BUKU BANDUNG (26): Tjiumbuleuit, antara Romantisme dan Realitas
Buku Tjiumbuleuit Masrierie menceritakan Bandung di zaman romantisme, indah dan berbunga. Bahkan macan tutul masih suka turun gunung ke daerah Ciumbuleuit.
Penulis Iman Herdiana12 Desember 2021
BandungBergerak.id - Anak-anak zaman sekarang mungkin tak mengira bahwa Bandung dulunya begitu asri, nyaman, dan tenang, seperti dilukiskan Masrierie dalam bukunya, Tjiumbuleuit: Lanskap Sejarah di Bandung Tempo Doeloe. Kesaksian dalam buku ini berbanding terbalik dengan Bandung sekarang yang sudah heurin ku tangtung, mirip atau menyamai Jakarta: padat, macet, panas. Dan, kalau hujan, banjir.
Buku Tjiumbuleuit terdiri dari 10 tulisan Masrierie. Seluruh tulisannya bercerita tentang Bandung baheula, ketika kota ini masih sering berkabut, pohon-pohon besar masih rapat, burung-burung liar beterbangan, sawah membentang, rumah-rumah bilik, dan vila-vila klasik dengan halaman luas dan berbunga.
Untuk mengikat pembaca kekinian, buku yang diterbitkan Katarsis Book ini diawali dengan prolog tentang ingar-bingarnya Jalan Soekarno-Hatta atau Bandung Timur. Masrierie menceritakan pengalaman kakaknya yang sudah 26 tahun tidak menginjak Bandung. Sang kakak datang ke Bandung untuk bernostalgia.
Kakaknya tinggal di rumah kerabat di Bandung Timur. Apa yang diharapkan kakaknya saat tiba di Bandung rupanya jauh di luar dugaan. Kakaknya syok begitu mengalami lalu lintas di Jalan Soekarno-Hatta yang penuh lautan kendaraan dengan laju seenaknya, jembatan penyeberangan di jalur cepat yang menghubungkan Bandung Timur dengan Bandung Barat ini hanya satu unit, itu pun tangganya curam sehingga pejalan kaki enggan menggunakannya.
Banyak pengamen, pedagang asongan, gelombang pemotor, dan doger monyet yang monyetnya tampak kelelahan. “Saat akan pulang, tepat di seberang Carefour menuju Bandung Timur, lampu merah menyala. Antrean jadi macet dan panjang sekali,” cerita kakak Masrierie, sebagaimana ditulis Masrierie di halaman 5.
“Astaga, lampu merahnya lama! Ketika lampu hijau menyala, banyak sekali mobil dari arah timur Soekarno-Hatta arah menuju barat, belok ke arah Kiaracondong atau Jalan Ibrahim Adjie. Mobil-mobil masih saja melaju padahal lampu merah sudah menyala. Seram sekali, nekat ya? Durasi waktu untuk lampui hijau mungkin hanya 70 dertik. Maka pulanglah ia ke rumah dengan jantung berdegup kencang. Dan sang kerabat kami itu sepertinya memang sudah biasa dengan ruwetnya Kota Bandung yang telah menyerupai Jakarta,” lanjut kakak Masrierie.
Bagi warga Bandung, mungkin kakak Masrierie terasa lebay atau manja. Bisa jadi kalau hanya dilihat dari kacamata warga Bandung yang sudah terbiasa dengan semerawutnya lalu lintas simpang Kiaracondong-Soekarno-Hatta. Akan tetapi perlu diingat, kakak Masrierie sudah 26 tahun tidak menginjak Bandung. Ketika kembali lagi ke Bandung, kakak Masrierie hanya berbekal kenangan Bandung tempo dulu yang nyaman, asri dan sejuk. Lebih dari itu, kakak Masrierie sudah lama tinggal di luar negeri yang pastinya mengalami kultur berbeda dalam berlalu lintas.
Singkatnya, kakak Masrierie harus menemui kenyataan pahit bahwa Bandung telah berubah. Nostalgia tinggal kenangan.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (25): Si Pucuk Kalumpang, Dongeng Sunda Buhun dari Ajip Rosidi
BUKU BANDUNG (24): Siasat Menasionalkan Haji Hasan Mustapa
Macan Kumbang Ciumbuleuit
Kekecewaan kakak Masrierie sebenarnya dirasakan oleh Masrierie sendiri yang muncul pada esai-esainya di buku Tjiumbuleuit. Ia mengalami langsung betapa indahnya Bandung tempo dulu, sungai-sungai masih mengalir jernih – ia sering menangkap ikan dengan kakaknya di sungai Cipaganti –, oksigen melimpah dari pepohonan yang lebat, bunga semerbak di mana-mana.
Bahkan, Jalan Ciumbuleuit masih berupa perkampungan yang didominasi pepohonan dan persawahan. Tak heran jika masa itu ada warga yang memergoki macan kumbang.
“Tentang margasatwa jangan ditanya. Segala jenis burung ada di sini. Terutama burung bangau dan burung kuntul sawah berwarna merah dan masih sering berseliweran di areal sawah. Burung hantu, koreak, gagak bersahutan menandai malam. Bahkan burung elang pun masih ada. Malah pernah kejadian, macam kumbang hitam turun gunung kepergok warga,” ungkap Masrierie.
Walau Bandung terbilang kampung dan berhutan-hutan, kendaraan yang ada hanya oplet, orang-orang lebih sering jalan kaki atau naik delman dan becak, namun Masrierie merasa waktu itu jarang terjadi kejahatan. Padahal Jalan Ciumbuleuit lebih sering sepi daripada ramainya. Banyak warga yang memelihara anjing, dan anjing mereka dilepas begitu saja.
“Tampaknya mudah sekali jika ada penjahat beraksi di tempat ini. Tapi pada tahun 1960-an dan 1970-an penjahat tidak sebanyak sekarang. Kondisinya cenderung aman dan tenteram walau malam hari Bandung kelihatan seperti mencekam. Sekarang Kota Bandung di waktu malam mulai ramai, kriminalitasnya malah semakin marak,” tutur penulis yang masa kecilnya pernah tinggal di kontrakan di Gandok, antara Cihampelas dan Jalan Siliwangi.
Saking asrinya kawasan Ciumbuleut, Presiden pertama RI, Sukarno sering nginap di vila di sana. Menurut warga sekitar, kata Masrierie, Sukarno pernah berpesan agar daerah tersebut tidak boleh dibangun sehingga pemandangan alamnya tetap terjaga, meski pesan ini hanya beredar dari mulut ke mulut warga.
Posisi Ciumbuleuit memang berada di Bandung utara yang merupakan lahan konservasi, sebagai kawasan resapan air. Menurut Masrierie, Belanda juga menyadari betapa pentingnya mempertahankan keasrian Ciumbuleuit.
“Pemerintah kolonial menyadari betul betapa pentingnya memelihara ruang terbuka hijau dan resapan air sehingga tak ada satu pun rumah yang dibangun menyikat lebih dari setengah bagian lahan. Tak heran, jika dulu Bandung bebas banjir,” katanya.
Selain Ciumbuleuit, ada banyak tempat di Kota Bandung yang diulas Masrierie dengan detail yang sama baiknya saat menceritakan Ciumbuleuit, juga disertai nada lirih, penyesalan, dan kecewa. Penilaian-penilaiannya tentang Bandung tentu saja bersifat subjektif. Tetapi bagaimanapun, inilah buku kesaksian yang bisa menjadi acuan bagi generasi saat ini, terutama bagi laju pembangunan Bandung yang konon menuju smart city, kendati mustahil mengembalikan Bandung ke bentuk tahun 60-an mengingat kondisi sekarang menurut kakak Masrierie “...ruwetnya Kota Bandung yang telah menyerupai Jakarta.”
Atau seperti yang dikatakan Andrias Arifin, penyunting buku ini, “Kota Bandung hari ini menjadi sebuah kota urban yang sibuk, modern dan serba bergegas.”
“Suka atau ataupun tidak suka, kita yang hadir di Kota Bandung masa kini menjadi saksi atas deru pembangunan dan perubahan wajah Kota yang kian jauh dari kesan romantIs, ramah lingkungan, apalagi bisa menghadirkan kenangan indah yang tersimpan di dalamnya,” tulis Andrias Arifin, dalam Catatan Penyunting.
Informasi Buku
Buku Tjiumbuleuit bisa dibilang memoar Masrierie di tahun 60-an ketika ia masih sekolah di SD St. Angela sampai kuliah di ITB. Kedua sekolah ini kini sama-sama masih berdiri kini.
Buku terdiri dari 130 halaman ini jilid depannya bergambar Asrama Mahasiswa Sumsel di Jalan Sumatera tahun 1950, dan jilid belakang De Grootweg (kini Jalan Siliwangi) koleksi Tropenmuseum. Berikut ini data singkat bukunya:
Judul: Tjiumbuleuit: Lanskap Sejarah di Bandung Tempo Doeloe
Penulis: Masrierie
Penerbit: Katarsis Book
Penyunting: Andrias Arifin
Cetakan 2021.