• Cerita
  • Berbincang Sejarah Orang-orang Kiri di Bandung Era 1920-an

Berbincang Sejarah Orang-orang Kiri di Bandung Era 1920-an

Di Bandung pada era 1920-an, gerakan komunisme pernah bergandengan tangan dengan agama.

Buku “Bandung di Persimpangan Kiri Jalan” karya Hafidz Azhar (Penerbit ProPublic, 2021). (Foto: Iman Herdiana)

Penulis Iman Herdiana22 Maret 2021


BandungBergerak.idSukarno, presiden Pertama RI, di masa mudanya menulis artikel berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Artikel yang dipublikasikan tahun 1926 itu kemudian dibukukan. Bung Karno menyebut Marxisme sudah muncul di Indonesia sejak awal abad ke-19.

Disebutkan pula bahwa Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme sebagai tiga gerakan yang menjadi inti perlawanan terhadap kolonialisme di Hindia Belanda. Sehingga dalam artikelnya itu Bung Karno berharap ketiga aliran besar pemikiran yang sama-sama hidup di zaman kolonial itu saling bersatu dan bekerja sama. 

Di masa lalu gagasan menyatukan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” ala Bung Karno menuai kontroversi. Bahkan sampai kini. Apalagi sejak peristiwa 1965, Marxisme di Indonesia seakan ikut hancur bersama runtuhnya Partai Komunis Indonesia.

Dan bicara sejarah Marxisme di Indonesia dalam perkembangan selanjutnya selalu tertutupi oleh peristiwa 1965, tokoh yang menonjol selalu DN Aidit dan sezamannya. Padahal jauh sebelum peristiwa 1965, gerakan Marxisme punya pola gerakan yang berbeda dengan tokoh-tokoh yang berbeda pula, misalnya Tan Malaka.

Sejarah gerakan Marxisme yang sering disebut gerakan kiri atau merah itu disajikan buku “Bandung di Persimpangan Kiri Jalan” yang ditulis Hafidz Azhar (ProPublic, 2021). Hafidz memotret jauh ke belakang, ke era di mana gerakan kiri sering sejalan dengan kaum agama dan nasionalis meskipun dalam saat yang sama mereka juga bergesekan.

Hafidz melaporkan kronik gerakan kiri secara lebih spesifik di Bandung pada tahun 1920-1930-an. Buku ini dibedah secara virtual dengan narasumber Hawe Setiawan (budayawan), JJ Rizal (sejarawan), dan Hafidz Azhar (penulis), Sabtu, 6 Maret 2021 lalu.

Bedah buku dibuka pemilik penerbit ProPublic, Deni Rachman, yang membacakan cuplikan Bab 9 buku “Bandung di Persimpangan Kiri Jalan”. Bab ini menyampaikan laporan tentang kongres Sarekat Islam Merah di Bandung pada 4 Maret 1923.

“Nasionalis, agama, komunis hidup sejak 1920, betul kata Bung Karno,” kata Deni, usai membacakan cuplikan isi buku.

Menurut Hawe Setiawan, Hafidz Azhar memilih tema yang jarang diungkap secara khusus oleh penulis sejarah lain, yaitu gerakan kiri di Bandung era 1920. “Buku Hafidz sebagai kronik-kronik politik gerakan kiri di Bandung yang memperkaya literasi sejarah Priangan,” kata Hawe Setiawan.

Hafidz, misalnya, menunjukkan bahwa di era 1920 gerakan kiri mendapat simpati dari kelompok agama, seperti dilaporkan pada pada Bab 10 yang menceritakan anggota Persatuan Islam (Persis) dituduh atau disangka komunis.

Hafidz menukil cerita wafatnya seorang haji Persis yang diurus dengan prosesi yang dianggap berbeda dari praktek mengurus kematian yang biasa dilakukan oleh masyarakat pada umumnya zaman itu. Hal ini menimbulkan sangkaan dari masyarakat setempat bahwa pak haji adalah komunis.

Hawe bilang, tulisan Hafidz di Bab 10 menggambarkan bagaimana praktek pemurnian Islam yang dilakukan Persis di Bandung pada mulanya menimbulkan kebingungan masyarakat. “Misalnya, yang tadinya ada tahlilan jadi tidak ada,” katanya.

Tema lain yang diulas Hafidz ialah polemik tokoh komunis Bandung, Moh. Sanusi, dengan Bupati Wiranatakoesoemah V. Sanoesi adalah anggota Sarekat Islam (SI) Merah yang kemudian membangun partai komunis di Bandung.

Hawe mengatakan, di masa lalu para tokoh telah memanfaatkan media massa sebagai corongnya. Misalnya, koran Obor yang bisa disebut kanal kehumasan Bupati Wiranatakoesoemah V, dan koran Soerapati menjadi terompet Moh. Sanusi dkk dari gerakan kiri.

Namun menurut Hawe, yang menonjol dari polemik Bupati Wiranatakoesoemah V versus Moh. Sanoesi lebih ke perang sentimen daripada argumentasi. Hal ini pun terjadi di masa kini di mana polemik lebih menonjolkan sentimen ketimbang adu gagasan.

Perang sentimen di masa lalu memunculkan saling tuding dan saling ejek. Sampai-sampai perang sentimen ini memunculkan tuduhan kepada anggota ormas keagamaan sebagai komunis. Sentimen ini berujung intimidasi, aksi masa, sampai aksi kekerasan yang akhirnya dimanfaatkan penguasa untuk menekan oposan.

Hafidz menggambarkan bagimana aksi kekerasan menimpa gerakan kiri yang vokal pada kemapanan Bupati dan kaum priyayi maupun pada kolonialisme. Saat itu pemerintah kolonial membentuk Sarekat Hejo yang bertugas melakukan teror dan kekerasan terhadap oposan dari kelompok kiri maupun kanan.

Tetapi Hawe menilai buku Hafidz memerlukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam sebagai buku sejarah yang utuh. Misalnya, perlu penggalian lebih dalam lagi mengenai definisi istilah kiri, bagaimana batasannya, dan lain-lain.

“Memang tidak dijelaskan oleh Hafidz yang dimaksudkan kiri. Tapi secara umum, kiri dalam buku ini diarahkan pada yang berseberangan dengan kekuasaan bupati, menak, maupun Belanda atau Eropa, atau kalangan kemapanan lainnya,” katanya.

Sisi Lain Sejarah Bandung

Sejarawan JJ Rizal menilai buku karya Hafidz Azhar sebagai sisi lain dari sejarah Bandung. Di masa kolonial Belanda, muncul aliran seni Mooi Indie yang melukiskan keindahan, keelokan dan kemolekan Hindia Belanda.

Mooi Indie menggambarkan Hindia Belanda sebagai daerah dengan pemandangan alam yang menakjubkan, serta kondisi sosialnya yang unik dan eksotis. Namun aliran seni ini mengaburkan realitas Hindia Belanda sebagai negeri terjajah yang getir dan tragis.

“Karya Hafidz Azhar menunjukkan di balik keindahan gunung, pemandangan alam, di balik itu ada apa. Ada sesuatu yang tidak mereka (kolonial) taklukan yang mereka hanya bisa sembunyikan,” katanya.

Di balik Bandung yang diposisikan “mooi” ada realitas berupa gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme dari kelompok kiri, nasionalis, dan agama. Di Bandung, misalnya, muncul peristiwa Bandung Lautan Api. Bahakan Sukarno menemukan gerakannya di kota ini. Hal ini tidak direkam Mooi Indie.

Buku “Bandung di Persimpangan Kiri Jalan” dinilai telah mendorong pembaca untuk membuka lebih jauh lagi studi tentang Bandung dalam posisi panjang sebagai proses sejarah. “Ini bagian terpenting dari karya Hafidz, dia memaksa kita untuk berpikir tidak puas sampai sini,” kata JJ Rizal.

Meski demikian, JJ Rizal sepakat dengan Hawe Setiawan bahwa perlu penelitian utuh yang mengungkap sejarah kaum kiri di Bandung era 1920-an. Ia kemudian mengulas buku “Bandung Awal Revolusi 1945 – 1946” karya John R.W. Smail yang menyebut Bandung sebagai tempat tumbuhnya orang Indonesia.

Sejak 1920, Bandung merupakan kota pendidikan yang memungkinkan orang-orang di luar Bandung berdatangan. Hal ini membuat Bandung bukan lagi wilayah homogen, melainkan kota plular atau beragam.  

Keberagaman orang-orang Bandung akhirnya membentuk atmosfer kota. Sehingga di kota ini banyak melahirkan gerakan. Contohnya, Soekarno menemukan marhaenisme dan membangun PNI di Bandung.

Bandung juga menjadi tempat pertemuan antar elit. Banyak elit baru yang kemudian berkontestasi dengan elit-elit lama.

JJ Rizal lantas menyampaikan pertanyaan yang dilontarkan R.W. Smail, mengapa gerakan-gerakan radikal di Bandung bisa menumbuhkan orang Indonesia? Menurutnya, gerakan-gerakan di Bandung menemukan sumbunya di era kolonialisme Jepang. Karena sejarah kemudian mencatat, Indonesia merdeka pasca-Jepang datang ke negeri ini.

Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan peran gerakan kiri atau radikal di Bandung. “Bagian ini missing di buku Hafidz. Memang ada semangat besar menggambarkan peran kiri. Tapi perlu menggambarkan definisi kiri dan nasional. Apa batas batas kiri dan nasionalis, dan seterusnya.”

Penting juga dicatat terkait gerakan kelompok militer di Bandung yang kemudian menjadi mesin utama yang membendung gerakan kiri. Hal ini luput dari catatan Hafidz.

Hafidz telah menggambarkan struktur gerakan, membuat Bandung sebagai kota yang berdiri di persimpangan. Tetapi JJ Rizal berpendapat bahwa Bandung justru terus berada di persimpangan, terus dalam kontestasi-kontestasi.

Menggali Narasi yang Terputus

Hafidz Azhar mengatakan ada benang merah yang putus antara gerakan komunis 1965 dengan gerakan komunis tahun 20-an. Menurutnya, pola gerakan kaum kiri pada era 20-an berbeda dengan era 65.

Contohnya, pada tahun 65, gerakan komunis mengkritik keras gerakan agama. Sedangkan pada 20-an gerakan komunis cenderung bekerja sama dengan agama. Menurutnya masa itu belum tumbuh prasangka bahwa komunis itu atheis atau membenci agama.

Hafidz juga mencatat sejumlah tokoh utama dalam gerakan kiri tahun 1920, antara lain, Moh Sanoesi yang bersikap ambigu. Sanoesi sangat vokal menentang kolonialisme, menyinggung priyayi, dan anti penjajah.

Di satu sisi, Ketika Moh Sanusi dkk diasingkan ke Boven Digul, dia justru mau menjadi mata-mata Belanda. Setelah kembali ke Jawa, Moh Sanoesi ikut magang di salah satu media berbahasa Melayu dan dia harus melepas ideologi komunisnya.

Moh Sanoesi terlibat polemik panjang dengan Wiranatakoesoemah V. Tapi Hafidz juga menemukan fakta bahwa di balik polemik tersebut, Moh Sanoesi dan Wiranatakoesoemah V bisa bekerja sama. Bahkan Moh Sanoesi menyampaiakan ucapan selamat pada acara hajatan yang digelar Oto Iskandar Dinata yang merupakan pemimpin Paguyuban Pasundan.

Perlu diketahui, di mata kaum kiri era 20-an, Paguyuban Pasundan, Budi Utomo, dan kelompok lainnya dinilai sebagai kelompok priyai atau kanan yang kerap menjadi sasaran kritik kaum kiri.

Tokoh lain yang dibahas Hafidz ialah Joehana yang merupakan komunis tulen dengan nama asli Ahmad Bassach. Joehana di samping sebagai komunis yang serius, juga dekat kalangan ulama. Bahkan Joehana menerjemahkan buku karya tokoh Persis ke dalam bahsa Sunda. Ini menunjukkan bahwa Joehana punya kedekatan dengan tokoh agama.

Joehana juga menulis novel yang fokus mengkritik terhadap kolonialisme. Tetapi ia juga rajin menulis humor-humor Sunda.

Hafidz tergerak menuliskan kisah kaum kiri di Bandung karena selama ini narasinya masih terbatas. Meski demikian, ia mengakui, bukunya memang kumpulan kronik dan bukan sejarah utuh. Perlu penelitian lebih lanjut sehingga ditemukan batasan mana yang komunis dan mana gerakan kiri lainnya.

“Ini bukan sejarah utuh hanya kumpulan tulisan yang tercecer, tidak ada ketersambungan walaupun beberapa kroniknya bisa kita dapatkan,” kata sarjana lulusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Gunung Djati dan Kajian Budaya Unpad ini.

Informasi Buku

Judul: Bandung di Persimpangan Kiri Jalan

Penulis: Hafidz Azhar

Penerbit: ProPublic

Cetakan: Februari 2021

Editor: Redaksi

COMMENTS

//