Belajar dari Dr. Abu Hanifah, Sosok Multitalenta dari Zaman Bergerak
Abu Hanifah, tokoh intelektual asal Sumatera lulusan ELS Bandung yang berada dalam pusaran zaman bergerak. Ia memiliki banyak keahlian.
Yogi Esa Sukma Nugraha
Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah
10 Januari 2022
BandungBergerak.id - Kemajuan teknologi yang semakin canggih rupanya membuat sejumlah pihak khawatir. Hal ini terjadi setelah munculnya otomasi pekerjaan dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang memicu diskursus publik luas.
Beberapa pihak mengkhawatirkan bahwa artificial intelligence bakal mengancam ribuan pekerjaan umat manusia. Pendapat ini didasarkan pada hasil lembaga riset McKinsey & Co di penghujung tahun 2017, yang memprediksi sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan hingga 2030 mendatang karena tergantikan robot dan teknologi otomasi. Meski demikian, para ilmuwan berupaya meyakinkan publik bahwa kunci manusia kiwari untuk tetap bertahan adalah menjadi generalis sekaligus spesialis.
Menjadi generalis spesialis artinya menjadi seseorang yang tidak berhenti belajar. Ia yang tidak hanya memiliki spesialisasi kepakaran di satu bidang ilmu, tapi juga berusaha memperdalam bidang-bidang ilmu lain yang sesuai dengan tantangan zaman. Dalam rumusannya, ditekankan bahwa seorang yang hanya memiliki kepakaran di satu bidang justru rentan dengan perubahan.
Di titik ini, barangkali kita dapat sejenak memanggil masa lalu dalam upaya awal merumuskan masa depan. Setidaknya, sekadar merefleksikan persoalan ini pada kompas kehidupan sosok multitalenta asal Sumatera: Dr. Abu Hanifah. Sebabnya sederhana saja, kontribusinya di keilmuan banyak: dokter, sastrawan, dramawan (penulis lakon), politikus, diplomat, pelukis, kolumnis, sekaligus filsuf. Cukup relevan, kan?
Abu Hanifah lahir di Minangkabau. Tepatnya di Nagari Bukit Surungun, Padang Panjang, pada tanggal 6 Januari 1906 Masehi atau tahun 1327 Hijriah. Ayahnya, Ismail gelar Datuk Manggung, adalah salah seorang guru bahasa Melayu di Bukittinggi. Kala itu, bahasa Melayu telah dipergunakan hampir di seluruh Nusantara. Artinya hal itu mengondisikan ayah Abu Hanifah rutin menulis syair-syair Melayu, lalu diterbitkan oleh Balai Pustaka. Dan "Warisan" genetik ini turun di kemudian hari kepadanya.
Saat menjalani kehidupan masa kanak-kanaknya, Abu Hanifah terbiasa berdisiplin dengan sangat ketat. Selain mendapat asupan ilmu umum, pendidikan agama Islam juga diterimanya di rumah, ditambah pada sore harinya belajar membaca AI-Quran di mesjid atau surau sebagaimana anak-anak Minangkabau lainnya. Kedisiplinannya itu membuatnya dapat hidup seimbang setelah dewasa. Abu Hanifah sebagai anak sulung telah memberi contoh yang baik yang dapat diteladani oleh adik-adiknya — yang bungsu adalah Usmar Ismail, tokoh pembaharu dalam bidang Perfilman Nasional (G.A. Ohorella, PROF. DR. Abu Hanifah DT. M.E. karya dan pengabdiannya, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1985: 13-14).
Abu Hanifah lulus Europeesche Lagere School (ELS) Bandung, pada tahun 1921. Hal ini dimungkinkan dengan kondisi struktural pada periode awal abad ke-20 yang merupakan dimulainya sebuah era baru dalam politik kolonial, yaitu politik etis. Program pendidikan merupakan salah satu program dalam politik balas jasa di awal tahun 1900 yang memberi nuansa baru dalam perkembangan intelektual bumiputera, ditambah dengan pembentukan serikat-serikat oleh buruh impor yang kemudian memicu kaum pribumi membentuk serikat buruh.
Baca Juga: Abu Hanifah, tokoh intelektual asal Sumatera, lulusan ELS Bandung yang berada dalam pusaran zaman bergerak, di masa suram kolonial Belanda dan Jepang.
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (13): Pertemuan Terbuka PNI Membahas tentang Poliklinik, Pendidikan, dan Kaum Intelektual
BIOGRAFI ACHMAD BASSACH (9): Di Antara Api dan Api, Menulis Eulis Atjih
Politik Etik dan Zaman Bergerak
Slogan dari era baru ini adalah "kemajuan". Politik Etis, adalah kebijakan yang disahkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 17 September 1901. Setelah sebelumnya Ratu Wilhelmina (1890-1948) mengumumkan suatu penyelidikan tentang kesejahteraan di Jawa. Sebagaimana disebut di muka, bahwa politik Etis dikenal juga sebagai Politik Balas Jasa. Semangat zaman etis ini adalah "kemajuan menuju modernitas", kemajuan dalam arti di bawah pengawasan Belanda dan "modernitas" sebagaimana orang Belanda di Hindia memaknai peradaban mereka sebagai yang utama. Selain pendidikan, pihak Belanda menyebut dua prinsip lainnya yang dianggap merupakan dasar kebijakan etis: perairan, perpindahan penduduk (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, Jakarta: Serambi, 2008).
Perubahan signifikan hadir beriringan dengan hal ini, terutama ekonomi. Trem listrik mulai beroperasi pada awal zaman ini. Rust en orde ditegakkan di beberapa wilayah. Kegiatan dagang Belanda meningkat cepat; angka-angka ekspor bertambah dua kali lipat dalam dekade pertama abad-20, dan bertambah lebih dari delapan kali lipat pada 1920. Produksi lada, kopra, timah, kopi, dan komoditas lainnya meningkat, bahkan sebagian besarnya dikembangkan di daerah luar Jawa.
Struktur masyarakat kapitalis, yang sebelumnya sudah terbentuk dengan hadirnya Lembaga keuangan Nederlansche Handels-Maaatschapij (NHM) dan Javansche Bank, semakin mapan. Pengusaha-pengusaha mengelola industri perkebunan dan pabrik-pabrik, sementara kaum bumiputera disiapkan sebagai buruh. Pada masa ini, Hindia Belanda semakin dirasionalisasi dan terpusat. Sementara kegiatan lainnya terus meluas. Pelayanan kredit rakyat, rumah gadai pemerintah, pelayanan informasi, peningkatan pertanian, peningkatan kesehatan, dan pengobatan untuk rakyat; pelayanan pos, telegraf, telepon, kereta api negara, sekolah pemerintah — semuanya itu adalah bagian-bagian dari aktivitas yang mulai berjalan Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997).
Rupanya, situasi yang demikian mengondisikan semangat baru yang berkobar-kobar di kalangan rakyat; semangat antipenjajahan. Hal itu ditambah dengan segeranya bumiputera memperoleh alat kelembagaan untuk mengekspresikan kesadarannya. Merebaknya surat kabar yang dikelola bumiputera sendiri jadi salah satu bukti. Perkembangan surat kabar ini bahkan mempercepat penyebaran ide-ide baru mengenai organisasi, serta dikenalnya definisi-definisi baru yang lebih canggih ihwal kesadaran diri.
Selain itu, perkembangan yang demikian menampilkan kesadaran dalam wujud mutakhir lainnya: karya sastra, rapat umum, pemogokan, serikat buruh, partai, ideologi, pembangkangan; dan, ya, Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian mencatatkan diri sebagai yang pertama berhadapan langsung dengan pemerintah kolonial dalam sejarah modern di Indonesia. Perubahan besar-besaran dalam pranata kehidupan masyarakat Hindia ini dirumuskan — beberapa ilmuwan sejarah, salah satunya Takashi Shiraishi — sebagai zaman bergerak.
Dalam kerangka yang lebih luas, konstelasi politik global saat itu juga membawa dampak besar. Selama kurun 1914-1918, terjadi Perang Dunia pertama yang terpusat di Eropa. Perang global ini menandai berakhirnya sistem monarki absolut di Eropa, juga memicu terjadinya revolusi Rusia, yang menginspirasi revolusi lainnya di negara lainnya, seperti Tiongkok.
Konteks sosial-politik seperti itulah kemudian yang membawa Abu Hanifah pada pergumulan intelektual khas anak-anak muda zaman bergerak. Setelah dari Bandung, lantas Abu Hanifah hijrah ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (Stovia), sekolah kedokteran zaman Belanda. Sebagaimana yang disebut di muka, beliau juga aktif dalam pergerakan nasional; menjadi inti dalam angkatan 28 — yang menggelar Kongres Pemuda dan melahirkan Sumpah Pemuda.
Antara 1928 hingga 1931, Abu Hanifah tidak tinggal lagi di asrama Stovia. Ia indekos di sebuah rumah di Jalan Kramat No. 106 milik seorang Tiong Hoa bernama Sie Kong Liang. Para penghuni rumah membayar sekaligus sewa rumah, air, listrik, dan lain-lain. Dengan demikian rumah tersebut “dikuasai" penuh pemuda pergerakan yang dikenal sebagai kelompok lndonesische Clubgebouw (IC); yang membuat iklim intelektual di rumah ini amat hidup.
"Perdebatan itu kadang-kadang begitu sengit dan bersemangat, sehingga menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa yang sedang bersantai di bagian depan. Biasanya mereka menarik kursi-kursi dari depan dan turut mendengarkan perdebatan. Seringkali perdebatan tanpa program itu dihadiri oleh pemimpin-pemimpin pemuda lain, seperti Wongsonegoro, Jusupadi, atau Zainudin (Stovia) dan banyak lagi. Sekali-kali Bung Karno (Sukarno) mampir dan turut serta, kalau ia kebetulan berada di Jakarta. Saya kira mungkin banyak lagi mereka yang turut membikin sejarah Indonesia hadir dan aktif berdebat di IC. Saya ketahui, bahwa di luar kelompok IC ini ada kelompok-kelompok lain. Banyak di antara mereka kemudian masuk partai politik, umumnya PNI. Ada juga yang masuk partai-partai lain. Yang penting adalah perdebatan-perdebatan itu ternyata benar-benar mengasah otak kami. Ada satu ciri khas dalam berdebat, yang kemudian ternyata menjadi kebiasaan, yaitu sengitnya perdebatan, sekalipun dijalankan secara ilmiah. Sering karena tidak puas, esok harinya atau minggu itu juga kami mencari literatur ke museum, buat memperkuat pendapat" (Abu Hanifah, Renungan Pejuangan Dulu dan Sekarang, Yayasan ldayu, Jakarta. 1978).
(Selain Abu Hanifah, tercatat pula beberapa tokoh pemuda yang pernah tinggal di asrama ini seperti Mohammad Yamin, Amir Syarifudin, Suryadi, Asa’ad, Tamzil dan lain-lain. Sumber foto: yogi esa)
Saat itu Abu Hanifah adalah pemimpin redaksi Pemuda Sumatra, yang giat menyebarkan gagasan persatuan Indonesia. Selainnya, ia juga memimpin majalah Pemuda Indonesia, pun bertanggungjawab tentang isi majalah Indonesia Raya, majalah dari PPI. Ketika Kongres Pemuda II berlangsung, lewat pintu jurnalismenya, ia banyak menulis dan melaporkan hasil-hasil kongres. Beberapa waktu setelahnya, mulai 1930, keadaan politik memburuk. Rezim kolonial semakin represif. Implikasinya, ia harus berurusan dengan PID, Politieke Inlichtingen Dienst (Dinas Intelejen Politik) ketika dalam mingguannya terdapat tulisan-tulisan yang tajam. Dan setelahnya, sebagaimana kita tahu, adalah sejarah. Sebabnya, tanggal 3 September 1930, Bung Karno tertangkap, diadili dan dijatuhi hukuman 3 tahun. Pidato pembelaannya, Indonesie Klaagt aan! (Indonesia menggugat!) mengguncang dunia internasional.
Lanjut pada awal tahun 1932, Abu Hanifah menamatkan studinya dari Stovia dan lulus sebagai Indische Arts (Dokter Hindia), kemudian ditugaskan di Medan. Dari sinilah ia memulai kariernya di Tanjung Morawa, sebagai asisten Prof. Dr. Heinemman, seorang Jerman. Di Medan pula dokter Abu Hanifah memperdalam pengetahuannya di bidang penyakit dalam dan kandungan dari Prof. Heinemann yang memang ahli dalam bidang tersebut. Ia berpraktik pula sebagai dokter partikelir dan oleh karena itu ia sangat dekat dengan pasien-pasiennya yang terdiri atas kuli-kuli kontrak di perkebunan. Di sana pula ia berkenalan dengan kehidupan kuli-kuli dengan keinginan-keinginan serta segala penderitaannya.
Akan tetapi, meskipun resmi berprofesi dokter, jiwa sosialnya sulit untuk dilepas. Hal itu ditunjukkan dengan curahan perhatiannya yang besar pada kesehatan buruh terutama para wanita dan berusaha mempreteli sistem Poenale Sanctie, yakni suatu peraturan Pemerintah Belanda tentang pemberian legalitas kepada perbudakan rakyat. Peraturan itu berlaku sejak 26 Februari 1877 berdasarkan keputusan Parlemen Belanda. lsi peraturan Poenale Sanctie itu tidak lain adalah mempekerjakan kuli-kuli secara sewenang-wenang di perkebunan-perkebunan Belanda, baik di Hindia Belanda maupun di luar negeri seperti di Suriname dan Caledonia. Para kuli itu diikat dengan peraturan-peraturan yang ketat, sehingga tidak dapat mogok ataupun melarikan diri.
Peraturan Poenale Sanctie yang begitu mengikat itu ditambah lagi dengan suatu peraturan yang disebut "Koeli Ordonansi", yaitu apabila seorang kuli melarikan diri karena perlakuan-perlakuan yang tidak baik dari majikan atau mandor perkebunan, ia akan dicari dan ditangkap polisi dan selanjutnya dijatuhi hukuman. Sesudah menjalani hukuman, ia akan dikembalikan lagi ke perkebunan dari mana ia lari. Oleh sebab itulah secara diam-diam Dr. Abu Hanifah berjuang bersama beberapa pemimpin Sarekat Islam di Medan untuk menunjang tuntutan penghapusan Poenale Sanctie. Usaha itu sebetulnya pernah dilancarkan oleh Moh Yamin kepada parlemen Belanda tertanggal 17 Oktober 1917, tetapi sampai Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak pernah secara resmi Poenale Sanctie itu dicabut.
Dekat dengan Rakyat
Beberapa tahun setelah Dr. Abu Hanifah bekerja sebagai asisten Prof. Heinemann di Medan, ia dipindahkan ke daerah pedalaman Sumatra Tengah, yaitu di Kabupaten Indragiri yang beribu kota Teluk Kuantan. Daerah ini merupakan daerah perkebunan karet yang sangat kaya, terdiri atas maskapai-maskapai perkebunan Belanda dan ada juga perkebunan rakyat. Ketika Dr. Abu Hanifah mulai bertugas di sana, rakyat daerah itu sangat terbelakang dalam hal pendidikan dan kesehatan. Tetapi dalam soal materi mereka kaya akan sumber daya karetnya. Penyakit rakyat sangat bermacam-macam di daerah ini: mulai dari malaria dari pelbagai tingkatnya, patek, disentri, tuberculose, cacing tambang dan lain-lain, yang barang tentu perlu perhatian istimewa dari para dokter. Penyakit-penyakit itu merupakan epidemi yang menahun, karena rakyat belum percaya pada pengobatan cara barat selain pil kina dan aspirin.
Di daerah lndragiri banyak terdapat dukun-dukun kampung. Dr. Abu Hanifah berupaya kompromi dengan mereka dan kemudian memberi petunjuk mengenai kebersihan dan kesehatan. Bagi dukun yang menyunatkan anak-anak, diberi petunjuk agar supaya alat-alat yang akan digunakan terlebih dahulu direbus sampai mendidih. Begitu pula bagi dukun beranak. Dukun yang menolong persalinan itu diberi pengetahuan higienis dan kebersihan, bahkan diberi kursus untuk menolong orang sakit di kampung-kampung yang jauh dari Kota Teluk — yang hanya dapat ditempuh melalui jalan darat atau sungai berhari-hari.
Dr. Abu Hanifah juga mengadakan kursus juru rawat dan bidan bagi pemuda-pemudi yang dapat menulis dan membaca, dengan pertimbangan bahwa mereka itu kelak akan akan menjadi orang tua yang mewarisi kepandaian dan keterampilan untuk anak-anak mereka. Selain kursus-kursus sosial yang sudah dijalankan, Dr. Abu Hanifah dengan dibantu oleh istrinya mendirikan sebuah sekolah dasar Schakelschool dan sebuah HIS partikelir. Dengan bantuan masyarakat lndragiri, Dr. Abu Hanifah kemudian mendirikan sebuah mesjid di mana beliau sendiri dan beberapa ulama sering berkhotbah di sana. Segala usaha yang telah dijalankan itu mengakibatkan rakyat sangat dekat dan sangat menghormatinya.
Pengalamannya selama itu dituangkannya ke dalam novelnya yang berjudul Dokter Rimbu. Hal ini dikonfirmasi penulis buku Abu Hanifah: Karya dan Pengabdiannya, saat menanyakan kebenaran tulisan itu dalam satu wawancara dengan Ibu Hafni Z. AH, dan ia mengatakan, "Itu benar, apa yang ditulis Bapak dalam Dokter Rimbun itu adalah seluruh pengalaman kami semasa di Taloek Kuantan". Karyanya yang lain yang berkaitan dengan profesinya sebagai dokter adalah naskah lakon yang berjudul Intelek Istimewa yang mengetengahkan peran sosial seorang dokter yang ingin menyumbangkan keahlian dan kebaktiannya pada tanah air dan bangsanya.
Dengan segenap privelese yang dimilikinya, Dr. Abu Hanifah bisa dikatakan enggan berjarak dengan rakyat kebanyakan. Padahal, minoritas terpelajar saat itu bukan hanya sangat kecil, melainkan juga berasal dari kaum yang menikmati hak-hak istimewa. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak priayi terkemuka, atau dari golongan kecil kaum profesional sukses di kota-kota besar, atau dari keluarga pendatang kaya luar Jawa. Jumlah kecil minoritas ini sangat melukiskan watak konservatif politik pendidikan kolonial (Benedict Anderson: Some aspects of Indonesia politics under the Japanese Occupation: 1944-1945, Ithaca, New York, proyek Indonesia Modern, Universitas Cornell, 1961).
Beberapa waktu setelahnya, jatuhnya rezim kolonial Belanda 1942 berimplikasi pada kehidupan Dr. Abu Hanifah. Profesi dokternya yang telah dijalani selama kurang lebih 15 tahun terpaksa ditinggalkan. Saat itu, Jepang mendirikan suatu tentara yang diisi bumiputra: PETA — yang diasumsikan bakal menjadi jembatan menuju "self-government". Tetapi kesukaran hidup sehari-hari segera menyingkapkan kepalsuan dan kehampaan gairah semacam itu. Puja-puji pada saudara tua mengerut di hadapan kelangkaan beras. Bagi orang-orang yang lebih dulu tersadarkan, mimpi Asia Raya dapat dikatakan menguap begitu saja ke udara. Sebagaimana yang dikeluhkan Dr. Abu Hanifah:
"Itulah sebabnya bermula saya yang ditunjuk sebagai daidancho PETA Jakarta sebelum Mr. Kasman Singodimedjo. Tetapi karena saya tidak berminat, dan dapat menipu dokter-dokter Jepang yang memeriksa, saya lolos dengan diagnose: berpenyakit TBC. Dengan begitu, terhindarlah saya dari satu karier yang kurang saya senangi". (Hanifah, 37-38) Dan, ya, memasuki era Jepang ini – yang akan diulas pula nanti – minatnya pada kebudayaan lebih diperdalam lagi.
Sementara untuk memusnahkan pengaruh barat, pihak Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris serta memajukan pemakaian bahasa Jepang. Kalender Jepang diperkenalkan untuk tujuan-tujuan resmi, patung-patung Eropa diruntuhkan, jalan-jalan diberi nama baru, dan Batavia dinamakan Jakarta lagi, sebuah nama yang tak pernah benar-benar hilang dalam pemakaiannya di kalangan orang Indonesia. Suatu kampanye propaganda yang intensif dimulai untuk meyakinkan rakyat Indonesia bahwa mereka dan bangsa Jepang adalah saudara seperjuangan dalam perang yang luhur untuk membentuk suatu tatanan baru di Asia. Pihak Jepang mempekerjakan orang-orang Indonesia untuk mengimplementasikan tujuan-tujuan propaganda mereka, khususnya guru-guru sekolah, para seniman, dan tokoh-tokoh sastra yang dikenal anti-Blanda. Muhammad Yamin, Sanusi Pane, dan Armijn Pane adalah sebagian dari mereka itu. Film, drama, wayang, dan terutama radio digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan Jepang (Ricklefs, 426-427).
Di sisi yang bersebrangan, Idrus, Rosihan Anwar, Chairil Anwar, dan Amal Hamzah merupakan contoh pengarang yang menolak bekerja sama. Adapun El Hakim (nama samaran Abu Hanifah) dan adiknya, Usmar Ismail, mula-mula percaya pada Jepang, namun seturut Jassin, mereka kemudian ’’insaf’’ (Dewojati, 13–14).
Seturut penelusuran lanjutan, hal itu dikarenakan Abu Hanifah tidak puas dengan cara kerja Pusat Kebudayaan Jepang maka bersama-sama dengan Usmar Ismail, dibantu oleh para seniman lain, ia mendirikan perkumpulan drama penggemar (amatir) yang bernama Maya. Bekas anggota-anggotanya, kemudian banyak yang menjadi orang terkenal, semisal, Ali Sastroamidjojo, Cornel Simandjuntak, Rosihan Anwar, dll. "Tidak banyak yang tahu, mereka (Maya) itu dulu ditakuti pemimpin-pemimpin Sendenbu (Jepang) yang bernaung di bawah Shimidzu. Tiap karya Maya harus disensor Jepang lebih dulu" (Hanifah, 38-39).
Perkumpulan Maya didirikan menjelang pertengahan tahun 1944, dengan cara, antara lain: menyelenggarakan drama radio, drama pentas, membacakan cerpen radio, dan sebagainya. Beberapa drama yang telah dipentaskan ialah: tiga drama El Hakim: Taufan di Atas Asia, Dewi Reni, Intelek Istimewa (kemudian dibukukan bersama dramanya yang berjudul Insan Kamil, dengan judul Taufan di Atas Asia). Sesudah kemerdekaan ia mengarang drama yang berjudul Rogaya dan Mambang Laut, yang keduanya belum diterbitkan. Karangannya yang berupa novel yang sudah diterbitkan, sebagaimana telah disebut di muka, berjudul Dokter Rimbu. Pada masa pendudukan Jepang ia juga tercatat sebagai pemimpin Barisan Hizbullah dan ikut terjun melawan serdadu Jepang yang ketika itu dengan beringas merusak rumah ibadah. Atas jasanya menyelamatkan sejumlah gereja dari keganasan serdadu Jepang itu, nantinya Dr. Abu Hanifah mendapat anugerah Bintang Kehormatan dari Sri Paus Johanes XXIII.
Dalam tempo ini, ia juga menulis sebuah buku yang berjudul Rintisan Filsafat, yang berusaha menguraikan perbedaan filsafat materialisme dan filsafat idealisme. Selain dapat berbicara panjang lebar tentang filsafat, ke depannya ia juga terkenal sebagai pelukis, sekaligus kolumnis. Minat dan perhatiannya itu diungkapkan lewat tulisan-tulisan tentang dunia pendidikan. Sebagai pelukis, ia pernah menyelenggarakan pameran lukisan di dalam dan di luar negeri.
Kemudian, sesuai dengan spesialisasinya, tahun 1946 Abu Hanifah bekerja di RSUP Jakarta. Sebelumnya, dia juga membuka praktik dokter di Sukabumi. Namun demikian, situasi saat itu mengondisikan Dr. Abu Hanifah untuk turun ke gelanggang perpolitikan bersama seluruh bangsa untuk menentang kembalinya kolonialisme Belanda ke Indonesia. Dr. Abu Hanifah kemudian banyak bergerak di bidang politik. Pascakemerdekaan, ia menjadi menteri pendidikan dan duta besar.
Yang menarik, pada akhir tahun 1948, bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok sosialis-relijius, berhasil mengusung salah satu program yang cukup maju: 'Upah pekerja harus sama nilainya dengan nilai sosial kerja yang dilakukan!' (George Kahin, 1995: 394-395).
Demikianlah, Dr. Abu Hanifah yang kiranya dapat memberi inspirasi bahwa menjadi seorang generalis dan spesialis di saat bersamaan itu bukan hal mustahil. Pun layak diupayakan untuk dapat bertahan pada zaman disrupsi inovasi dan digitalisasi ini.