• Opini
  • Merdeka Belajar, Merdeka dari Kekerasan Seksual?

Merdeka Belajar, Merdeka dari Kekerasan Seksual?

Kemerdekaan yang diberikan harus turut mengikis budaya patuh, feodal, dari kekerasan seksual?!

Faudzil Adhiem

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi.

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

8 November 2022


BandungBergerak.idSeorang guru di sebuah sekolah negeri di Purbalingga, AS (32), dicokok polisi lantaran diduga melakukan perkosaan terhadap 7 muridnya. Ironisnya, perbuatan bejat itu dilakukan di kompleks sekolah.

"Berdasarkan laporan masyarakat kami mengamankan saudara AS (32) oknum guru di salah satu sekolah di Karangmoncol, Purbalingga yang melakukan asusila terhadap 7 orang murid yang masih di bawah umur, tersangka diamankan pada Jumat (2/3)" kata Kapolres Purbalingga AKBP Era Jhony Kurniawan di Kantornya, Rabu (9/3/2022).

Menurutnya, perbuatan itu dilakukan terhadap para korban pada kurun 2013-2021. Para korban umumnya sempat bungkam lantaran takut dengan ancaman tersangka.

"Para korban saat kejadian rata-rata berumur 14 tahun, AS dalam melancarkan aksinya mengancam para murid dengan memaksa dan mengancam akan memberikan nilai jelek jika tidak menuruti kemauannya, hal itulah yang membuat korban bungkam" jelasnya.

Penggalan berita di atas saya kutip dari detik.com. “Kalau tak mau di ‘anu’, nilaimu akan jelek, Nak,” demikian bila saya dialogkan ancaman guru Seni musik Purbalingga itu kepada siswinya: Suatu ancaman yang timbul dari hasrat dan relasi kuasa yang kentara, dan tentunya membuat kita geram! Bahkan mungkin ingin melempari ia dengan batu dan kata-kata paling jorok nan menjijikkan sepanjang sejarah peradaban manusia!

Selain guru Purbalingga itu, ada banyak kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan yang akhir-akhir ini mengemuka: Herry Wirawan yang memerkosa dua belas santrinya hingga hamil dan melahirkan, disusul oleh guru SD di Bulukumba, guru tari di Malang, anak kiai di Jombang dan masih banyak lagi.

KPAI melaporkan temuan kasus kekerasan di satuan pendidikan sepanjang 2021 terjadi 18 kasus kekerasan seksual dengan korban sebanyak 207 anak, terdiri dari 126 perempuan dan 71 laki-laki di rentang usai 3-17 tahun. Sementara itu, berdasarkan catatan tahunan (Catahu) dari 2015 sampai 2021 Komnas Perempuan menunjukkan bahwa perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan dengan kejadian kekerasan terhadap perempuan terbanyak: kita sedih dan kita bertanya: mengapa ruang belajar, ruang humanisasi menjadi tempat yang tidak aman begini?

Relasi Kuasa

Terlepas dari soal hasutan setan, nafsu, dan psikologis pelaku, dan tanpa mengkerdilkan psikologi korban, dan semoga para korban mereka kuat selalu, ada indikator lain yang menurut saya menjadi akar kekerasan seksual dalam pendidikan (sekolah).

Bila melihat motif guru Purbalingga itu misalnya, ia mencoba menggunakan kekuasaan dan status ia sebagai guru untuk memuaskan hasrat birahinya. Dalam pengertian lain, bisa dikatakan ada satu relasi hirarkis di sana: karena aku guru, dan kamu murid, maka aku berhak menindasmu?! Di sana ia mencoba mengelola kekuasaanya dengan pendekatan menakuti-nakuti/mengancam muridnya agar siyasah nakalnya terpenuhi.

Dalam hal lain, menurut saya para penindas dan bukan penindas memang pertama-tama akan menggunakan pendekatan teror/menakut-nakuti. Sebab pedekatan itu terbukti efektif dan efisien.

Mari kita bongkar masa kanak-kanak, di mana ibumu atau ibu kita agar kita pergi tidur atau tidak boleh ini itu akan menakut-nakuti kita dengan hantu, binatang seram, atau orang gila atau hal-hal yang menurut ibu kita akan membuat anak takut.

Ada pula mitologi Aul (mahkluk setengah manusia berkepala serigala) yang disematkan sebagai penjaga hutan. Dan, barang siapa yang masuk ke hutan yang disebutkan oleh orang tua ada aulnya, maka tak ada satu orang pun yang berani ke sana. Dalam konteks ini di satu pihak punya maksud baik: menjaga hutan! Namun pendekatan yang digunakan pendekatan ketakutan.

Ada juga, kalau di kehidupan sosial masyarakat Sunda, yen barang siapa yang diam di lawang pintu, maka akan nongtot jodo. Padahal maksudnya ya jangan nongkrong di lawang pintu, sebab menghalangi jalan orang. Pada pendekatan ketakutan macam itu, saya kira baik-baik saja dampaknya, sebab pendekatannya tidak digunakan oleh penindas. Lain hal dengan penindas, mereka menggunakan pendekatan teror ya dengan maksud menindas! Ya kayak guru Purbalingga itulah!

Baca Juga: Tepatkah Menerapkan Hukuman Kebiri Kimia untuk Pelaku Kekerasan Seksual di Indonesia?
Kasus HW sebagai Kejahatan Seksual Luar Biasa
Menagih Peran Negara Menangani Kekerasan Seksual

Merdeka Belajar

Sering kali dalam kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan orang bertanya: mengapa korban tak kuasa menolak? Dalam konteks korbanya murid, menurut saya bukan saja secara psikis ia ketika kejadian berlangsung tak berdaya dan terluka, namun ada nilai-nilai pedagogi budaya patuh dan tunduk yang sudah terinternalisasi sepanjang ajar-mengajar yang mereka terima. Hal ini dapat dilacak dari pikiran Eric From (Dalam Eko Prasetyo, 2004, hlm 112):

Sekolah pertama-tama akan menekan perasaan, yang berhubungan langsung dengan pertentangan dan perasaan tak senang. Seorang siswa pasti tidak bisa memilih pelajaran yang disukai atau bebas menolak apa yang dinyatakan oleh guru. Metode untuk membuat anak loyal, patuh, dan tidak membangkang ini sangat beragam, ada hukuman, ancaman hingga yang paling samar mencoba membuat penjelasan yang membingungkan

oleh karena itu, ketika seorang siswa dihadapkan pada posisi tersulit ia tak berani membangkang, sebab ilusi disiplin yang kerap didoktrinkan baik secara verbal oleh guru, maupun secara sistem oleh kebijakan sekolah telah terbentuk ke dalam dirinya. Yang terjadi ialah kata tidak seolah hilang dalam kamus dan kepala murid. Sebab mengatakan tidak, mesti siap terima resiko di hukum, dan nilai jelek. Hal itu bukan nonsense belaka, si guru Purbalingga itu telah menjadikan itu celah buat ia melepaskan konak dan berahinya.

Sekali lagi, kata tidak menjadi tiada dalam ruang belajar disebabkan oleh kuasa ajar-mengajar yang didominasi oleh guru, dan murid hanya telinga. Ia tak punya kuasa penuh untuk bicara tidak! Murid menjadi objek dari dongeng-dongeng yang guru ceritakan, lalu murid manggut-manggut, dan bila murid berbuat keliru, guru kecewa, dan mungkin ngambek, padahal kekuasaan ruang belajar dikuasai sepenuhnya oleh guru. Freire menyebut pendidikan semacam itu sebagai gaya bank. Sebuah pendekatan pedagogi di mana proses pembelajaran hanya dilakukan komunikasi satu arah. Pendekatan gaya bank tidak akan pernah menyarankan kepada peserta didik untuk melihat realitas secara kritis (Boro-boro kritis, yang ada malah jadi senjata macam kasus-kasus di atas yang sudah disebutkan).

Pendekatan gaya bank tidak mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan penting. Humanisme dan pendekatan gaya bank menutupi manusia terhadap fitrah ontologis mereka untuk menjadi manusia seutuhnya (Freire, 2008:57). Dan sebab itu, pendekatan gaya bank akan terus merawat karakter murid untuk tunduk dan melestarikan budaya patuh dan malu-malu kucing untuk mengatakan tidak pada sesuatu, seseorang, yang menurut prinsip humanis tidak adil, dan tidak benar.

Maka mencoba keluar dari pendekatan seperti itu adalah satu ikhtiar yang baik, dan saya mengira yen merdeka belajar punya semangat ke sana, sekalipun kemerdekaan yang diusung masih dalam pengertian dan makna yang dipolitisasi oleh ‘penyusun’ dengan memberikan batasan-batasan bahwa yang disebut merdeka bagi murid adalah tidak ada program peminatan di SMA. Peserta didik memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat dan aspirasinya. Merdeka mengajar bagi guru adalah guru mengajar sesuai dengan tahap capaian dan perkembangan peserta didik. Merdeka bagi sekolah: sekolah memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.

Itulah sebuah kemerdekaan yang diberikan pengertian dan batasan, tetapi apakah kemerdekaan itu bisa mengikis budaya patuh, feodal, dan memerdekakan murid dari kekerasan seksual?!

Yang paling mengerikan dari kasus-kasus kekerasan seksual di ruang belajar (pendidikan) kalau dianggap hanya sebagai kekhilafan guru sebagai manusia pada umumnya! Padahal gak begitu kesimpulannya! Kita geram, dan benar-benar kayak banteng ingin nyeruduk!

Tentu, bukan berarti saya tengah memperolok-olok para guru semuanya. Saya selalu takzim kepada para guru, dan akan tambah takzim bila hal-hal yang ada dalam tubuh pendidikan dipikirkan dan coba dirumuskan agar sama-sama keluar dan menciptakan ruang belajar yang aman dari kekerasan seksual baik verbal atau nonverbal.

Jalan menuju ke sana selain menjaga sikap, moral, dan etika individu-individu guru, adalah hubungan yang karib warga sekolah, dan sistem pedagogi yang benar-benar merdeka!

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//