Melihat Bandung dari Sisi Kiri Jalan
Buku ini, meski belum komprehensif, bisa disebut buku pionir karena sebelumnya tidak ada buku yang secara khusus membahas gerakan kiri di Bandung.
Penulis Hernadi Tanzil25 April 2021
BandungBergerak.id - Bandung pada paruh pertama awal abad ke-20 khususnya di tahun 1920-an adalah kota pergerakan bagi kaum nasionalis, agama, dan juga komunis. Salah satu gerakan yang tumbuh dan berkembang dengan pesat pada masa itu adalah gerakan komunis atau sering disebut sebagai gerakan kiri. Begitu kuatnya pengaruh gerakan kiri sampai-sampai organisasi Sarikat Islam yang didirikan di Bandung pecah menjadi Sarikat Islam Merah (SI Merah) yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI).
Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan (2021) karya Hafidz Azhar berisi 20 artikel tentang gerakan kiri di Bandung di tahun 1920-an yang datanya diperoleh penulis dari berbagai koran sezaman serta beberapa buku referensi yang menyinggung tentang gerakan tersebut.
Jika kita membaca buku ini, terlihat jelas bagaimana gerakan kiri di Bandung yang saat itu dimotori oleh SI Merah dan PKI telah menjadi sebuah gerakan yang besar. Sebuah sumber menyatakan bahwa Bandung merupakan pusat agitasi komunis kedua setelah Semarang sebagai basis terbesarnya.
Pernyataan ini terbuktikan dengan beberapa pertemuan yang diadakan kelompok kiri yang selalu mendapat perhatian besar dengan jumlah peserta yang banyak. Ketika terjadi bencana kelaparan di Rancaekek, Bandung pada 1923, SI Merah dan PKI mengadakan vergadering atau perkumpulan untuk membicarakannya. Surat kabar Sapoedjagat melaporkan bahwa rapat tersebut dihadiri oleh sekitar 700 orang dari berbagai elemen masyarakat.
Ditahun itu juga di Bandung digelar kongres SI Merah dan PKI. Kongres yang meriah oleh dekorasi penuh warna merah dan hiasan gambar tokoh-tokoh komunis dalam dan luar negeri itu diikuti oleh 15 utusan cabang PKI, 13 cabang SI, serta 300 peserta umum. Jumlah peserta acara terbanyak terjadi ketika Sarikat Islam Merah Bandung menggelar pertemuan dengan kelompok buruh V.S.T.P, yakni mencapai 2.100 orang peserta. Tidak hanya anggota SI dan V.S.T.P, pertemuan yang diliput oleh berbagai media ini juga dihadiri oleh perwakilan pemerintah.
Kepedulian kaum kiri atau merah kepada rakyat kecil tampaknya merupakan salah satu faktor mengapa gerakan kiri di Bandung bisa tumbuh, berkembang dengan pesat, dan diterima oleh masyarakat. Selain masalah kelaparan di Rancaekek, SI Merah dan PKI juga peduli terhadap pendidikan bagi rakyat kecil. Pada bulan Januari 1922, Tan Malaka mendirikan Sarekat Islam School di Bandung dengan besaran biaya pendidikannya lebih murah dari sekolah pada umumnya. Baru saja dibuka, sekolah ini sudah menerima 200 orang murid dan dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah di Bandung.
Baca Juga: Peran Perempuan dalam Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan
Berbincang Sejarah Orang-orang Kiri di Bandung Era 1920-an
Polemik
Dalam meluaskan pengaruhnya, kaum kiri menggunakan kekuatan media sebagai corognya. Hadirnya koran-koran berhaluan kiri seperti Sapoejagad, Matahari, Soerapati, dan sebagainya yang menjadi alat propaganda membuat mereka semakin kirtis dalam menyikapi apa yang terjadi di masyakarat. Tidak jarang koran-koran kiri tersebut melahirkan polemik antara kaum kiri dengan kaum priyayi, terutama dengan bupati Bandung R. A. A. Wiranatakusumah yang didukung oleh koran Obor, Kaoem Moeda, dan lainnya. Polemik-polemik yang terdapat di koran-koran kiri dan koran yang mendukung sang bupati mendapat porsi cukup banyak di buku ini dan menarik untuk disimak.
Polemik yang mungkin bersifat pribadi namun menghebohkan juga dicatat di buku ini yaitu antara S. Goenawan S., pengurus SI Merah dengan Padmawiganda, redaktur koran Kaoem Moeda. Oleh Padmawiganda, Goenawan dituduh tak bertuhan. Polemik ini dilanjutkan dengan tantangan S. Goenawan untuk menggelar debat terbuka di masjid atau Alun-alun Bandung. Sayangnya, sepertinya Padmawiganda tidak menganggapi tantangan tersebut sehingga Goenawan menyebutnya sebagai "Tuan Keok". Munculnya polemik ini mungkin dapat menjadi sebuah fakta bahwa tidak semua kaum kiri itu tidak bertuhan.
Sikap kritis kaum merah atau kiri dalam melawan ketidakadilan, terutama sikapnya yang terang-terangan menentang kolonialisme serta pergerakan kaum kiri yang kian massif, lama kelamaan membuat gerah pemerintah kolonial. Dibentuklah gerombolan antikomunis yang terdiri dari kaum menak-priyayi. Dalam artikel berjudul Aksi Kelompok Teror di Priangan Tahun 1924-1931, penulis menemukan fakta bahwa aksi-aksi kekerasan antara kelompok kiri dan kelompok antikomunis menjadi tidak terhindarkan. Ada yang dipukuli, ada yang diculik. Ada juga aksi pelemparan batu ke rumah atau gedung milik salah satu kelompok hingga roboh.
Walau ada perbedaan yang mencolok antara kaum kiri dangan kaum menak-priyayi Bandung, terutama lewat polemik di media massa, ada satu kasus yang membuat kedua kubu ini sepaham, yaitu kasus Nyi Anah yang dituduh membunuh suaminya, K-Gruitering, seorang pria Belanda. Bukan kejadian yang lumrah karena menyangkut kasus golongan pribumi dan Belanda. Dalam kasus ini, baik kaum kiri maupun kaum menak-priyayi sama-sama memperjuangkan keadilan bagi Nyi Anah.
Buku Bandung di Persimpangan Kiri Jalan juga mencatat tentang meredupnya gerakan kiri di Bandung setelah ditangkapnya dan dibuangnya para petinggi komunis di Bandung seperti Moh. Sanoesi, Sardjono, Darmoprawiro, dan lainnya ke Boven Digul akibat pemberontakan komunis di berbagai kota di Hindia Belanda, termasuk Bandung, pada akhir tahun 1926. Buku ini mencatat, di kawasan Bandung, pemberontakan meletus di Nagreg, Cicalengka, Cimahi, dan Padalarang. Di kawasan Cimahi dan sekitarnya bahkan terdapat 15 serangan kaum komunis dari tanggal 13 sampai 17 November 1926.
Sampul
Masih banyak kiprah gerakan kiri di Bandung yang dimuat di buku ini yang menarik untuk disima. Namun ada satu hal yang agak mengganjal di buku ini, yakni sampulnya yang menyandingkan Bupati Bandung R. A. A. Wiranatakusumah dengan Tan Malaka.
Mungkin ilustrasi itu dimaksudkan penerbit atau penulisnya sebagai keterwakilan kedua kubu yang saling bertentangan. Wiranatakusumah sebagai wakil dari kaum kanan, sedangkan Tan Malaka mewakili kaum kiri yang di masa itu memang sering berpolemik di media massa. Namun, dengan disandingkannya kedua tokoh ini, apakah tidak akan menimbulkan tafsir calon pembaca bahwa keduanya berada dalam kubu yang sama?
Untuk menghindari kesalahan tafsir seperti ini, mungkin akan lebih baik jika desainnya diatur sehingga langsung terlihat bahwa kedua tokoh itu berseberangan. Atau, karena buku ini utamanya bersumber dari koran-koran yang terbit di Bandung tahun 1920-an, mungkin akan lebih baik kalau sampul buku ini menampilkan potongan-potongan polemik yang terjadi di koran-koran kaum kiri dan kaum kanan.
Telepas dari soal sampul, kehadiran buku ini patut diapresiasi dengan baik. Keberanian dan kejelian penulis dan penerbit untuk membukukan gerakan komunis di Bandung, yang mungkin banyak dilupakan orang, patut mendapat pujian karena selama ini buku-buku tentang Bandung yang telah terbit hanya mengangkat keindahan dan eksotisme Bandung tempo dulu. Melalui buku ini, pembaca akan melihat Bandung dari sisi lain, yaitu sisi sebelah kiri dengan segala polemik dan peristiwa yang terjadi di masanya.
Karena tersaji berupa kumpulan artikel lepas yang sebagian besar sudah pernah dimuat di media daring Ayobandung.com, buku ini belum dapat dikategorikan sebagai buku yang membahas gerakan kiri di Bandung secara komprehensif. Namun bukan berarti buku ini tidak bermanfaat karena ke-20 artikelnya dapat memberikan informasi pada pembacanya seputar gerakan kiri di Bandung. Buku ini, meski belum komprehensif, bisa disebut buku pionir karena sebelumnya tidak ada buku yang secara khusus membahas gerakan kiri di Bandung.
Semoga buku ini bisa memacu penulis-penulis lain atau mungkin penulis buku ini sendiri untuk menghadirkan sebuah buku utuh yang secara komprehensif membahas sejarah dan gerakan kaum kiri di Bandung.
Informasi Buku :
Judul : Bandung di Persimpangan Kiri Jalan
Penulis : Hafidz Ashar
Penerbit : ProPublic.Info
Tebal : xvi + 231hlm, 13 x 19 cm
Cetakan : I, Februari 2021
ISBN : 978-623-93907-7-8