• Opini
  • Membumikan Syahadat dan Bismillah sebagai Spirit Pembebasan

Membumikan Syahadat dan Bismillah sebagai Spirit Pembebasan

Merujuk pada pemikiran Ali Syariati, syahadat dan bismillah mengandung gerakan, sesuatu yang perlu diterjemahkan dan diartikulasikan dalam ranah sosiologis.

Faudzil Adhiem

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra IKIP Siliwangi.

Seorang pria mengamati hilal sebagai penentuan kalender Hijriah di Bandung, April 2022. Tradisi mengamati hilal ini dilakukan umat Islam menjelang dan akhir Ramadan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

16 September 2022


BandungBergerak.id - Suatu ketika Majnun menjilat jendela dekil, dan seseorang menegurnya karena menganggap itu goblok. Majnun hanya berseloroh: “Di sebalik jendela itu adalah Layla.”

Selorohan Majnun, saya memaknainya sebagai alegoris, yen dalam memandang dunia pasti ada yang di sebaliknya. Umpamanya, yang termaktub dalam ayat-ayat kauniyah; Alam semesta dan manusia di sebaliknya adalah Allah SWT. Konsep di sebalik ciptaan itulah yang dalam pengertian saya, disebut dengan tauhid dalam perpekstif eksistensialis.

Dalam diskursus relasi alam dengan Tuhan dan konservasi alam, konsep di sebalik ciptaan disebut teofani, konsep yang diusungkan oleh pemikir muslim Sayyed Hosein Nasr dengan penegasan bahwa yang termuat dari alam bukan materialnya saja, tetapi yang immaterial (spiritualnya) juga.

Sekali lagi, tauhid yang kerap berpagutan dengan meyakini keesaan Allah, monoteistik, dan eksistensi Tuhan dalam ejawantah ciptaanNya, serta sifat dan dzatNya yang meruah lagi maha, Allah yang ghaib, hanya bisa dirasakan kehadiranNya dalam ayat-ayat kauniyah: Alam semesta dan manusia. Ia tidak bisa diindra oleh mata, tapi segala yang terindra oleh mata di sebaliknya adalah Ia. Oleh sebab itu, mengaminkan Ali Syariati bahwa tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebegai realitas yang holistik, universal, integral, dan monistik [Syamsiyatul Ummah Siti. (2020). Teologi Pembebasan Ali Syari’ati (Kajian Humanisme dalam islam). Ishlah: Jurnal ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah. Vol. 2.  Halaman 186].

Itu artinya, tauhid harus menanggung makna integrasi atau persatuan antara dimensi transenden dan imanen (sosial), yang melangit dan yang membumi. Karena kemahaagunganNya juga, kita dibuat takjub berkeheningan sebab di satu sisi, Allah itu imanen (sedekat urat nadi) [QS. Al-Qaf ayat 16] di sisi lain, Ia transenden (bersemayam di Arrasy) [QS. Thaha ayat 5], dan itu menjadi sesuatu yang perlu diterjemahkan dan diartikulasikan dalam ranah sosiologis, sebagai ikhtiar menuju pembebasan dan agenda revolusioner.

Tiada Tuhan selain Allah! Sudah sering diucap-ucap dalam salat, azan, serampung wudu, bahkan menjadi rukun Islam yang pertama sebagai pernyataan sikap kebertuhanan seorang muslim. Dan kita sepakat, dalam hal aqidah bahwa Allah adalah Tuhan kita, Tuhan bagi seluruh ciptaaNya. Sebab itu, pertanyaan akan kehadiran Tuhan: apakah Tuhan itu ada atau tidak? hanyalah pertanyaan yang dimulai dari meragu untuk yakin, dan bagi saya pribadi tidak berlaku lagi. Sebab bila ditarik ke ranah sosiologis dan aktualisasi tauhid/syahadat pertanyaan yang mesti dijawab adalah: Apakah kita menghadirkan Allah dalam hidup? karena secara akal waras, Allah yang transenden, yang gaib, yang meniupkan ruhNya ke dalam diri kita, yang menjadikan setiap kita sebagai khalifah dan wakilNya telah memberikan kehendak bebas, kehendak menentukan nasib sendiri. Bahkan kita bisa keluar dari apa yang disebut ‘annur” cahaya atau kebenaran, namun kita sendiri yang menanggung konsekuensi logis dari kehendak dan keputusan yang diambil dalam hidup: Barang siapa yang menanam baik dan merawatnya, niscaya ia akan memetik baik!

Allah dan Ada

Menghadirkan Allah dalam hidup itu artinya mencerminkan sifat-sifatnya yang egaliter. Tuhan tidak menilai dari suku, ras [QS. Al-Hujurat ayat 13]. Yang Rahman dan Rahim: tidak berpihak kepada penindasan. Sebab itu, tugas manusia yang telah Allah katakan dalam dialog antara malaikat dalam qs al-Baqoroh ayat 30, adalah sebagai wakil Allah (Khalifatul Ard), adalah menghadirkan sifat-sifat Allah yang termaktub dalam ayat-ayat kauliyah dan kauniyahnya, dalam perjalanan hidup manusia.

Mari kita simak bersama ilustrrasi cerita ini:

Umpamanya sekarang kamu sedang mampir/menginap di suatu kosan yang hanya ada ia, lelakimu. Sebenarnya, kamu juga tercengang saat ia membawamu ke sana. Kamu hanya berpikiran bahwa ia lelakimu akan membawamu ke rumah orang tuanya.

Kamu duduk bersandar di dinding, dengan waswas dipenuhi ketakutan dan rasa bersalah yang ruah. Lelakimu datang dari kamar mandi. Dadanya tidak ditutupi sehelai kain pun, hanya bagian perut ke bawah yang terhalang handuk birunya. Kamu makin panik, dan berpikir untuk kabur, karena firasat buruk datang mengetuk-ngetuk kepalamu. Lelakimu cengar-cengir kayak tokoh-tokoh jahat dalam film. Ia menghampirimu, dan berbisik di telingamu: mari sayang, kita bercocok tanam. Dan, dilepaslah handuknya oleh lelakimu, dan kamu menjerit sembari menutup mata.

Entah kenapa, dan datang dari mana keberanianmu. Kamu berkata padanya; “Bajingan! Kalau kamu mau tubuhku, silakan jawab tiga pertanyaan ini! Pertama apakah Allah itu ada? Kedua, apakah maut itu datang secara terduga? Apakah di sini gelap?! Silakan jawab itu bajingan!”

Baik lelaki yang sedang dipecut birahi, dan diselubungi syetan, maupun tidak, tetep saja lelakimu menjawab begini: Omaygat, kamu itu gila, ya! Allah itu ya ada, dong! Kamu mau jadi orang atehis?!

“Tolol kau! Kalau Allah ada mengapa kamu mau menyetubuhiku?! Kamu yang meniadakan Allah! Dasar bajingan! Sergah kamu, dan lelakimu menunduk malu. “Jawab yang kedua heh!” katamu lagi. Dan, kau melihat lelakimu mulai memasangkan handuknya lagi.

“Ya, tidak terduga,” jawab lelakimu.

“Loh, loh. Kenapa kalau maut datang tiba-tiba kamu mau menyetebuhiku? Gimana kalau kita sedang begituan lalu mati?! Hah! Dasar laki-laki keparat kau, ya! Tak usah kau jawab yang ketiga, sebab sekalipun di sini terang, di kepalamu gelap! Kita putus!” katamu, dan kamu pergi dari kosan lelakimu.

Dalam ilustrasi di atas, diproyeksikan bahwa pernyataan tentang kehadiran Allah atau menghadirkan Allah dalam hidup bisa menyelamatkan kita dari agenda kejahatan. Namun, dalam konteks sosial-politik kita, acap kali para politikus kita kepada Allah pun tak takut! Padahal seoarang anarkis Alexander Berkman pernah bilang, “Tidak ada cara lain untuk mengurangi penindasan rezim yang despotik kecuali dengan memasukkan ketakutan akan Tuhan” [Beekman Alexander. (2017). ABC Anarkisme: Anarkisme untuk pemula. Salatiga: Daun malam]. Itulah bila kepala gelap dan penuh berhala sosiopolitik.

Maka jalan menuju transformasi/revolusi/pembebasan yang paling mula adalah menghancurkan berhala-berhala sosiopolitik yang ajeg berdiri dan disembah-sembah!

Baca Juga: Menyaksikan Akhir Perjalanan Penerbit Pustaka
Belajar dari Dr. Abu Hanifah, Sosok Multitalenta dari Zaman Bergerak
Wajah Keruh Privatisasi Air, di Manakah Peran Negara?

Spirit Bismillahirrohmanirrohim

Muslim mana pun sepakat, yen sifat dan zat Allah pada muaranya kasih dan sayang. Bahkan amat paham dan seringlah kita dengar-baca pada ayat pertama dalam surat pamungkas Al-qur’an: Bismillahirrohmannirrohim.

Di belahan timur lain, di tempat yang pernah ajeg berdiri kesultanan Utsmani, seorang pejuang dan pemikir dari Turki, Badiuzzman Said Nursi bilang, “Bismillah: pangkal segala kebaikan, permulaan segala urusan penting, dan dengannya juga kita memulai segala urusan” [El-shirazzy Habiburrahman. (2014). Api tauhid. Jakarta: Republika]. Ya! Apa yang dikatakan Badiuzzman Said Nursi benar, namun alangkah  lebih benar dan berfungi apabila Bismillahirrohmanirrohim bukan semata ayat yang mempunyai daya magis dan doa-doa untuk memulai kebaikan, ia bukan hanya dilafal-lafal dan hafal-hafal semata.

Dalam obrolan-obrolan orang tua dahulu (wabil khususnya orang Sunda) sering di ucap-ucap yen; “Kalau orang Sudah tahu bismillah ia bisa terbang." Gaya berpikir yang siloka dan simbolis itu selalu memberikan tafsir makna yang meruah. Ada yang menafisrkan bimillah sebagai doa untuk terbanglah! Ia menjadi mantra yang berfungsi untuk menolak bala dan penyakit fisiklah! dan lain-lain. Sebagaimana nyinyiran dan sindiran Ali Syariati dalam pengantar bukunya yang berjudul ‘Haji’, geram bahwa doa-doa dibawa ke kuburan untuk yang mati, sementara di kota, dan untuk orang hidup, doa-doa tidak dilantun-dendangkan! Saya kira begitupun dengan bismillah! Ia belum menjadi prinsip dan spirit sosiologis, hanya sebagai magis. Semestinya bismillah ini sudah diproyeksikan untuk hidup sebagai spirit berpikir, dan bertindak! Padahal bila direnung-ulang secara akal waras, bismillahirohmanirrohim di dalamnya termaktub sifat dan dzat Allah yang Rahman dan Rahim, dan itu merupakan akar prinsip gerakan yang humanis.

Muslim yang mulia, ia yang bisa menyerupa sifat-sifat keilahiyan: Rahman dan Rahim, sebab itu bila ada hal-hal yang tak mencerminkan keasihan dan sifat kesayangan itu mesti dilawan. Timbullah satu pertanyaan: ukuran Rahman dan Rahim itu seperti apa? Yakni yang berjalan seiring dengan prinsip justice dan keadilan. Yang egaliter, dan yang harmonis. Jadi, hal-hal yang menurut prinsip humanis tidak adil, tidak egaliter, tidak harmonis, tidak berpihak kepada yang tertindas, adalah prinsip-prinsip yang di luar sifat-sifat ketauhidan. Ali Syari’ati menyebutnya sebagai syirik! [Ali Syariati. (1994). Agama versus agama. Bandung: Pustaka Hidayah].

Marilah kita lantangkan seruan ini:

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Mampuslah ketidakadilan dan penindasan serta segala niat, ucap, lampah yang berlawanan dengan prisnip Rahman dan RahimNya. Qunfayakun! Hancurkan! Hancurkan! Hancurkan!

Tiada tuhan selain Allah

Maka segala niat, ucap, lampah yang berlawanan dengan sifat-sifat ilahiyah adalah berhala!

Qunfayakun! Ambil kapakmu! Hancurkanlah! Hancurkanlah!

Segala bentuk penindasan dan ketidakadilan!

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//