• Narasi
  • SUARA LIYAN DARI CIMAHI #1: Bebas Pentilasi Membunyikan Darurat Iklim

SUARA LIYAN DARI CIMAHI #1: Bebas Pentilasi Membunyikan Darurat Iklim

Lapakan buku digelar komunitas Bebas Pentilasi itu bertempat di Kampus IKIP Siliwangi, Cimahi. Perubahan iklim menjadi Isu yang meresahkan mereka.

Faudzil Adhiem

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi.

Komunitas Bebas Pentilasi menggelar lapakan buku di Kampus IKIP Siliwangi, Cimahi, Senin (14/11/2022). (Foto: Faudzil Ahiem/penulis, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi)

26 Desember 2022


BandungBergerak.idIni merupakan sore yang unik. Langit mendung, tetapi matahari nongkrong pula di atas kepala orang-orang yang nunduk membaca buku di lapakan komunitas Bebas Pentilasi. Hening. Barangkali, sembilan orang itu sedang masuk pada semesta buku yang mereka baca. Hanya saya menjadi seorang pengamat di antara keasyikmasyukan mereka.

Lapakan buku yang digelar Bebas Pentilasi itu bertempat di Kampus IKIP Siliwangi, Cimahi, Senin 14 November 2022.  Dengan ruangan seluas mobil truk, di gigir lapangan futsal buku-buku ditata di atas karpet merah. Orang-orang duduk membaca dan diskusi. Itu merupakan satu momentum yang dirindukan, sebab sudah dua tahun semenjak pandemi menghantam dunia, Bebas Pentilasi mampus.

Saya merasakan satu spirit dan warna baru dari komunitas literasi yang bangkit dari kuburnya. Sebab, di tempat lapakan dipasang sebuah seruan tentang darurat iklim dan save our planet: satu bentuk bunyi yang jarang disuarakan di kampus IKIP Siliwangi yang berada di bawah Yayasan Kartika Jaya.

Kaki waktu melangkah sampai orang-orang meletakkan buku dan mendiskusikan perihal darurat kriris iklim dan sebagainya, termasuk hal remeh-temeh hingga menimbulkan gelak tawa.

"Dalam fisika kuantum...," ujar Ali Tani.

Belum beres pria berambut gondrong itu berbicara, Pale menyela dengan humornya: "Berarti teori regulator, ya?"

Saya yang awalnya mengamati serius Ali Tani, terkekeh-kekeh karena ngeuh bahwa selaan Pale mengenai teori regulator berhubungan dengan merek kompor gas. (Baiklah bila pembaca tak ingin tertawa).

Ali Tani tidak terganggu dengan humor itu. Si rambut gondrong melanjutkan kembali:

"Bahwa alam semesta bila dirunut pada paling muasal ialah dari ketiadaan. Dan, saya kira konsep ketiadaan dalam konteks manusia. Mengakui bahwa kita tidak punya apa-apa, dan dengan etika serupa itu bila diwujudkan dalam perjuangan ekologi akan berguna," ujar anggota Bebas Pentilasi itu.

Baca Juga: Merdeka Belajar, Merdeka dari Kekerasan Seksual?
Membumikan Syahadat dan Bismillah sebagai Spirit Pembebasan
Wajah Keruh Privatisasi Air, di Manakah Peran Negara?

Komunitas Bebas Pentilasi menggelar lapakan buku di Kampus IKIP Siliwangi, Cimahi, Senin (14/11/2022). (Foto: Faudzil Ahiem/penulis, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi)
Komunitas Bebas Pentilasi menggelar lapakan buku di Kampus IKIP Siliwangi, Cimahi, Senin (14/11/2022). (Foto: Faudzil Ahiem/penulis, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi)

Saya mengangguk tiga kali, yang lainnya menyimak secara serius.

"Penyakit hari ini itu antroposentris dan orang-orang di sekitar kita. Bahkan kita pernah mengidap penyakit itu!" ujar Ali Tani.

Ali Tani sudah kayak Socrates yang mencurahkan seluruh keluh dan kesahnya tentang iklim, tapi orang-orang yang memasang telinga juga mengajukan tanya hingga timbul dialektika.

"Literasi ekologi adalah proses awal menyadarkan kita (manusia) bahwa alam tidak sedang baik-baik saja. Semakin banyak mahasiswa yang duduk melingkar di lapakan kita. Semakin banyak orang-orang yang terpapar gelisah iklim. Kita tahu bahwa kampus kita ini sepi diskursus serius," pungkasnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//