• Buku
  • BUKU BANDUNG (28): Terusir, Kisah Orang-orang Tergusur di Kota Bandung

BUKU BANDUNG (28): Terusir, Kisah Orang-orang Tergusur di Kota Bandung

Bandung kerap dicitrakan sebagai kota modern. Di balik itu, ada realitas pahit bagi warga kalangan bawah, seperti dilukiskan Rahmat Jabaril dalam buku Terusir.

Buku Terusir [kumpulan cerita], karya Rahmat Jabaril (Ultimus Bandung, 2008). (Dok. Penulis)

Penulis Yogi Esa Sukma Nugraha9 Januari 2022


BandungBergerak.idPenggusuran, dapat mengguncang kelompok rumah tangga menengah-bawah secara signifikan. Efek tersebut diperburuk dengan adanya kebijakan seperti privatisasi perumahan umum dan pengurangan dukungan sosial kepada golongan bawah (Cohre,2006; Fathani 2011).

Berdasarkan catatan sejarah, penggusuran terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang, dan juga terjadi di hampir seluruh belahan dunia. Penggusuran biasanya terjadi dalam skala besar, di mana sejumlah besar masyarakat dipaksa untuk pindah dari rumah tempat tinggalnya. Penggusuran juga biasanya ditujukan kepada orang miskin, penghuni liar atau permukiman liar.

Akibat yang terjadi terhadap korban penggusuran adalah sebuah bencana, mereka terguncang, tidak memiliki tempat tinggal, dan besar kemungkinan bisa menjadi lebih miskin lagi. Dalam banyak kasus, korban penggusuran bahkan tidak mendapatkan kompensasi maupun perumahan alternatif (Ibid, 214). Seolah-olah kelompok yang terusir itu tidak memiliki hak publik terhadap wilayah yang nyaman atau tempat yang kondusif untuk bermukim, berusaha, dan mengembangkan kehidupan yang lebih layak.

Padahal, dalam banyak kasus pula, tempat tinggal dan lingkungan korban tidak hanya memiliki arti dimensi fisik semata, namun terbentuk dari relasi sosial-ekonomi yang kompleks sehingga cukup mempengaruhi kesejahteraan. Yang mengerikan adalah perihal dampaknya pada anak-anak yang masih sekolah: kehilangan buku-buku, seragam, serta mengalami trauma dan perasaan malu sebagai anak korban penggusuran. Selain juga timbul kekhawatiran orang tua terkait masalah transportasi yang harus ditempuh anak-anak mereka untuk sampai ke sekolahnya.

Semuanya itu dikondisikan oleh format ekonomi yang dominan hari ini. Dengan watak ekspansi ke seluruh penjuru dan sendi-sendi kehidupan sosial yang belum terkomodifikasi, corak produksi dalam sebuah periode tertentu perkembangan sejarah ini terus bergerak dalam proses akumulasi tanpa batasnya (Sangaji, 2009). Rahmat Jabaril, dalam bukunya, Terusir [kumpulan cerita], mengekspresikan berikut ini:

"Waktu terus mendetak di setiap orang yang diburu, dan matahari semakin menyengat membakar seluruh lapisan jalan aspal yang membebal. Sementara pohon-pohon kering membakar dengus manusia-manusia serakah. Jalanan macet tak terkendali. Bising knalpot semakin menjadi-jadi. Tak ada yang dipertuan selain emosi dan kemarahan" (Jabaril: 127).

Dengan latar ketidakadilan struktural yang demikianlah, buku Terusir berhasil dilukiskan dengan begitu getir. Penulisnya, berupaya menyuarakan ketimpangan yang terjadi di Kota Kembang awal 2000-an dengan lantang. Sehingga dapat menumbuhkan imajinasi sosial dan kultural. Sekurang-kurangnya bagi saya yang saat itu masih bocah. Sekaligus mematahkan asumsi pakar politik yang memuji periode ini sebagai era yang stabil dan punya masa depan menjanjikan. Padahal dari awal reformasi, tidak banyak yang berubah selain bahwa kontestasi kekuasaan elite menjadi lebih kompetitif. Hukum hampir tak pernah berdiri tegak, kecuali untuk penguasa. Korupsi makin merajalela, kekerasan dan premanisme masih menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial-politik warga (Mudhoffir, 2021)

Dalam buku Terusir, penulis seolah menuntun pembaca untuk larut dalam kisah emosi dan kemarahan — seakan mengajak pula ikut serta dalam memecahkan rumitnya persoalan yang menimpa diri mereka yang tersisihkan. Dengan keterampilan menyusun diksi, kekayaan bacaan dan kemampuan mengolah informasi, penulis mampu memberi imaji seolah-olah kita turut hadir di sana, di suatu sudut kota. Saya kira, penulis juga berhasil memantik kenangan pembaca akan beberapa kawasan di Kota Bandung. Yang bagi saya terasa begitu personal: kehidupan malam di Stasiun Ciroyom.

Buku Terusir juga memberi hikmah pada kita untuk tidak melakukan penilaian yang terburu-buru terhadap fenomena yang tercerap pancaindera, namun kerap dianggap sebagai realitas faktual. Dalam hal ini misalnya, penilaian atas keindahan sebuah kota yang hanya nampak di permukaan. Dan sebagai bentuk konter hegemoni di tengah badai informasi yang kiwari mampu mengalihkan perhatian banyak orang, buku ini layak disebarluaskan.

Cerita pertama, ihwal kehidupan nenek dan seorang cucu yang ibunya pergi ke Malaysia, sementara ayahnya pergi meninggalkan mereka selama-lamanya. Si cucu yang awalnya mendukung proyek pembangunan —karena dijanjikan pekerjaan layak dibanding sebelumnya: bercocok tanam—harus menelan kenyataan pahit. Pasalnya, setelah pembangunan proyek di sekitar bukit yang warga Bandung menyebutnya "Punclut" itu usai, pekerjaan yang dijanjikan itu tak datang jua. Timbullah rasa dendam dan marah, karena sudah dipecundangi orang yang mengatasnamakan kebebasan berusaha. Kepiluan juga menimpa banyak saudara dan temannya yang kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal. Tempat kehidupan mereka kini menjadi mal. Ekspresi kemuakan yang dialaminya, cukup tergambarkan dalam pernyataannya berikut ini:

"Tubuhku dingin, aku menggigit gigi, dan melingkarkan tubuhku berada di sudut tembok rumah kontrakan. Sedemikian marah memerah dalam hati. Sehingga seakan-akan akhirnya aku kehilangan rasa hormat pada mereka. Aku diam sejenak, menetap mereka yang menunduk isyaratkan kepura-puraan dan waktu berlalu tanpa pertemuan dengan watak dari kisah-kisah yang sedang aku baca."

Lalu, ada kisah seorang yang dikhianati teman. Ia dihadapkan pada situasi yang sulit, saat di mana pemimpin daerahnya memberi ilusi modernisasi, namun akhirnya kembali menelan kekecewaan yang dalam. Celakanya, untuk yang ini, banyak sekali "ruang-ruang hijau yang hilang, bahkan sumber mata air, menjadi beton tempat perjudian dan sungai-sungai menjadi saluran uang-uang yang mengalir dari hilir ke hulu makhluk-makhluk tak dikenal". Selain itu, dia pun mengalami luka-luka akibat tindakan represif aparat petugas seperti dicekik, dikejar, juga dipukuli. Dan, ya, banyak pula warga lain kehilangan sumber kehidupannya; alat-alat produksi yang biasa digunakan warga untuk mencari nafkah, sirna.

Selanjutnya, ihwal pedagang kecil yang teguh dengan pendiriannya menolak suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah. Namun berujung fitnah. Yang memilukan, kisah seorang nenek di Babakan Siliwangi yang kesehariannya dipertautkan kenangan dengan pasar simpang. Kemudian diperhadapkan dengan persoalan tempat tinggalnya yang terancam proyek pembangunan alih fungsi hutan kota. Pada akhirnya terjadi "sabotase", wilayahnya dibakar orang tak dikenal.

Buku ini masih memiliki beberapa cerita yang tidak kalah menarik. Seperti kisah seorang pekerja perempuan yang selamanya ditinggal pergi sang suami. Dia melanjutkan hidup di tengah-tengah suara mesin pabrik dan gemuruhnya kereta api, gerbong tua, keriuhan kampung kota yang padat. Satu paragraf di bawah ini, kiranya cukup memberikan gambaran bagaimana kerasnya kehidupan yang dijalaninya:

"Di sebelah kanan dari arah dia berjalan, gundukan sampah nan bau menghalangi pemandangan, bentuknya seperti barikade raksasa, sebagian berceceran ke tengah jalan. Pada ujung gundukan terdapat bara menyala, asapnya yang tebal menggapai langit dan meniupkan kepedihan di penciuman dan di mata. Kemudian tampaklah barisan rumah-rumah kumuh nan gelap, selokan yang dipenuhi rumput liar, dan limbah pabrik menawarkan aroma bau. Dari kejauhan terlihat cahaya-cahaya menerangi hiruk-pikuk orang-orang di pasar. Tidak jauh dari keramaian itu ada gundukan gubuk-gubuk nan gelap, salah satu dari gubuk-gubuk itulah perempuan itu tinggal. Di antara barisan itu tiang-tiang listrik menohok tampak arogan, dan di bawah langit, tampak begitu geram di musim kemarau. Debu-debu dan bau limbah terasa menerbangkan aroma sesak di dada."

Baca Juga: BUKU BANDUNG (24): Siasat Menasionalkan Haji Hasan Mustapa
BUKU BANDUNG (25): Si Pucuk Kalumpang, Dongeng Sunda Buhun dari Ajip Rosidi
BUKU BANDUNG (26): Tjiumbuleuit, antara Romantisme dan Realitas

Mempertanyakan Kebebasan

Buku terbitan Penerbit Ultimus Oktober 2008 ini memiliki ketebalan 134 halaman, terdiri atas 15 cerita pendek, yakni; Terusir, Kota Mati, Yang Hilang, Taruhan Nasib, Senja Dalam Kandungan, Terkapar, Lelaki Sunyi, Ibu Pembimbing, Penyaksi, Hilang dan Senyap, Lorong Kematian, Di Batas Kota, Tanah, Sang Penakluk, Di antara Pecahan Awan.

Yang menarik, semua cerita-cerita tersebut kiranya masih relevan mengingat persoalan serupa belakangan juga masih eksis, bahkan tidak hanya di satu kawasan. Dengan demikian mengantar kita ke pertanyaan lebih fundamental terkait kebebasan — yang kerap dirayakan dewasa ini. Bagaimana mungkin dapat merengkuh kebebasan sementara di waktu yang sama perut keroncongan? Untuk siapa sebenarnya kebebasan?

Memang, beberapa dari sekian juta umat manusia kini bisa menikmati kebebasan berpendapat, dan para petualang politik, bebas melakukan manuver untuk merengkuh popularitas. Akan tetapi di waktu yang sama, jurang kesenjangan terus menganga lebar; jumlah tenaga kerja informal (precarious work) semakin bertambah banyak, penindasan sesama manusia masih terus berlangsung bebas di depan mata kita. Sebagaimana dilukiskan dengan baik oleh dalam cerpen berjudul Tanah:

"Anak lelaki itu berlari disambut kawanannya, bersua tentang penghasilan yang tak seimbang dengan pengorbanannya. Bukan lagi air mata yang menetes, namun keringat hitam bercucuran di beton-beton trotoar. Napas yang ngos-ngosan mendengus menyuarakan kabut debu di depan mukanya. Sekelompok kawannya menyambut dengan muka pucat dan senyum kering di bawah dinding kota. Mereka bercampur bermandikan debu panas yang menusuk ke setiap pori-pori, sementara bising knalpot mobil menambah kegaduhan kota tak berwaktu. Di mana-mana macet dan panik; keresahan menyeruak di setiap sudut kota, tidak mengenal siapa-siapa. Diri berdiri tak mampu melihat dirinya, tidak ada yang dilihat jauh, begitu pun dekat, semua menjadi bertabrakan, paradoks, chaos."

Informasi Buku

Judul Buku: Terusir [kumpulan cerita]

Penulis: Rahmat Jabaril

Penerbit: Ultimus Bandung

Tahun terbit: 2008

Cetakan 1, 134 hlm

ISBN: 978-602-8331-03-6

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//