buruh dan niaga. Kemudian di desa dimasukkan mata pelajaran bertani dan berternak. Atau secara lebih umum, harus ada muatan lokal yang berakar pada aspek sosiologis (realitas sosial).
Memang betul-betul kadung sistem pendidikan kita, yang ideal tentang pendidikan tak tergapai, yang pragmatis tentang pendidikan masih juga terabai. Situ maunya gimana? Sudah mengudeta, toh gini juga! Ah!